14. Rencana Madie

1244 Words
Penyelidikan masih terus dilanjutkan. Jenazah Elaine dimasukkan ke dalam kantong berwarna putih. Eddy telah membubuhkan tanda tangannya di berkas autopsi. Begitu juga dengan Antoni, walau dengan rasa ragu yang begitu besar dalam dirinya. Dia pun menyetujui pembedahan pada jenazah istrinya itu. Para petugas, dengan baju hazmat berwarna putih itu berjalan membopong tubuh yang sudah lemas dan tidak bernyawa itu. Suara sirene segera dinyalakan. Bising, mengisi seluruh pendengaran. Elaine tak lagi bisa bicara. Tapi, tubuhnya tidak akan berbohong. Atas apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Satu per satu dari mereka mulai pergi. Berkas-berkas juga sudah diselesaikan. Para asisten rumah tangga di rumah itu berkumpul pada satu titik. Wajah mereka tegang. Beberapa sampai pucat. Keringat dingin tentu merayap pada diri mereka. “Bagaimana sekarang? Apa yang akan mereka lakukan pada kita?” Lili membuka suara. Dia adalah asisten Elaine. Tentu saja dirinya merasa tidak tenang. Sang majikan ditemukan tidak bernyawa. Dan dia adalah orang pertama yang menemukannya. Segala macam rasa curiga pasti akan mendarat pada dirinya. “Tenanglah, kau tidak bersalah. Jadi tidak usah takut!” sahut Amanda. Dia menepuk pundak Lili beberapa kali. Mencoba untuk menenangkan lawannya tersebut. “Bagaimana aku bisa tenang? Polisi sudah mengatakan akan datang lagi untuk mendengarkan kesaksianku. Terlebih, akun yang menemukan dia pertama kali. Mereka pasti menaruh curiga padaku!” dia menggelengkan kepala. Suaranya mulai serak. Dia menangis karena ketakutan dituduh melakukan hal buruk pada sang majikan. Padahal, para polisi sama sekali belum bertanya pada dirinya. Tapi, dia sudah kelabakan dan cemas berlebihan. “Ya tentu saja kau yang menemukan dia, kau adalah asisten pribadinya. Sama halnya dengan Nona muda. Pasti aku yang akan menghadapi masalah kalau ada apa-apa dengannya. Tenanglah, tidak perlu risau!” Amanda kembali menepuk pundak Lili. Sementara itu, di sisi lain ruangan rumah. Eddy dan Antoni sedang duduk berhadapan. Hening. Mereka saling diam dalam waktu yang cukup lama setelah kejadian itu terjadi. Eddy duduk dengan menyilangkan kakinya. Kedua matanya ditutup. Kerut di wajahnya kini semakin tegas. Terlihat jelas, bahwa dia sedang memikirkan semuanya. Antoni, duduk menunduk. Kedua tangannya menopang kepala sambil memijitnya pelan. Mereka berdua tampak sangat syok. Kejadian ini sama sekali tidak pernah mereka duga. “Jangan datang ke kantor sampai hari pemakaman tiba! Banyak hal yang harus aku urus.” Eddy membuka suara. Dia menatap Antoni dengan tatapan curiga. Tapi sama sekali tidak mengatakan satu pun kalimat tanya. “Kenapa Ayah? Bukankah pekerjaan di kantor cukup banyak dan sangat merepotkan Ayah? Aku bisa membantu, aku siap membantu!” dia mengucapkan itu dengan sangat bersemangat. Seakan dia lupa. Beberapa menit yang lalu, jenazah istrinya baru saja dibawa oleh para petugas. Hal ini, membuat Eddy mengernyit. Rasa curiganya semakin besar. “Bukannya kau harus mengurus semua kekacauan yang ada di rumah ini? Juga Madie! Temukan dia! Jangan sampai dia melakukan hal yang bisa membahayakan nyawanya!” tolak Eddy dengan tegas. Dia sudah kehilangan anak satu-satunya. Dia tidak ingin kehilangan cucu satu-satunya juga. “Tapi Ayah-,” Eddy mengangkat tangannya. Menyelamatkan kalimat yang akan diucapkan oleh Menantunya itu. “Cukup! Aku sudah katakan padamu. Urus semuanya! Aku yang akan mengurus perusahaan. Dan ingat posisimu baik-baik! Tidak ada Elaine, maka kau tahu di mana posisi kami sekarang bukan?” suara besar Eddy terdengar begitu menekan menantunya. Tatapan kejamnya. Sorot mata sinisnya. Juga segala prasangkanya. “Baik Ayah,” jawabnya mengalah. Dalam hatinya kini dia akhirnya sadar. Tak ada Elaine, itu berarti tak ada lagi yang membelanya di hadapan Eddy. Tak ada lagi ikatan kuat bagi Eddy untuk tetap mempertahankan dirinya di perusahaan. Terlebih, kasus yang sebelumnya terjadi. Pasti sudah mendarat di telinga pria setengah baya itu. Dia telah menempati tempat yang rendah dan semakin jatuh ke bawah. Kalau dia masih mengotot dan tidak mau menuruti perintah dirinya. Bisa saja, Eddy mengusirnya saat ini juga. “Cepat temukan Madie!” Eddy berdiri. Beranjak pergi dari sana. Disusul oleh