Pikiran Madie kacau. Pertengkaran dengan sang Ayah semakin rumit saja. Tak hanya berhenti di situ. Sang Ibu bahkan menambah masalah baru dengan datang bersama seorang pria ke rumah. Sementara dirinya semakin mendapatkan banyak tekanan. Ketahuan untuk pergi berlibur semakin mencuat. Tapi, kalau dia tidak pergi berlibur sekarang. Kesempatannya untuk pergi bisa saja lenyap. Jadinya, dia putuskan untuk tetap berangkat saja. Kalau memang dibutuhkan, dia akan pulang lebih cepat dari rencananya. Daripada tidak bisa berangkat sama sekali.
Langkah anggunnya menyusuri lorong. Rambutnya bergerak dengan lembut. Dia sudah berganti pakaian. Mengenakan celana pendek dengan kaos berwarna putih. Dia memutuskan untuk berbicara dengan Ibunya. Sebelum pergi menjauh dari segala kekacauan yang ada. Ini adalah masalah mereka. Dan mereka yang harus menyelesaikannya dengan segera. Tanpa ada campur tangan dirinya. Namun, akan berbeda situasinya. Kalau sang Ayah kembali berulah. Maka, dia sudah memutuskan untuk mengambil anak laki-laki yang sangat disayangi olehnya.
Gadis itu mengetuk pintu kamar Mamanya. Pintu terbuka perlahan. Wajah lili menyambut Madie. Cukup lega melihatnya, helaan napas Madie terlihat dengan jelas.
“Silakan masuk Nona,” sambutnya. Segera dia membuka pintu lebih lebar lagi. Dan memilih untuk pergi ke luar kamar. Dia sangat tahu. Situasi seperti ini tentu saja dibutuhkan oleh mereka. Berbicara berdua, saling menunjukkan rasa simpati, dan memeluk lebih erat lagi.
“Terima kasih,” jawab Madie. Segera dia menutup pintu. Melangkah mendekat ke arah sang Ibu.
“Bu,” panggilnya pelan.
Elaine yang sedang berbaring di tempat tidur sambil memejamkan matanya pun merespons kecil. Dia membuka matanya perlahan. Memperbaiki posisi kepalanya. Mencari sisi paling empuk di bantal kesayangannya.
“Ada apa sayang?” jawabnya. Perlahan dia bangkit. Dan mencoba untuk duduk.
Madie dengan sigap langsung membantunya. Ibunya telah melewati banyak hal. Psikisnya pasti kacau sekarang. Gadis itu mengusap tangan sang Ibu dengan lembut.
“Aku akan pergi liburan untuk beberapa hari. Semua sudah selesai. Ricard bahkan sudah menelepon kalau villa di pantai itu sudah siap digunakan. Apa Ibu mah ikut?” ajaknya.
Gelengan pelan kepala Elaine menjawabnya dengan tegas.
“Tidak! Ayahmu akan leluasa bepergian kalau aku tidak ada di rumah. Kau pergi saja! Nikmati hari-hari tenangmu di sana.” Sebuah sentuhan lembut di rambut Madie dilakukannya.
“Ah ya, aku dengar, kau akan belajar sesuai dengan apa yang kakek inginkan? Sungguh? Wah, putri Ibu sudah dewasa sepertinya,” pujinya pada Madie. Sekali lagi dia mengusap lembut rambut anaknya.
Madie mencoba tersenyum. Padahal, itu hanya akal-akalannya saja agar bisa terbebas dari ceramah sang kakek. Sayangnya, hal itu adalah sebuah senjata makan tuan. Ah atau lebih tepatnya seperti bom waktu yang bisa saja meledak dan menghancurkan dirinya sendiri.
“Iya, Bu, aku akan membantu kakek sebisaku. Ibu yakin tidak mah ikut? Ngomong-ngomong, ke mana Ibu pergi? Kenapa tidak bisa dihubungi? Apa ada sesuatu yang tidak aku ketahui?” telisiknya. Mencoba mencari jawaban dari sang Ibu. Karena dia sudah sangat penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi.
“Aku hanya berjalan-jalan sebentar. Pria tadi, teman Ibu. Tak perlu mengkhawatirkan hal yang tidak penting. Pergilah, aku bisa sendiri menghadapi Ayahmu. Seharusnya sih, dia akan tunduk padaku setelah ini.” Kalimat itu meyakinkan madie untuk pergi sendiri. Segera memberikan dirinya sebuah relaksasi. Agar tetap segar dan bisa melanjutkan pekerjaannya.
“Baiklah, kalau memang itu yang Ibu katakan. Aku percaya. Kalau ada apa-apa, hubungi aku! Oke?” desaknya. Dan setelah Elaine mengangguk. Madie pun mendekat lalu memeluknya erat. Lalu melepaskannya dengan perlahan.
“Aku pergi dulu, jangan lupa makan! Aku akan menelepon saat sudah sampai! Dah!” pamitnya. Dia segera pergi dari sana. Sambil tersenyum penuh rasa lega.
Amanda membantunya membawa barang-barang. Memasukkan ke dalam bagasi mobil dengan rapi.
“Selesai Nona. Hati-hati, semoga liburanmu kali ini aman dan tenang,” ucapnya.
Madie mengangguk setuju. “Terima kasih banyak, titip Ibu. Jaga dia dan laporkan semua hal padaku. Jangan lupakan itu!” perintahnya. Setelah mendapatkan satu anggukan kepala dari Amanda. Gadis itu segera masuk ke dalam mobil. Mengendarainya dengan halus dan mulus. Kecepatannya stabil. Dia masih melihat ke arah kamar sang Ibu. Senyum tipis di wajahnya sangat kentara kalau dirinya sedang merasa cemas.
Mobilnya melaju semakin kencang setelah bangunan rumahnya tak terlihat lagi. Tempat ternyaman telah menunggu kedatangannya. Pantai akan memberikan kesegaran yang berbeda. Energinya akan dia dapatkan secara penuh. Setidaknya, begitu pikir Madie.
Jalanan itu dilewatinya sambil mendengarkan musik. Liburannya telah dimulai!
Sebuah vila dengan pemandangan pantai menyambutnya. Semua sudah dipersiapkan dengan sangat baik, rapi, dan sempurna. Dia akan menikmati hari tanpa kebisingan di sana.
***
Hari demi hari berlalu. Madie masih tenang dan damai di tepi pantai. Sementara Elaine dengan santainya membalaskan dendam pada seorang wanita yang sudah merusak hubungannya dengan sang suami. Bukan apa-apa, hanya sebagai pelajaran saja.
Suatu ketika, dia masuk ke dalam ruangan yang sudah dibersihkan dari banyaknya ular itu. Dia melangkah dengan tenang. Wanita yang sedang diikat di kursi itu menunduk. Dijambaknya rambut yang sudah tidak berbentuk itu. Sebotol air disiramkan ke wajahnya. Bekas cakaran, goresan, dan bahkan lebam terpampang jelas di wajahnya. Di tubuhnya, jangan ditanya. Memar sudah pasti. Goresan pisau membekas di sana-sini. Guyuran air itu memberikan sensasi perih padanya. Perlahan wanita itu membuka mata. Tatapannya tajam, saat melihat ada seorang wanita cantik sedang berdiri di hadapannya.
“Cih! Kau hanya berani jika aku diikat ya?” sinisnya. Sambil meludah dan hampir mengenai kaki Elaine.
Elaine tersenyum miring. Dia sama sekali tidak terpancing. Apalagi tergerak hatinya untuk melepaskan ikatan perempuan itu. Dia tidak peduli. Mau wanita itu mengatakan hal buruk tentangnya. Memprovokasi dirinya. Atau melakukan hal lain agar dia dilepaskan.
“Usahamu cukup bagus. Tapi, aku tidak akan pernah melepaskan kamu! Karena ... Kamu memang pantas mendapatkan semua ini. Ini adalah balasan yang tepat untukmu!” balas Elaine dengan anggunnya. Dia tersenyum lebar. Karena dia tahu, Eliza gagal membuat dirinya dilepaskan ikatannya.
Wanita yang sedang duduk dengan ikatan di tubuhnya menggeram. Tangannya mengepal, dia sudah tidak bisa lagi bertahan. Sisa tenaganya sudah hampir habis. Kalau Elaine masih tidak melepaskan dirinya. Tentu dia akan mati dengan perlahan. Tanpa bisa bertemu dengan anak kesayangannya.
“Kenapa? Kau rindu padanya?”
Elaine menunjukkan sebuah video padanya. Ada seorang anak laki-laki sedang melaporkan kehilangannya di sebuah kantor polisi. Lalu video berhenti. Berpindah pada gambar di mana anak laki-laki itu berada di dalam sebuah mobil bersama dengan seseorang.
“Jangan sentuh dia! Jangan sentuh dia!” teriaknya dengan keras. Ya, kelemahan seorang ibu terletak pada anaknya. Eliza menjerit-jerit. Meronta, mencoba menendang, dan juga melepaskan ikatan yang ada di tubuhnya. Sayangnya, hal itu sama sekali tidak berhasil. Kini, hanya menangis yang bisa dia lakukan.
“Oh tenanglah, jangan menangis. Dia aman! Dia sepertinya sangat kewalahan mencari keberadaanmu. Apa kau mau, aku ajak dia ke sini?” tawar Elaine. Ya, itu hanya sebuah ucapan saja. Tak ada niatan di dirinya untuk melakukan itu. Hanya merepotkan baginya.
“Tidak! Lepaskan dia! Kau bisa melakukan apa pun yang kau inginkan padaku! Jangan dia! Jangan sentuh dia!” pintanya dengan derai air mata.
“Wah, padahal dia adalah anak Antoni. Tapi, dia sama sekali tidak menemani anak itu. Apa kau tidak merasa aneh?” Elaine memutari wanita tersebut. Menyentuh pundaknya, memberikan sebuah cengkeraman yang cukup kuat di sana.
“Kenapa? Kau terkejut? Kalau aku saja bisa dia khianati. Apalagi kamu!” didorongnya kepala Eliza.
“Jangan sok cantik! Jangan merasa sok paling penting! Kau hanya mainan yang bisa dia tinggalkan kapan saja. Seperti sekarang!” Elaine tertawa puas. Dia bisa melihat kebencian di mata wanita itu. Dia berhasil membuat amarah dan rasa sakit itu merayap di hati si wanita. Seorang simpanan memang harus diberitahu, di mana letak posisinya.
***
Dering ponselnya terus saja membuat gadis itu jengah. Dia merasa kesal karena liburannya harus kacau karena ponselnya terus berdering nyaring. Ini masih pagi, dan dia sudah dikacaukan oleh telepon yang terus-menerus masuk ke ponselnya.
“Apa sih Amanda! Ini masih jam berapa! Kau berani sekali meneleponku di saat liburan!”
“Maaf Nona, maaf. Tapi ini, Nyonya ... Nyonya-,” Amanda tak sanggup melanjutkan kata-katanya.
“Ada apa dengan Ibu? Dia kabur lagi? Dia sudah berada di kesehatan yang baik. Biarkan saja dia pergi!” madie masih belum membuka mata. Pendinginan ruangan di kamarnya masih menyala. Dan dia sedang menikmati sisa tidurnya.
“Nyonya tidak sadarkan diri! Cepatlah pulang! Saya tidak bisa memberikan informasi lebih banyak lagi. Lebih baik Nona cepat pulang sekarang!” pintanya. Amanda langsung menutup telepon. Agar tak kelepasan bicara tentang keadaan sang Nyonya pada anaknya.
“Manda! Amanda! Ah sial! Ada apa lagi sekarang?” madie mau tidak mau harus bangkit. Dia membuka mata dan memaksakan kakinya untuk bergerak turun. Dia harus bersiap. Dengan perasaan kesal, malas, dan juga marah, dia melakukannya. Barangnya sengaja tidak dikemas. Karena dia berpikir, nanti juga akan kembali ke sana. Masa liburannya masih belum selesai.
Madie mengernyit, merasa aneh dengan keadaan di rumahnya. Kenapa begitu ramai? Ada ambulans, bahkan mobil polisi terparkir di area rumahnya. Perasaannya menjadi tidak karuan. Pikirannya mencoba tetap tenang. Tapi, hal lain mulai mencemarinya. Menimbulkan berbagai macam pertanyaan dalam kepalanya. Ada apa? Apa yang sedang terjadi di dalam rumahnya? Apakah ini ada hubungannya dengan sang ibu?
“Ibu!”
Gadis itu berlari dengan cepat. Menyibak beberapa orang yang sedang berdiri di dalam rumahnya. Segera menuju kamar sang Ibu. Di sana, ada kakeknya yang sedang berdiri dengan wajah muram. Perlahan Eddy menyadari kehadiran cucunya. Dia langsung menghalanginya untuk masuk dan melihat apa yang sedang terjadi di dalam sana.
“Ada apa ini kakek? Di mana Ibu?” tanya dia dengan paniknya. Perasaannya sungguh tidak enak. Pasti ada sesuatu. Dan dia harus tahu apa itu.
“Tenanglah!” teriak Eddy.
“Mana mungkin aku bisa tenang!” madie memberontak. Dia melepaskan pegangan tangan kakeknya. Dia memaksa masuk, menerobos punggung-punggung yang menutupi ruangan. Saat dia akhirnya bisa masuk dan melihat keadaan yang ada. Kakinya lemas. Tubuhnya seakan tidak bertenaga. Dia luruh, jatuh ke lantai dengan jeritan pilu. Sang ayah berdiri dengan wajah sedih. Memandangnya dengan sorot mata sembab.
Dia melihat dengan mata kepalanya sendiri. Bagaimana Sang Ibu sedang tergeletak di lantai. Dengan wajah pucat, dan bekas lilitan tali membiru di lehernya. Rambut panjang Sang Ibu tergerai dengan indah. Elaine memakai pakaian putih yang bersih. Dia terlihat begitu cantik. Seperti sedang tidur. Sebuah kenyataan yang sangat tidak bisa dia terima. Tangisnya menjadi-jadi. Teriakannya melengking, terdengar sangat menyakitkan. Dia mencoba meriah tubuh Ibunya. Tapi pihak kepolisian melarang. Menghalangi, demi terjaganya lokasi tempat kejadian yang utuh.
“Ibu!”
“Ibu!”
Amanda mendekat, dia mencoba menenangkan Nona mudanya itu. Tapi, yang bisa dia lakukan hanyalah memeluk tubuh itu dengan erat. Mencoba memberikan dia energi. Agar bisa lebih tenang.
Sayangnya, kesedihan Madie kini berubah menjadi sebuah kemarahan. Darahnya seakan mendidih. Dia mengusap air matanya dengan kasar. Dia melepaskan pelukan Amanda. Segera berdiri dan menatap tajam pada Antoni.
Sementara para polisi dan para pihak berwenang sedang melakukan tugasnya. Madie melangkah mendekat pada Antoni. Didaratkannya sebuah tamparan keras pada pipi Ayahnya. Mata Antoni terbelalak. Hampir saja dia membalas tamparan itu. Tapi diurungkannya, karena dia melihat ada Eddy yang sedang berdiri di sana. Memperhatikan dirinya.
“Sabarlah sayang, polisi akan menyelidikinya!” ucap Antoni mencoba terlihat bijak.
“Orang yang harus diselidiki di sini hanyalah kamu!” tamparannya kembali mendarat.
“Kau sok bijak? Padahal kau adalah sumber dari semua masalah yang ada di sini! Kau mencoba batas kesabaranku ya? Kau lupa sesuatu yang sudah aku sampaikan padamu?” madie mendekat ke arah Sang Ayah. Tepat di depan telinganya. Madie mengatakan sebuah kalimat.
“Anak itu akan memohon kematian di bawah kakiku!”
Antoni langsung melotot, sementara madie tersenyum sinis. Dia menunjukkan pada Ayahnya. Bahwa dia tidak main-main dengan ancaman yang pernah dia katakan. Bukan hal sulit melakukannya.
“Kau tidak akan menemukan dia! Aku sudah menempatkan dia di tempat yang aman!” balas Antoni. Sama dengan cara berbisik.
“Ah, sebuah rumah kecil dengan gaya klasik yang ada di pinggiran kota itu maksud ayah?” senyum madie merekah. Dia memang sudah merencanakan semuanya. Sebagai balasan jika suatu saat Sang Ayah berulah lagi.
Mendengar hal itu, tentu saja Antoni cemas. Dia bahkan terduduk lemas di lantai. Madie segera berbalik. Melangkah pergi meninggalkan kekacauan yang ada di dalam rumah itu. Sang kakek tak bisa menghentikannya. Dia tahu, cucunya itu butuh waktu untuk menerima semua kenyataan ini. Sementara dirinya tidak bisa langsung menjebloskan Antoni ke dalam penjara. Sebab masih belum ada bukti. Dirinya juga masih membutuhkan pria tidak tahu diri itu di perusahaannya.
Dalam hati, dia bertanya-tanya. Apa yang mereka bicarakan sambil berbisik. Dan kenapa, Antoni tampak sangat terkejut mendengar balasan dari Madie. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Dan kenapa dia sampai tidak tahu apa-apa tentang permasalahan ini.