Gadis itu masih terus diawasi. Tak ada kesempatan untuk bisa masuk ke kamar Ibunya. Dia sedang duduk di balkon kamarnya. Mengamati suasana luar. Berharap bisa sedikit mengobati rasa sedihnya. Tapi, tak hanya itu. Dia juga sedang memikirkan tentang apa yang sebelumnya dilakukan oleh sang Ibu. Dia sering menghilang dan sulit dihubungi. Seakan dia sering pergi jauh entah ke mana.
Saat gadis itu melihat mobil Ibunya terparkir di halaman. Dia mendapatkan sebuah ide. Dia menoleh ke belakang. Tak ada orang. Amanda tadi bilang akan menyiapkan makanan dan di bawa ke sini. Karena dia meminta masakan yang hanya Amanda yang tahu. Walau dengan sangat terpaksa. Asistennya itu tetap melakukannya. Daripada Nonanya tidak makan. Malah dia yang akan disalahkan nanti.
Kosong. Saatnya dia beraksi. Dia menguncir rambut panjangnya. Dengan perlahan dia keluar dari kamar. Menutupnya saja dengan sangat pelan. Agar dia tidak ketahuan saat pergi dari rumah. Dengan mengendap-endap dia menuruni anak tangga. Kebetulan sekali suasana di sini sepi. Dia bisa leluasa pergi menuju mobil Ibunya. Ia mempercepat langkah. Bahkan sedikit berlari untuk bisa mencapai mobil tersebut.
Dia memiliki salinan kuncinya, sama seperti sang Ibu yang mempunyai salinan kunci miliknya. Madie cepat-cepat masuk. Berharap bisa lolos dan pergi dengan mobil Ibunya itu. Dia cek GPS. Ke tempat mana Ibunya sering pergi. Dia sedikit aneh dengan kawasannya. Dia sama sekali tidak pernah mendengar nama itu dari Ibunya. Tak menunggu lama. Gadis itu segera mengendarainya. Pergi dari halaman rumah dengan kecepatan tinggi. Agar dia segera lolos dari mata-mata sang kakek.
“Nona! Anda mau ke mana?” sebuah teriakan cukup mengejutkannya. Tapi, Madie hanya menoleh sebentar. Tak menjawab, langsung melanjutkan mengendarai mobil tanpa mengatakan apa-apa pada Amanda. Gadis itu terbahak-bahak, karena akhirnya bisa lolos dari Amanda. Dia sudah terlalu sering menempel. Sampai mandi pun dia ikut masuk.
“Ah, Nona, bagaimana ini? Apa yang akan aku katakan pada Tuan nanti? Ah, aku harus menghubungi Tuan Harry!” putusnya.
Gadis itu segera mengeluarkan ponsel dari sakunya. Menurutnya, melapor pada Garry adalah satu-satunya cara agar dia bisa selamat dari amukan Tuan besarnya. Karena sudah gagal menjaga Madie tetap berada di rumah.
“Tuan, maafkan aku mengganggu. Tapi, ini tentang Nona. Dia pergi Tuan. Dia memakai mobil mendiang Nyonya Elaine!” ceritanya lengkap.
“Apa? Bagaimana bisa? Oke, aku akan segera mencarinya! Jangan katakan hal ini pada siapa pun. Paman Eddy pasti akan marah nanti!”
“Baik Tuan, sungguh aku minta maaf sudah lalai.” Tangan Amanda masih gemetar saat mengatakannya.
“Sudahlah, aku tahu siapa dia. Dan bagaimana cara dia melakukan itu. Bukan sepenuhnya salahmu. Gadis itu saja yang terlampau licik! Aku tutup dulu.” Harry menutup telepon. Dia bergegas menelepon seseorang.
“Halo, Kev, aku baru saja mengirimkan sebuah foto mobil ke pesanmu. Tolong lacak di mana keberadaannya. Nomor plat terlihat jelas. Jadi, aku mohon kamu bisa segera menemukannya! Aku tutup dulu! Terima kasih banyak sudah membantu!” pria tampan itu langsung menutup telepon. Bergegas masuk ke dalam mobil dan langsung mengendarainya. Tempat paling awal yang dia tuju adalah vila. Tempat liburan keponakannya. Dia mengira, gadis itu akan berada di sana karena merasa sesak di rumah besar itu.
Sementara di satu sisi sana, ada seorang pria yang juga tampan tercengang mendengarkan telepon dari temannya. Mencerocos panjang lebar meminta bantuan. Lalu, sebelum dia menjawab. Temannya itu langsung menutup telepon dan mengatakan terima kasih. Padahal, dia saja belum mengatakan iya. Tapi dipaksa untuk segera melakukannya.
“Harry! Kebiasaan kau ini!” gumamnya pelan. Walau merasa kesal. Dia tetap membuka pesan yang dikirimkan oleh temannya. Memperbesar bagian pelat nomor. Mencatatnya, lalu jemarinya mulai bekerja dengan cepatnya. Sebuah komputer di meja menjadi rekan paling setia yang dia miliki untuk bekerja.
Harry mengendarai mobilnya dengan kencang. Bahkan tak ada tiga puluh menit dia akhirnya sampai di vila tersebut. Tapi, dia tidak menemukan mobil Elaine di sana. Lantas ke mana dia pergi? Pikirnya. Tak turun, dia langsung balik arah. Kembali menghubungi temannya yang sebelumnya.
“Kau sudah mendapatkan informasinya?” desaknya. Bukannya menyapa dan basa-basi sebentar. Tapi, dia langsung menanyakan kabar tentang pertanyaannya tadi.
“Astaga, kau ini. Tidak bisa menyapaku Hai Kevin? Apa kabar? Basa-basi dulu, atau apa begitu?” Kevin merasa kesal dan menyindirnya secara langsung.
“Kev! Aku tidak sedang bercanda. Ini tentang sebuah nyawa! Keponakanku! Keponakanku yang ada di dalam mobil itu. Madie! Kau tahu sendiri kabar kematian Ibunya beberapa hari yang lalu. Bahkan kau ada di pemakamannya!” Harry mengomel banyak. Mengeluarkan segala kesahnya. Padahal, bukan Kevin penyebabnya. Tapi, dia luapkan saja pada temannya itu agar bisa sedikit merasa lega.
Kevin terdiam, dia tidak menyangka kalau hal itu cukup genting. Apa yang akan dilakukan seorang gadis saat mengendarai mobil mendiang Ibunya?
“Baiklah-baiklah, maaf. Aku tidak tahu kalau masalahnya segenting ini. Aku lihat, mobil itu mengarah ke salah satu praktik Dokter. Aku kirimkan alamatnya.”
“Kau sudah menerima pesannya, bukan?” dia melanjutkan.
“Ya, ya, sudah aku terima. Terima kasih banyak atas bantuanmu. Aku menyusulnya sekarang!” Lagi, Harry langsung menutup telepon. Tanpa menunggu jawaban dari Kevin.
“Sama-sam-a! Dasar menyebalkan! Malah langsung ditutup!” omelnya. Kevin mengacak rambutnya asal. Merasa begitu kesal pada temannya yang seenaknya sendiri meminta bantuan. Lalu pergi begitu saja setelah mendapatkan apa yang dia inginkan.
***
Harry menyusuri rute seperti yang diberikan oleh peta panduan di mobilnya. Tempat praktik dokter itu tidak pernah dia tahu. Karena dia merasa tidak pernah merekomendasikan Dokter tersebut pada Madie. Tapi, kenapa gadis itu berkendara ke tempat itu? Apa dia sakit? Segala macam pikiran di kepala Harry terus berputar. Membuat kepalanya terasa nyeri.
Dia masih beruntung. Saat ia tiba di sana. Mobil milik Elaine ada di tempat parkir praktik tersebut. Dia bergegas turun. Mengecek tempat praktik dokter tersebut. Di sana sepi. Perlahan Harry berjalan, sambil memerhatikan sekitar. Tempat ini berada di area strategis. Tapi, di sama sekali belum pernah mengetahuinya. Apa yang sudah dia lewatkan?
Kakinya menuntun dirinya untuk semakin dekat ke area. Ia naiki tiga anak tangga. Lalu jalan di koridor. Memerhatikan setiap sisi bangunan tersebut. Ada beberapa nama dokter yang terpampang di papannya. Harry masih terus meraba. Mencari di mana keberadaan sangat keponakan. Hingga akhirnya dia menemukan sebuah pintu yang terbuka.
Ada suara orang sedang mengobrol. Makin lama makin jelas. Makin terdengar dekat sumber suaranya. Ya, sumber suara itu berasal dari pintu terbuka tersebut. Ia mengendap-endap. Kemudian dia mengintip. Memastikan bahwa yang sedang ada di dalam sana adalah keponakannya. Apa yang dia pikirkan benar adanya. Gadis itu ada di dalam sana. Dia sedang berbicara dengan seorang pria. Mereka duduk berhadapan. Terlihat seperti sedang membicarakan sesuatu yang sangat serius.
“Madie?” Harry memanggil gadis itu. Dia berdiri di ambang pintu sambil memandangi mereka berdua.
Gadis itu menoleh, begitu juga di pria. Dia melihat ke arah Harry juga. Netra Harry menangkap sesuatu yang tidak asing baginya. Dia ingat, kalau pernah melihat wajah itu di suatu tempat. Tapi, dia lupa di mana.
“Paman? Kenapa Paman ke sini?” tanyanya gugup. Padahal, dia sudah lolos dari pengawasan Amanda. Bagaimana bisa Pamannya sampai di tempat ia berada sekarang?
“Seharusnya aku yang bertanya, kenapa kamu ada di sini? Dan siapa dia? Rasanya, wajah dia tidak asing.” Harry membalas pertanyaan Madie dengan pertanyaan juga.
Madie berdiri, begitu juga si pria. Dia berdiri, berjalan mendekat ke arahnya.
“Ya, kita pernah bertemu di pemakaman Elaine. Aku Ronald. Dokter, sekaligus temannya.” Ronald memperkenalkan dirinya dengan sangat percaya diri. Ia ulurkan tangannya pada Harry. Disambut dengan baik olehnya.
“Ah, ya, sepertinya memang di sana aku pernah melihat kamu. Dokter Elaine? Tapi, kenapa aku tidak pernah mendengar hal ini darinya?” Harry masih mencoba menggali lebih banyak informasi dari orang tersebut.
“Sudahlah Paman, ayo kita pergi dari sini!” ajak Madie. Ia mencoba menjauhkan sang Paman dengan orang tersebut. Dia masih belum bisa mengetahui hal yang membuat Ibu dan orang itu dekat. Selain ia mengatakan sebagai dokter dan temannya secara pribadi.
“Tidak Mad! Tunggu, aku harus mendengar jawaban darinya!” tolak Harry dengan tegas. Madie memejamkan matanya sejenak. Ia menggigit bibir bawahnya pelan. Pria itu menatap ke arahnya. Membuat dia harus melakukan sesuai dengan kesepakatan yang sudah mereka buat.
“Paman, dia adalah teman Ibu. Juga sebagai Dokter, tidak ada yang aneh dengan hubungan itu. Memangnya sejak kapan Paman memerhatikan kesehatan Ibuku? Ayolah kita pergi dari sini!” ajaknya lagi. Dia sedikit lebih memaksa kali ini. Langsung dia gandeng pengacara tampan itu. Membawanya untuk segera pergi dari tempat praktik dokter bernama Ronald tersebut.
“Tapi, Mad! Tunggu sebentar, aku belum mencatat nomor ponselnya!”
“Sudahlah Paman! Ayo!” cegahnya. Cepat dia menarik Harry. Hingga akhirnya merek sampai di tempat mobil mereka berada.
Madie menghela napas panjang.
“Kamu kenapa datang ke sini? Kenapa memakai mobil ibumu? Apa yang sedang ingin kau buktikan?” desak Harry. Dia memegang kedua lengan Madie. Memaksa gadis itu untuk menceritakan apa yang sebenarnya sedang dia rencanakan. Dia masih menatapnya dengan serius. Madie memalingkan wajah. Dia bingung harus berkata apa. Sementara, dia masih belum mendapatkan banyak informasi dari pria bernama Ronald itu. Karena kedatangan sang Paman yang mengacau. Gadis itu melepaskan tangan pamannya yang sedang memegangi kedua lengannya.
“Aku iseng saja mencari jejak panduan area di mobil Ibu. Dan hanya ini yang tersisa. Rupanya, dia sudah menghapus semua tempat. Kecuali tempat praktik Dokter itu.” Madie memulai ceritanya. Dia bersandar ke mobil. Berdiri di samping Pamannya. Dia mendongak. Melihat ke atas langit biru yang sedang menaunginya.
“Iseng? Pergi sejauh ini dan kau bilang ini iseng? Sepertinya, aku harus membawamu ke psikiater!” Harry bersedekap. Menatap gadis itu semakin dalam.
“Paman, dengarkan aku. Aku tidak seperti itu. Aku tidak sedang halusinasi, atau menerka tanpa bukti. Nyatanya, ada jejak area di mobil Ibu. Aku hanya datang untuk mencari informasi. Apa yang terjadi padanya. Kenapa dia sampai melakukan hal seperti itu? Itu yang sedang ingin aku cari tahu!” madie terdiam sejenak. Dia mengambil napas panjang. Lalu kembali melanjutkan ucapannya yang belum selesai.
“Apa menurut Paman semua ini relevan? Padahal, Ibu sudah mendapatkan Ayah kembali ke pelukannya. Dia sudah kembali ceria seperti sebelumnya. Tapi, kenapa dia harus bunuh diri? Apa menurut Paman ini tidak janggal?” gadis itu menyampaikan semua pemikirannya pada sang Paman. Semua itu, membuat Harry ikut berpikir keras. Apa yang diucapkan Madie memang benar. Rasanya, tidak ada hal buruk yang dia rasa sampai menjadi alasan Elaine mengakhiri hidupnya.
“Jadi, apa dugaanmu?”
“Entahlah. Dokter itu juga bilang kalau Ibu sudah semakin membaik setelah beberapa kali kontrol padanya. Semakin aneh bukan? Dan yang paling aneh lagi itu kakek! Bagaimana dia begitu tega, menyembunyikan kebenaran dengan berkata seperti itu. Anaknya sakit sudah lama? Lucu sekali!” balasan Madie terdengar kesal. Harry menepuk pundaknya.
“Begini saja, aku akan membantu memecahkan semua ini. Tapi, tolong jangan seperti ini. Kau membuat cemas banyak orang. Amanda bisa dipecat oleh kakekmu nanti!” Pria itu memperingatkan. Apa yang dilakukan oleh Madie bisa berakibat buruk pada orang lain.
“Tidak! Kakek tidak akan berani melakukannya. Toh, dia bekerja untuk aku. Aku yang menggajinya! Baiklah, paman urus masalah ini. Aku akan pulang!” jawabnya enteng. Gadis itu sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah padanya. Setelah membuat banyak kekacauan dan membuat banyak orang merasa cemas. Dia pergi begitu saja.
Sementara itu, beberapa menit sebelum Harry datang. Madie tengah berbincang dengan Ronald.
“Apakah Anda mengenal Ibu saya? Elaine, Elaine Brown. Ah tidak, Elaine Anderson!”
“Hai, salam kenal. Aku Ronald, kau... Madie? Benar bukan?” jawabnya. Bukan menjawab tentang pertanyaan dari gadis itu. Tapi, dia malah mengajaknya berkenalan terlebih dahulu.
“Ya, Anda benar. Lalu, apa hubungan Anda dengan Ibu saya?” balasnya ketus. Dia ingin memastikan, bahwa dugaannya salah. Ibunya tidak mungkin melakukan hal buruk yang sama seperti Antoni ayahnya.
“Seperti yang kau lihat. Aku Dokter, dia adalah pasienku. Ya seperti itu. Apa yang kau harapkan dari pertanyaan itu?” telisiknya. Ronald paham, dia bisa menjadi orang terakhir yang ditemui Elaine. Tapi, dia tidak ingin dicurigai.
“Oh ya? Tak ada hal lain?”
“Ada, tapi belum saatnya kau mengetahui semuanya. Kalau kau bisa menunjukkan bahwa kau siap menerima semuanya. Aku akan menunjukkan padamu. Karena, ini adalah perintah Elaine yang tidak bisa aku ingkari.” Dia memberi tahu. Tapi hanya secuil informasi. Bahwa ada hal lain yang menghubungkan keduanya.
“Apa maksudnya?”
Dan di saat itulah, Harry datang. Membuat semuanya kacau. Pertanyaan itu tak bisa dia dapatkan jawabannya. Karenanya, sekarang dia harus fokus dengan penyelidikan rahasia bersama dengan Harry.