15. Pemakaman Hening

2123 Words
Mencoba menenangkan diri di tempat liburan pun tak bisa. Malam yang dilaluinya berlalu dengan alkohol. Gadis itu berharap, semuanya akan berlalu dengan cepat. Berharap perasaannya bisa kembali tenang. Sayangnya, semua itu tidak bisa terjadi dalam waktu yang singkat. Semua rasa sakit itu bak menggerogoti dirinya. Liburan yang awalnya menyenangkan. Kini terasa hampa. Dia sendirian. Tak ada satu orang yang bisa dia jadikan teman. Tak ada satu pun orang yang ada untuk dirinya di masa terendah seperti sekarang. Selama ini, dia hidup dalam dunianya sendiri. Tak ada orang terdekat. Kecuali pamannya. Teman? Sama sekali tidak ada. Mereka semua tidak ada yang tulus berteman dengannya. Semua hanya mau berteman karena harta yang dimilikinya. Dia sudah muak dengan semua itu. Ia hempaskan saja semuanya. Ia memilih hidup tanpa teman. Sendirian. Sekarang, dia merasa sepi. Seberapa banyak uang yang dia miliki tak mampu memberikan dia seorang teman di saat sulit seperti ini. Tak ada lagi yang berani mendekat padanya. Tak juga untuk hanya sekedar menyapa. Kata-kata tajam yang pernah dia lontarkan pada mereka. Seperti sebuah tembok penghalang yang kokoh dan tinggi. Mencegah orang masuk dalam hidupnya. Di mana kata orang adalah sebuah hidup yang sempurna. Menjadi anak, dan cucu satu-satunya di keluarga Anderson. Dimanjakan, berlimpah harta, semua kemauannya tak tertolak. Mereka semua hanya tahu sebatas itu. Padahal, mereka tak pernah tahu. Sekeras apa hidup Madie dalam keluarga yang sempurna itu. Gadis itu harus mengikuti berbagai macam les akademik, mau pun non akademik. Diminta untuk selalu terlihat anggun. Dituntut untuk selalu terlihat memesona. Kepalanya tak boleh menunduk. Dadanya tak boleh membungkuk. Bahkan saat dia bercanda tak boleh tertawa dengan keras. Ada begitu banyak aturan tidak tertulis dalam hidupnya. Mempunyai asisten pribadi? Ya, semua keinginannya akan dipenuhi. Tapi, tanpa sadar. Tujuh kali dua puluh empat jam hidupnya diawasi. Tangisan Madie tak bisa berhenti. Kabar duka itu menyayat hatinya. Satu-satunya alasan dia untuk tetap bertahan adalah Ibunya. Tapi, sekarang dia telah tiada. Dengan cara yang tidak sewajarnya. Dia mendapatkan kabar laporan hasil pemeriksaan sudah diterima sang kakek. Eddy sama sekali tidak mengabarkan duka. Dia menutup rapat-rapat kejadian yang sebenarnya. Mengekspose kematian sang anak dengan cara seperti itu hanya akan menggemparkan perusahaan. Menurunkan nilai jual harga sahamnya. Dia tidak akan melakukan hal yang merugikan seperti itu. Lalu, hari ini sebuah kabar duka diumumkannya. Madie mendengar dengan jelas kesaksian sang Kakek. Menyebutkan anaknya sakit dan kemudian meninggal. Gadis itu berdiri dengan kaki gemetar. Gejolak dalam hati untuk menyangkalnya sangat kuat. Tapi dia tahu, melawan sang kakek hanya akan berujung pada hal yang sia-sia. Harry memegangi tangan Madie. Mencegah gadis itu melakukan hal yang bisa mempermalukan dirinya sendiri. “Tenanglah! Apa yang dilakukan oleh Kakekmu tentu ada alasannya. Kubur saja semua kenyataan pahit ini. Atau buang saja jauh-jauh dari dalam hatimu. Agar kau bisa dengan lapang menerima semua yang sudah terjadi.” Bisikan suara yang lembut itu membuat Madie sasar. Eddy Anderson. Pria tua kaya raya itu hanya memikirkan tentang uang, dan uang. Nyawa anak satu-satunya saja tak dia hiraukan. Apalagi dirinya. Pasti hanya dianggap sebagai benalu yang tidak bisa menghasilkan apa-apa. Tapi terus menggerogoti uangnya. “Paman, semua ini tidak