beberapa pria berbadan besar yang terus melakukan penjagaan untuknya. Antoni meremas rambutnya keras. “Aaaaa!” teriaknya dengan sekuat tenaga. Rasa kesalnya sudah menumpuk. Lalu, sekarang dia harus dihadapkan dengan sebuah kenyataan pahit. Istrinya meninggal. Anaknya pergi entah ke mana. Lalu, mertuanya menyuruh dia untuk tetap berada di rumah. Sebuah langkah halus untuk menyingkirkan dirinya dari perusahaan. Dari tempat tinggi yang sedang diduduki olehnya. Tak hanya itu. Kejadian hilangnya Eliza juga masih belum bisa dia pecahkan. Terlebih, Madie telah memberikan ancaman padanya tentang keberadaan Lucas. Kini, pikirannya kacau. Terlalu banyak hal yang terjadi secara mendadak. Jauh di luar jangkauannya. Jauh di luar rencananya. Dia dipaksa menerima kenyataan buruk. Sepertinya, dewi Fortuna sudah tidak berpihak padanya. Bertahun-tahun berselingkuh tak pernah terbongkar. Tapi tahun ini ketahuan. Kemudian selingkuhannya menghilang. Sekarang istrinya meninggal. “Lili! Amanda!” panggilnya dengan teriakan yang sangat keras. Kedua asisten pribadi anak dan istrinya itu saling berpandangan. Takut-takut untuk menemui Tuannya. Karena, mereka pasti akan disalahkan. “Bagaimana ini Man?” lili gugup. Dia menggigiti kuku jemarinya. Tubuh perempuan itu gemetar. “Tenanglah! Kita hadapi sama-sama! Ayo!” tukasnya. Dia menarik tangan Lili. Lalu segera menemui sangat majikan. “Kalian tidak mendengarku hah?” teriak Antoni lagi. Hal itu membuat keduanya terburu-buru agar cepat sampai di tempat sang tuan. “Maaf Tuan!” mereka mengucapkan bersamaan. Dengan kepala menunduk, mereka menghadap Antoni. Pria itu sudah tidak bisa mengontrol emosinya. “Lili, katakan bagaimana kau menemukan Elaine?” “Saya sudah menyiapkan air hangat untuk mandinya. Sarapan sudah siap, tapi nyonya tidak turun juga. Karenanya, saya naik dan memanggilnya. Saat membuka kamar....” lili terdiam sejenak. Mengambil napas dalam. Lalu menguatkan hatinya untuk mengatakan apa yang selanjutnya dia lihat pada saat itu. “Saat membuka pintu kamar. Saya melihat Nyonya sudah seperti itu.” Lili kemudian mewek. Air matanya jatuh. Dia menangis tersedu-sedu. Amanda menepuk pundaknya lagi. Agar teman kerjanya itu merasa tenang. “Apa kau tidak lihat ada yang masuk ke dalam kamarnya?” Antoni menelisik. Mencoba menggali kesaksian atas kejadian itu. “Tidak ada Tuan. Saya pergi untuk menyiapkan makan. Lalu saat kembali ke sana, Nyonya... Nyonya....” “Sudah cukup! Dan kamu Amanda, segera cari keberadaan Madie sekarang juga!” titahnya. “Siap Tuan!” jawab Amanda cepat. Antoni langsung berdiri. Dia melepaskan jas dan melonggarkan dasinya. Rasanya sesak. Dia ingin menghirup udara bebas sekarang. *** Sementara Itu, Madie memilih kembali ke vila tempat dia liburan. Merebahkan dirinya di tempat tidur. Merasakan angin yang masuk lewat jendela menerpa dirinya. Terlalu banyak hal yang terjadi dalam sakti yang hampir bersamaan. Rentetan kejadian itu melukainya. Menyiksa batinnya. Memaksa dia untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak dia inginkan. Setelah berpikir panjang. Dia akhirnya mengirimkan sebuah pesan pada seseorang. “Lakukan sesuai rencana! Lenyapkan dia!” Tanpa dia sadari, rasa sakit itu memaksa dirinya bertindak lebih jauh. Air matanya menetes. Dia masih tidak percaya dengan apa yang sudah terjadi. Kepergian sang Ibu sangat mendadak. Dia bahkan tidak bertemu dengannya dalam beberapa hari ini. Mengirim pesan atau menelepon saja tidak. Mereka sibuk dengan kehidupan masing-masing. Madie sedang menenangkan diri dengan liburannya. Sementara Elaine dengan segala balas dendamnya. Ponselnya berdering. Nama Amanda tertera di sana. Sebenarnya dia malas mengangkat. Tapi dia tahu. Pasti ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh asistennya itu. “Ya ada apa?” sapanya tidak ramah. “Nona, Tuan mencari Anda. Bisakah Anda pulang?” suara Amanda terdengar lirih. Ketakutan, dan juga cemas. “Aku di vila, tenang saja. Kalau sudah waktunya. Aku juga akan pulang sendiri. Katakan padanya untuk tidak menganggukku sementara waktu!” tutup Madie. Gadis itu langsung menutup telepon. Dia mengusap wajah, lalu kembali merebahkan dirinya. Kini, baru dia rasakan. Hidup sendirian tanpa teman. Ternyata sangat kesepian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD