“Paman, bagaimana? Apa dia bekerja dengan baik?” Madie menelepon Harry di sela perjalanannya menuju tempat pemotretan. Pengeras suara di mobilnya telah dia hidupkan. Dari sana, terdengar banyak ocehan. Tentang riasan, kostum, pencahayaan, dan juga pose. Sudah bisa dipastikan, Harry sedang berada di tempat tersebut. Memantau sendiri kelanjutan kontrak kerja yang baru mereka buat dengan seorang gadis bernama Hazel tersebut.
“Kau bisa mendengarnya dari sana kan? Betapa kacaunya di sini. Kalau kau ingin melihatnya, datanglah! Dan berikan aku ruang untuk beristirahat hari ini!” balasnya kesal. Pria dengan wajah tampan itu mengusap wajahnya. Merasa pusing karena harus berurusan dengan semua yang ada di sana. Padahal, dia ini pengacara. Kenapa malah tampak seperti seorang manajer pada akhirnya.
Madie menahan tawa. Mana berani dia menertawakan kesulitan pamannya itu. Karena sumber semua kesulitan yang dihadapi oleh Harry adalah dari dirinya. Dengan tersenyum tipis.
“Baiklah Paman, aku juga sedang berada di perjalanan ke sana. Apa Maria ada di sana? Dia tidak mengomel?” telisiknya. Ya, entah untuk ke berapa kalinya. Dia melakukan hal ini. Hingga membuat Harry repot. Terlebih, Marilah yang paling kewalahan harus bertemu dengan banyak klien menjelaskan tentang kejadian yang masih saja berulang lagi dan lagi. Madie menggigit bibir bawahnya. Dia mempersiapkan telinga, juga hatinya. Berharap Maria tidak terlalu heboh seperti sebelum-sebelumnya.
“Wah, jangan tanya padaku soal itu. Kau bisa menanyakan sendiri padanya nanti!” balasnya. Di sana, di tempat Harry sedang berdiri. Ada seorang wanita yang terlihat sangat kesal. Raut wajahnya tak bisa menyembunyikan semua rasa kesalnya saat ini. Membuat Harry merasa merinding. Entah apa yang terjadi saat Madie datang ke sana nanti.
“Ah, begitu. Baiklah, aku sudah hampir sampai. Paman jangan ke mana-mana! Tunggu aku! Bela aku di hadapan Maria!” pintanya. Terdengar merengek seperti bocah. Wajah cantik itu memang sedang memelas. Walau tak ada orang yang bisa melihat wajahnya dari dalam sana. Tapi ekspresi refleks itu terjadi begitu saja. Karena, dia memang cukup merasa bersalah pada Maria.
“Tidak! Aku akan pergi sekarang! Kau bisa memohon ampun pada perempuan itu sendirian!” balas Harry. Pria itu langsung memutuskan sambungan telepon dengan sang keponakan. Sebelum gadis itu datang ke sana. Membuat Maria marah. Lalu meminta bantuan pembelaan dari dirinya. Oh tidak! Harry harus bergegas keluar dari sana. Sebelum semua kekacauan yang sedang dia bayangkan benar-benar terjadi di hadapannya.
“Paman! Paman! Ah sial, dimatikan sama dia!” umpatnya kesal. Dia merasa sedikit merinding sekarang. Harus menghadapi kemarahan Maria sendirian. Sama sekali tidak pernah terbayang dalam pikirannya. Wajahnya semakin memelas. Dengan kening berkerut, bibir mencebik, dan mata yang satu. Dia menggelengkan kepalanya asal. Merasa tidak tahu lagi harus melakukan apa. Selain menghadapi kemarahan Maria dengan telinga yang dia tutup dengan earpod.
Mobilnya telah mendarat dengan sempurna di tempat parkir gedung. Dia buka dasbor mobilnya. Mencari benda kecil empuk yang bisa dimasukkan ke dalam lubang telinganya. Dia harus bersiap. Sebelum berperang dan bersikap sok tegar di hadapan amukan besar seorang Maria. Sayangnya, benda yang dia cari tidak bisa dia temukan di sana. Wajahnya mulai panik. Ia terus mencari ke segala titik. Di sini tak ada, di sana tak ada, di atas di bawah, di samping, di belakang, tidak ada! Benda itu tak ada di mobilnya. Entah karena dia terlupa membawanya. Atau memang karena terlalu sering memakainya, dia sudah kehabisan stok.
Dibenturkan kepalanya ke arah setir mobil dengan pelan. Merasa menyerah, dan kalah. Padahal belum berperang. hanya karena senjata pertahanan terakhir yang dia miliki tidak ada. Setelah beberapa saat berlalu. Dia akhirnya mengangkat kepalanya. Mencoba mengatur napas dalam-dalam. Lalu mengeluarkannya dengan perlahan. Setelah beberapa kali melakukan itu. Ia merasa dirinya siap menghadapi cacian dari Maria. Segera dia turun dan melangkah ke arah gedung dengan perlahan. Dalam hati, dia terus berdoa. Agar semua hal buruk yang terjadi hari ini akan segera terselesaikan.
Beberapa pasang mata menyambut kehadirannya. Memberikan senyum. Ada pula yang melambaikan tangannya pada Madie. Gadis itu membalas dengan hati yang was-was. Meskipun tersenyum dan mencoba tetap terlihat ramah. Matanya tetap mengedar. Mencari sosok yang ingin dia temui hari ini. Langkahnya terus maju. Mencari dari satu titik ke titik yang lain. Dan saat netranya telah mengunci seorang wanita dengan kaos oblong dan juga celana robek di bagian lutunya. Kedua kakinya mendadak kaku dan susah digerakkan. Bahkan, kepalanya sendiri seakan ingin melawan kehendak otak untuk menemuinya. Seolah seluruh anggota tubuhnya menolak. Tidak sekarang! Tidak sekarang! Tapi, otaknya berkata semuanya harus segera dia hadapi. Agar liburannya bisa tenang dan damai.
Sebuah helaan napas yang panjang dia lakukan. Lalu, setelah itu. Dia bersikap seakan tak terjadi hal apa pun.
“Selamat siang, semuanya!” sapanya. Cukup keras. Membuat semua pergerakan di ruangan itu langsung berhenti seketika. Gedung itu hening mendadak. Semua mata tertuju kepadanya. Dia menelan ludah. Semua itu membuat perasaannya semakin tidak karuan sekarang.
“Astaga, sepertinya aku salah memulai persiapan! Sial, sial!”
Dia mengumpat dalam hati, tapi, tetap mencoba untuk tenang dan tak terlihat gugup.
“Kalian bisa melanjutkan pekerjaan lagi, silakan-silakan. Tidak perlu menghiraukan aku. Anggap saja tidak ada di sini!” ucapnya cepat. Segera semuanya kembali pada pekerjaan mereka. Sayangnya, seorang wanita dengan celana robek di bagian lutut itu menatap dengan tajam ke arahnya. Kakinya mulai bergerak maju. Dari tempat Madie berdiri. Dia bisa melihat arah langkah wanita itu adalah ke arahnya. Mau kabur sudah terlambat. Kedua netra mereka sudah bertemu. Wajah Maria sama sekali tidak ramah. Madie melihat dengan jelas. Sorot mata itu mematikan. Bibirnya sudah berkomat-kamit entah merapal mantra apa. Gerakan kakinya mantap. Membuat rambut dan bahunya bergerak dengan irama yang pas. Ah tidak, sepertinya irama itu cukup menegangkan bagi Madie.
Gadis itu bersikap sok tenang. Padahal, kedua kalinya sudah sangat ingin lari dari tempat tersebut. Ia masih mencoba terlihat ramah dengan menyulam senyum di bibirnya.
“Hai, Maria!” sapanya. Pada perempuan itu yang sudah berjarak semakin dekat dadi tempatnya berdiri.
Tak ada balasan darinya. Perempuan itu malah terlihat semakin marah. Lalu meraih tangan Madie dengan kuat. Ia menyeretnya dengan paksa. Mengikuti langkah Maria dengan terseok-seok. Hampir jatuh, tapi tetap berusaha tenang dan terlihat tak bersalah. Semua mata melirik, melihat, memerhatikan mereka berdua. Madie masih melemparkan senyum pada mereka. Masih mencoba untuk terlihat baik-baik saja.
“Maria!” panggilnya pelan. Tak ada jawaban. Perempuan itu terus menyeretnya hingga ke belakang gedung. Lalu, dia mendudukkan Madie di sebuah kursi. Ditatapnya lekat-lekat gadis cantik tersebut. Dengan kedua tangan berada di pinggang. Dia siap mengutarakan semua hal pada gadis itu.
Madie tersenyum lebar. Seperti tidak pernah melakukan kesalahan apa pun.
“Simpan saja senyummu itu! Tidak mempan lagi! Tidak untuk yang sekarang!” perempuan itu memulai serangannya. Madie mengangguk pelan, dan setuju untuk melepaskan senyuman itu dari wajahnya.
“Ya, baiklah, katakan semuanya sampai kau merasa lega,” balasnya pelan. Kepalanya menunduk, kedua jemari tangannya dia mainkan.
Maria mengusap wajahnya. Rambut yang dia cepol di atas kepala tampak semakin awut-awutan.
“Kau tahu, berapa helai rambutku yang rontok karena tindakan kamu kali ini, hah?” ini hanyalah permulaan. Rentetan makian, protes, rasa kecewa, amarah, dan kekesalan akan dia utarakan satu-persatu padanya. Dan dengan santainya madie menggelengkan kepalanya.
“Ada berapa?” tanya dia.
Hal itu membuat Maria memutar bola matanya.
“Kau ini... Kau ini... Haaaaah!” tutupnya dengan sebuah teriakan yang keras. Tak bisa dia melanjutkan kata-katanya. Padahal, sebelumnya dia telah bersiap untuk berperang dengan gadis yang sedang duduk di hadapannya itu.
“Katakan saja Mar, aku akan mendengarkan semuanya!” balas gadis itu pasrah. Dia hanya ingin semuanya berjalan dengan cepat. Kalau Maria masih menyimpan rasa kesal dalam dirinya. Maka, sepanjang liburan dia akan terus mendengar ocehannya. Ia tak ingin hal itu terjadi.
Bukannya langsung mengucapkan semua kalimat-kalimat yang sudah dia persiapkan. Wanita itu marah menyibak rambut Madie. Memeriksa kedua telinganya. Mencari benda kecil empuk yang biasanya gadis itu gunakan saat melewati kejadian seperti ini. Berpura-pura mendengarkan. Padahal, tak ada satu kata pun yang dia dengarkan.
“Apa? Kau mencari earpod? Lihat nih lihat!” Madie menyelipkan rambut ke belakang telinganya. Agar Maria bisa melihat dengan jelas bahwa dirinya tidak sedang mengenakan benda itu di sana.
“Tuh, tidak ada kan!” lanjutnya.
“Tumben?”
“Karena aku ingin mendengar semua keluh dan kesah dari kamu Mar. Aku tulus! Aku merasa bersalah padamu. Maaf ya?” balas Madie. Dia mengatupkan kedua tangannya. Sebuah tanda permohonan ampun padanya.
Maria memutar bola matanya. Lalu, ia memilih untuk duduk di samping Madie. Lenyap sudah semua amarahnya.
“Kau mau apa lagi kali ini hah?” Maria meletakkan sikunya di sandaran kursi. Duduk menyamping agar bisa melihat wajah Madie menjelaskan kejadiannya.
“Wah, ada untungnya ternyata earpod itu tidak ada di mobil!”
“Kau pasti sudah dengar tentang masalah di rumah kan?” jawabnya memelas.
“Karena hal itu, kau mendadak ingin pergi seperti ini lagi?” telisik Maria. Tatapannya serius. Iya, dalam lubuk hatinya dia memang merasa iba pada gadis tersebut. Permasalahan di keluarganya sudah tersebar. Dan banyak orang yang sedang membicarakan hal tersebut. Entah dari mana asalnya. Tapi, sekarang semuanya semakin kacau dan susah dikendalikan hanya dengan sebuah kekuasaan.
“Ya, salah satunya. Maaf, sudah membuat kamu kewalahan karena hal ini. Tapi, gadis penggantiku cukup cantik bukan? Bagaimana, kau suka?” alihnya dengan cepat. Gadis itu memang sangat lihai kalah urusan mengalihkan pembicaraan.
“Ya dia cantik, tapi sepertinya tidak memiliki bakat sepertimu. Aku harus bekerja ekstra untuk membuat dia tak terlihat kaku. Jangan terlalu dipikirkan. Cepat selesaikan liburanmu. Lalu segera kembali ke sini. Kau tahu, Amelia marah besar! Dia menceramahiku dengan berlembar-lembar ocehan. Telingaku sampai panas waktu itu!” ceritanya. Pengalaman menghadapi atasan saat kontrak kerja kembali berubah karena orang yang sama.
“Oh ya?”
“Dia bahkan berkata, bagaimana kau ini. Atur dia dengan baik. Kalau klien marah dan menuntut bagaimana?” ditirukannya cara bicara Amelia. Dengan suara cempreng dan ekspresi kesalnya juga. Lengkap sekali.
Madie bersyukur dalam hati. Ternyata, permasalahan Ibunya bisa menyelamatkan dirinya.
“Kau pasti kelelahan mendengar itu semunya. Ah ya, aku pamit sekarang. Aku serahkan semuanya padamu!” Madie menepuk pundak Maria. Lalu bergegas pergi. Sebelum perempuan itu mencegahnya. Lalu, berubah pikiran dan langsung menceramahinya seperti Amelia yang marah padanya. Cepat Madie sudah sampai di mobilnya. Melakukan mobil dengan cepat adalah keahliannya.
***
Berada di tempat tidur. Berselimut tebal sampai menutupi bagian tubuhnya yang terbuka. Elaine masih merapatkan tubuhnya di sebelah sang suami. Pria itu, terdiam, ingin bertanya, tapi tak berani. Hingga wanita cantik itu membuka suara.
“Kau benar sudah menyelesaikan urusan dengan selingkuhanmu itu kan?” sebuah pertanyaan itu meluncur dari bibirnya setelah dia berpikir cukup lama.
Gerakan tubuh Antoni terasa resah.
“Ya, tentu saja sudah,” jawabnya.
Elaine tersenyum tipis. Dia tahu, suaminya sedang berbohong. Dia sangat tahu, pria itu sedang mencari selingkuhannya yang hilang bak ditelan bumi.
“Kalau begitu, jangan pernah pergi lagi. Jika kau masih melakukannya. Jangan salahkan aku, kalau dia pergi dari dunia ini! Kau mengerti bukan?”
Kali ini, Elaine berbalik badan. Menatap tajam pada sang suami.
“Aku juga tahu tentang anak laki-laki itu. Cukup tampan, sama seperti dirimu. Kau tidak ingin dia kehilangan masa depan bukan?” Lanjutnya. Sambil membelai lembut wajah Antoni. Senyuman di wajahnya tak pudar.
“A-apa maksud kamu?” Antoni tergagap. Dia ternyata salah. Sang istri tahu semuanya. Semuanya.
“Tidak perlu merasa takut seperti ini Sayang! Selama kamu tidak berbuat nakal. Dia akan tetap hidup dengan tenang.” Elaine bersemangat. Dia mengecup bibir Antoni hangat.
“Jangan, tolong jangan sentuh dia! Atau aku sendiri yang akan menghadapi kamu!” balas Antoni. Anak laki-lakinya harus dia lindungi. Anak laki-laki adalah penerus. Dan harus dia amankan dengan sangat sempurna.
“Kau mengancam aku? Aku bahkan bisa memotong tangan dan kakinya sekarang, Antoni!” bentak Elaine. Kemarahan pada dirinya mulai merayap dengan cepat. Kepalanya terasa sakit, badannya mendadak panas. Seolah darah dalam dirinya mendidih seketika saat dia mendengar balasan dari suaminya.
“Baiklah, kalau memang itu yang kamu mau.”
“Ah maaf, aku tidak bermaksud begitu. Aku hanya ingin melindunginya. Eliza pergi entah ke mana. Dia sendirian Elaine. Please, aku hanya simpati kepadanya,” elak Antoni. Mencoba menutupi rasa cemasnya. Ancaman Elaine bukanlah hanya sebuah isapan jempol belaka. Perempuan cantik itu bisa melakukan banyak hal demi memuaskan dirinya. Termasuk menyakiti siapa pun yang berani mengusik dirinya.
“Oh ya? Memangnya ke mana dia? Kabur karena kau sudah mencampakkan dirinya?” tanya Elaine berpura-pura peduli. Padahal, dia tahu semua. Di mana perempuan itu berada. Juga tentang kondisinya yang sudah mulai gila karena perbuatannya.
“Sudahlah, tak perlu membahas dia!” balas Antoni. Sebuah jawaban paling aman. Agar tak merembet ke mana-mana. Elaine mengangguk setuju. Ya, dia juga tidak ingin kelepasan bicara soal selingkuhan suaminya itu.