benar!” balas Madie dengan suara yang serak. Dia menatap mata Harry dengan penuh permohonan. Berharap pamannya itu bisa membantu menguak kenyataan yang ada. Balasan Harry hanyalah gelengan kepala pelan. “Kau tahu bagaimana kakekmu. Biarkan saja dia melakukan apa yang menurutnya baik. Tapi ingat, kau juga harus tetap bertahan. Jangan lakukan hal bodoh seperti Ibumu!” dia kembali berbisik. Kalau tidak, akan ada banyak telinga yang bisa mencuri dengar pembicaraan mereka. “Aku....” Harry merangkul keponakannya itu. Membuat mereka semakin dekat, dan tak berjarak. Dia membisikkan sesuatu padanya. Tapi dia berbuat seolah sedang memeluk dan mencoba menenangkan sang gadis. “Kau bahkan sudah berjanji padanya untuk belajar. Iya kan? Dia akan sangat menantikan kamu hadir dan menggantikan posisinya. Elaine tak pernah ada dalam silsilah yang dia buat. Jadi, persiapkan dirimu dengan baik! Antoni bukan lagi Ayah yang bisa kau pegang tangannya. Ingat. Kau sendirian Mad. Jangan percaya pada siapa pun. Kau mengerti?” Harry menarik diri. Menangkup wajah gadis itu dengan kedua tangannya. “Kau mengerti?” ulangnya. “Iya Paman, aku tidak akan percaya kepada siapa pun. Termasuk paman!” balas gadis itu. Anggukan kepalanya mantap. Dia telah memutus semua hubungan. Dia telah bertekad. Semua ini akan dia tinggalkan. Iring-iringan musik sedih terus mengalun. Para pelayat yang datang memberikan bunga dan juga dukungan. Madie tak banyak berkata-kata. Dia hanya tersenyum tipis dan menghormati orang-orang yang datang berbelasungkawa. Gadis dengan kemeja, dan celana hitam itu berdiri di samping sang paman. Hingga acara selanjutnya pun dilakukan. Penghormatan terakhir sebelum peti itu akan dikebumikan. “Selamat jalan Sayang!” Eddy mengusap peti itu dengan derai air mata. Sementara Madie yang melihatnya mendecih. “Sok sedih!” gumamnya pelan. Lalu, Madie pun berjalan menuju peti setelah sang Ayah selesai dengan tangisannya yang terdengar pilu. Semua untaian kata indah telah dia sampaikan. Aktingnya sempurna! Gadis itu berdiri cukup lama. Bibirnya tak bergerak. Dia diam sambil menyentuh peti tersebut. Lama sekali. Tak ada air mata yang menetes. Tak juga untaian kata seperti yang ayahnya ucapkan. Dia hanya menatap kosong pada peti tersebut. “Bu, aku akan membalas semua kesakitan yang kau rasakan pada mereka. Tunggu dan lihatlah dari tempat kamu berada.” Dia mengucapkan semua itu dalam hatinya. Hal itu bersamaan dengan tangannya yang mencengkeram bunga hiasan di atas petinya. Madie tak beranjak dari tempatnya. Sementara banyak mata telah memerhatikan dirinya sedari tadi. Ada perasaan ngeri, saat mereka melihat gadis itu diam dan mencengkeram bunga di atas peti tersebut. Harry menangkap kejadian itu. Ia segera mendekat dan mengalihkan perhatian keponakannya. “Apa yang kau lakukan?” bisiknya. “Tak ada. Paman lihat aku hanya diam di depan sana.” Dia membalas dengan santainya. Meskipun begitu, dia menurut pada pamannya untuk pergi dari tempat dia berdiri. Para petugas pembawa peti datang. Mereka memasukkannya ke dalam mobil. Iring-iringan mengekor di belakangnya. Madie masih tetap diam. Walau di depannya ada sang kakek dan juga ayahnya yang sedang menyetir. Tak ada obrolan. Tak ada kata-kata yang saling menguatkan. Mereka saling diam. Peti itu dengan perlahan dimasukkan ke dalam galian yang sudah dipersiapkan. Mereka semua larut dalam kesedihan. Air mata mengalir. Tapi, tidak dengan Madie. Gadis itu masih saja diam. Pikirannya kacau. Dia tak bisa menampakkan rasa sedihnya. Karena semua yang ada di sana menyakitinya. Kakeknya, ayahnya, kerabat yang sok perhatian pun jadi sarang timbulnya kebencian dalam dirinya. Hingga semua rentetan acara selesai. Gadis itu masih berdiri di depan gundukan tanah yang masih basah tersebut. Dia menatapnya kosong. Sang Ayah dan Kakeknya sudah mengajaknya pergi. Rapi dia tak bergeming. “Nanti aku yang antar pulang,” jawab Harry. Dia dengan sabar menunggu. Menunggu gadis itu merasa puas berasa di sana. Dan merelakan kepergian Ibunya. “Paman, tunggu saja di mobil. Aku ingin berdua dengan Ibu!” ucapnya datar. “Baiklah, jangan terlalu lama. Langit sudah mendung. Jangan sampai kehujanan. Nanti kau terkena flu!” balasnya panjang. Terlalu banyak omelan juga. “Iya, aku tidak akan lama.” Setelah mendengar itu, Harry terpaksa meninggalkan gadis itu sendirian di sana. Dia masih berdiri di luar. Tak langsung masuk ke dalam mobilnya. Dari jauh dia melihat gadis itu luruh. Menjatuhkan dirinya ke samping malam sang Ibu. Dia meraung. Menangis dengan sangat keras. Teriakannya masih bisa didengar oleh sang Paman. Derai air matanya tumpah ruah. Dipukul-pukul dadanya sendiri. Mencoba mengusir rasa sesak yang sedang hingga di hatinya. “Bu! Kenapa? Kenapa kau melakukannya?” hanya itu pertanyaan yang terus dia ucapkan berulang-ulang. Celananya sudah bercampur tanah. Begitu juga kemejanya yang rapi. Sudah tidak berbentuk lagi. Bukan hitam lagi warnanya. Tapi hitam bercampur coklat tanah dan sangat menempel dengan kuat di sana. Gemuruh mulai mengeluarkan suaranya. Kilat menyambar dan menunjukkan cahaya kebesarannya. Rintik hujan mulai menetes. Semakin deras dan membasahi tubuh gadis itu. Cipratan tanah mengenai wajah cantiknya. Saat petir mulai menunjukkan keganasannya. Harry tak bisa lagi berdiam diri. Dia segera berlari menyusul keponakannya. Diraihnya tubuh gadis itu. Dia paksa untuk berdiri. Diseretnya untuk segera berlari. Tapi, karena tak kunjung sesuai dengan apa yang dia inginkan. Harry segera menggendongnya. Membawa gadis itu dalam pelukannya. Dia berjalan cepat. Tak berani berlari dalam kondisi seperti itu. Salah-salah, dia akan terpeleset dan mereka akan terjatuh bersama. Tidak lucu kalau pulang dari pemakaman, lalu mereka yang akan dimakamkan. Harry menurunkan Madie. Membukakan pintu dan sedikit mendorong gadis itu agar masuk ke dalam mobil. Walau dalam hati dia mengumpat kesal karena harus mencuci mobil setelah ini. Dia masih tetap memerhatikan keponakannya. “Aku sudah bilang agar tidak lama. Kau lihat, tubuhmu basah, kotor seperti ini. Kau tidak dengar petir menyambar dengan sangat keras? Kau tak takut terkena sambaran petir, hah?” Harry meluapkan amarahnya. Gadis itu tak menuruti ucapannya. “Kau bisa kena flu kalau seperti ini. Jangan membantah! Aku akan mengantar kamu pulang! Dan tolong tetap berada di sana. Walau kau tidak suka!” lanjutnya. Omelan Harry hanya dibalas dengan anggukan kecil dari keponakannya. *** “Amanda!” teriak Harry dengan kerasnya. Padahal, mereka masih berada beberapa langkah lagi menuju pintu. Amanda yang mendengar namanya di panggil bergegas membuka pintu. Dia terbelalak saat melihat Nona mudanya datang dalam keadaan kotor dan basah. “Astaga, Nona! Kau baik-baik saja?” refleksnya. Gadis itu segera meraih tubuh Madie. “Bawa dia masuk, pastikan dia mandi dengan air hangat. Kalau dia tak mau, mandikan dia!” Harry berbalik. Lalu, dia menepuk keningnya pelan. “Beri dia makan! Kalau dia tidak mah makan suapi dia! Ikat dia kalau memang diperlukan!” lanjutnya. “Kau kira aku tahanan paman?” balas Madie ketus. Dia menepis tangan Amanda. Lalu berjalan menuju kamarnya. “Baik Tuan,” ucap Manda permisi. Ia segera menyusul Madie. Sementara Harry hanya mengusap wajahnya kasar. Entah apa yang harus dia lakukan sekarang. Semuanya membuat dia pusing. Madie menurut, Amanda menyiapkan air hangat untuk mandinya. Dia bahkan ikut masuk ke dalam kamar mandi. Karena tak kunjung melihat Nona mudanya membuka pakaian. “Kenapa kau ikut masuk?” sinisnya. “Maafkan aku Nona. Tapi, ini perintah Tuan besar. Selain Tuan Harry, Tuan besar juga menyuruhku untuk terus mengawasi Nona.” Amanda menunduk. Tak berani menatap wajah Madie yang pasti sedang kesal mendengar penuturan darinya. “Kakek? Kakek juga mengatakan itu?” Madie mendesah kesal. “Iya Nona, dia ingin aku terus berada di samping Nona. Dia... Dia tidak ingin kejadian yang dialami Nyonya terjadi juga pada Anda,” Amanda mengatakan yang sebenarnya. Eddy tak ingin lagi kehilangan. Karenanya, dia memberikan pengawasan lebih ketat lagi sekarang. “Hah? Kau bahkan akan masuk setiap kali aku mandi? Kau sudah tidak waras?” semakin emosi. Madie meninju pintu kamar mandi. Kemudian mengacak rambutnya dengan asal. “Maaf Nona, tapi ini perintah. Dan aku tidak ingin kehilangan pekerjaan ini.” Amanda menunduk. Takut kalau dia akan mendapatkan amukan dadi Nonanya. “Sudahlah, lakukan saja seperti apa kata kakek. Bebas!” balas Amanda. Dia segera melepaskan pakaiannya yang kotor dan basah. Kemudian berdiri di bawah shower. Sedikit membilas tubuhnya yang terkena tanah. Sebelum dia akan berendam di air hangat yang sudah disiapkan. Amanda tetap berada di sana seperti yang sudah diperintahkan. Dia diam di satu sudut. Memalingkan wajahnya agar tak melihat tubuh sang Nona. Tapi, dia tetap berada dalam jarak aman jika terjadi sesuatu padanya. Bisa segera mencegah dengan cepat. “Ambilkan aku jus jeruk!” pinta Madie. Dia mengira Amanda akan pergi dan mengambilkan jus tersebut untuknya. Tapi, dia salah. Amanda mengeluarkan ponsel. Menelepon, lalu mengatakan untuk mengirim jus jeruk ke dalam kamar sang Nona. Melihat itu. Madie mendecih. Kesal sekali dia diawasi seperti itu. Menyebalkan. “Lihat saja nanti. Apa kau masih bisa mengawasiku nanti?” gumam madie pelan. Gadis itu memainkan busa di air berendamnya. Menikmati setiap aroma relaksasi yang sudah mengisi seluruh ruangan. Kemudian, ide gila muncul di kepalanya. Pintu kamar mandi diketuk. Seorang pelayan lain datang dengan jus jeruk di tangannya. Segera diambil oleh Amanda dan diberikan pada Madie. “Ini, Nona,” ucapnya. Lalu, dia kembali berbalik badan. Di goyangkan gelas jus jeruk itu. Agar bulir yang ada di bagian bawah gelas sedikit terangkat. Hingga bisa dia nikmati setiap gigitannya. Gadis itu tersenyum. Sebuah rencana sudah dia rancang di dalam kepalanya. Tinggal melakukannya saat malam nanti. Saat semua orang telah terlelap. Dia masih ingat, ada sebotol pil penenang di kamar ibunya. Butiran pil itu akan membantu dia melancarkan serangan pada mereka semua. “Aku mau makan!” “Nona, maaf. Tapi itu tidak diperbolehkan oleh Tuan besar. Ia meminta Nona untuk makan di bawah. Bersama dengan Tuan Antoni.” Balasan dari Amanda di luar dugaan. Dia harus memutar otak untuk bisa pergi ke kamar Ibunya sekarang. “Banyak sekali aturannya! Sudahlah! Aku tak jadi makan saja kalau begitu!” “Tuan Harry sudah memerintah untuk menyuapi. Jadi, saya akan melakukannya. Tapi Nona, selesaikan dulu mandinya.” “Ah, kau cerewet sekarang!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD