10. Keluarga Anderson

2066 Words
Dengan perasaan malas Madie berjalan masuk ke dalam area kantor. Banyak mata memerhatikan dirinya. Desas-desus mereka bisikkan satu sama lain. Sayangnya, hal itu sama sekali tidak memengaruhi dirinya. Menurutnya, mereka hanyalah orang yang tidak tahu duduk permasalahannya seperti apa. Suka-suka mereka mau mengatakan apa. Dia tidak peduli. Langkah anggunnya terhenti. Saat dia akhirnya menyadari. Di ruangan sang kakek sedang berdiri beberapa pria dengan jas hitam. Pakaian mereka tampak begitu rapi. Madie tidak salah lihat. Mereka adalah penjaga sangat kakek. Rupanya, Eddy mulai waspada akan keselamatan dirinya. Gadis dengan pakaian berwarna putih kombinasi garis biru itu berdiam diri di tempatnya. Memperhatikan situasi. Tampaknya, beberapa karyawan masih saja berbisik-bisik. Dia menoleh tepat saat dirinya mendengar sesuatu yang tidak mengenakkan di telinganya. “No-nona.” Seorang karyawan yang baru saja mengucapkan hal menyebalkan itu tergagap saat melihat sosok Madie tengah berdiri tepat di hadapannya. Seorang karyawan yang bersama dengannya langsung melangkah mundur. Ia sama sekali tidak berminat jika harus berurusan dengan Madie. Karena ia sangat tahun dan paham betul bagaimana sikap anak konglomerat satu itu. Sementara si karyawan yang sudah kelepasan bicara menundukkan kepalanya. Menggigit bibir bawahnya perlahan. Ia menyesali ucapannya sendiri. Merutuk dan mengutuk dirinya sendiri di dalam hati. “Kenapa? Sepertinya sangat menyenangkan ya membicarakan Ibuku?” ucap Madie dengan tenang. Suaranya halus seperti biasa. Tapi, begitu berbahaya dan mematikan. Dia menatap karyawan itu dari atas sampai ke bawah kaki. Kemudian dia tersenyum mengejek. Berjalan mengitari gadis itu sambil sedikit menyentuh beberapa bagian tubuhnya. Pundak, rambut, dan bahkan wajahnya. Sebuah cengkeraman dari tangan lembut itu terasa panas di wajah sang gadis. Gadis itu memejamkan matanya. Tak berani menatap Madie yang sedang memanas karena ucapannya. “Jawab!” bentaknya. Hingga membuat banyak mata memerhatikan mereka. Pada akhirnya, kedua pria berjas hitam itu mengarahkan perhatiannya pada asal suara. “Ti-tidak Nona. Ma-maafkan a-aku Nona.” Pintanya. Kedua tangannya dikatupkan, digosok-gosok dengan perlahan. Soroti matanya sayu juga ketakutan. Keringat dingin sudah membasahi keningnya sedari tadi. Dia sama sekali tidak menyangka akan menghadapi hari seperti ini. Kalau firasat buruk ini benar. Maka, ini adalah hari terakhir dia bekerja di perusahaan itu. “Maaf? Maaf?” Madie terbahak-bahak. Dia melepaskan cengkeraman tangannya di wajah gadis itu dengan kasar. Sehingga membuatnya hampir terjatuh ke lantai. Gadis itu menunduk semakin rendah. Badannya mulai gemetar. Rasa takut itu merayap dengan cepat ke seluruh tubuhnya. “Coba katakan sekali lagi, Ibuku kenapa?” Tak ada jawaban. Gadis itu sungguh tak berani mengucapkan apa pun sekarang. “Tadi, kau bilang dia tidak tahu malu?” “Lalu, apa lagi? Rela melakukan apa saja demi pria?” “Kau amnesia, tidak waras, atau memang sakit mental? Pria yang kau sebutkan itu adalah suaminya! Apa yang salah dengan hal itu, dasar jalang!” dan sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri karyawan itu. “Manusia sampah seperti kamu tidak layak berada di perusahaan ini. Mulai hari ini, kamu dipecat!” Madie mengucapkannya sambil menatap wajah perempuan itu dengan tajam. Ditariknya nametag karyawan tersebut. Dilemparkannya dengan keras ke lantai. Dengan satu jentikan tangan. Kedua pria yang sedari tadi mengawasi mereka pun mendekat. “Ya, Nona.” Mereka serempak memberi salam. Dengan sedikit menundukkan badan. “Bawa sampah ini keluar dari sini! Kalau masih ada sampah lain, kalian bisa singkirkan juga bersama dengan dia!” sebuah ancaman yang tersirat. Semua karyawan menunduk, kembali duduk ke tempat mereka masing-masing. Tak akan ada lagi yang berani bergosip di sana. Jika mereka tidak ingin bernasib sama dengan si karyawan. “Baik Nona!” jawab mereka berdua. Keduanya segera menarik karyawan itu. Tangisan, permintaan maaf, permohonan ampun darinya sama sekali tidak digubris oleh Madie. Dia harus bertindak tegas. Agar tak ada lagi yang berani melakukan hal serupa di tempat itu. Dengan air mata yang terus menetes. Gadis itu mencoba meraih Madie. Tapi, kekuatan para pria yang sedang memegangnya begitu besar. Tangannya hanya menangkap angin kosong saja. Sia-sia. Semuanya sia-sia sudah. Madie menatap mereka satu per satu. Memberikan mereka tanda, bahwa dirinya akan tetap mengawasi setiap gerakan mereka. Dan tak akan ada ampun bagi siapa saja yang telah mengatakan hal buruk tentang keluarganya. Ia kembali memfokuskan dirinya. Ia akan bertemu dengan sang kakek. Perbincangan tentang penerus perusahaan tentu akan berlangsung lama. Dia harus mempersiapkan diri. Alasan liburan kali ini harus bisa dia gunakan dengan tepat. Janji-janji palsu sudah dia siapkan dengan rapi. Rentetan silat lidah sudah tersusun sempurna. Dia hanya perlu tetap tenang dan terlihat meyakinkan. Sebelum dia akhirnya mengetuk ruangan kakeknya. Dia menghela napas panjang. Kemudian, barulah dia mengetuk pintu tersebut dua kali. “Masuk!” Segera dia buka pintunya. Menyapa dengan senyum dan sebuah anggukan kepala pelan. Tak perlu dikomando lagi. Dia duduk di depan sang kakek. Menunggu pria itu selesai dengan pekerjaannya dengan tenang. Dia hanya diam dan memerhatikan. Sampai Eddy membereskan berkas yang baru saja dia tandatangani. Membuka kacamatanya, lalu meletakkan di atas meja. “Jadi, ada apa tadi? Kenapa berisik sekali di luar?” pancing Eddy. Mencoba menggali dan mencari tahu apa yang tidak dia ketahui karena fokus dengan berkas-berkas pekerjaannya. “Biasa, sampah memang harus dibuang ke tempatnya bukan? Agar tidak mengotori lingkungan.” Jawabnya enteng. Tak merasa bersalah. Juga tak merasa perlu menjelaskan keadaannya lebih detail lagi. Menurutnya, mengucapkan hal itu pada sang kakek sudah sangat cukup. “Baiklah, jadi kapan kau akan mulai belajar bisnis?” Eddy menyandarkan punggungnya ke kursi. Memerhatikan ekspresi sang cucu dengan saksama. Dia sudah berulang kali tertipu oleh muslihatnya. Madie menyambutnya dengan sebuah senyuman. Dia terlihat sangat tenang. Karena semua jawaban dari pertanyaan itu sudah dia siapkan dengan baik. “Kakek, aku baru saja memutuskan untuk berhenti sejenak dari rutinitas menjadi model. Aku... Ingin liburan beberapa hari dulu. Setelah itu, aku akan mulai belajar bisnis. Di kampus mana pun yang kakek pilihkan!” jawabnya dengan sangat meyakinkan. Sama sekali tak tampak gurat ragu, atau nada kebohongan di suaranya. Eddy cukup terkejut mendengar kabar tersebut. Satu alisnya terangkat. Masih tidak percaya dengan apa yang dia dengar dari mulut manis cucunya. “Oh ya? Kau yakin tidak sedang membodohi kakek? Aku bisa langsung menyeret kau masuk ke dalam kelas kalau kau berbohong lagi!” ancamnya. Dia memperbaiki posisi duduknya. Kini, dia mendekatkan wajahnya ke arah Madie. Masih ingin menelisik dan mendeteksi kebohongan dari gesture sang cucu. Madie tertawa pelan, “Kakek pasti bercanda bukan?” “Apa aku terlihat bercanda?” Eddy menatap tajam pada kedua netra cucunya. Mengisyaratkan bahwa dirinya sama sekali tidak sedang bercanda padanya. Madie menelan ludah. Tawanya lenyap, senyumnya pudar. Wajah kakeknya sama sekali tidak ramah. Tidak menunjukkan senyum. Tidak menunjukkan sedikit pun gurat bercanda di wajahnya. “Tidak kakek, sungguh aku juga sedang serius!” balasnya. Mencoba menenangkan diri atas ancaman yang diberikan sang kakek. “Kakek bisa melakukan semua itu. Tapi, izinkan aku untuk menjauh dari semua ini. Kakek sudah berjanji!” tekannya. “Oke, setuju. Nikmati liburanmu! Kau boleh pergi!” putusnya. Santai, dan tetap berwibawa. “Sungguh?” mata Madie berbinar. Senyumnya merekah dengan sangat lebar. Debar di dadanya semakin kencang. Dia merasa begitu senang sekarang. Memastikan liburannya akan aman dan tetap tenang. Sebuah villa di dekat pantai yang sudah dijanjikan oleh sang kakek terbayang di kedua matanya. Sebuah jawaban langka telah dia terima. Sudah saatnya dia mengurus kepergiannya sekarang. Sebelumnya, dia harus memastikan Harry sudah melakukan perkerjaannya dengan benar. Hazel harus menjadi penggantinya mulai hari ini. “Kau mau bekerja mulai sekarang?” Eddy menggodanya. Dengan alis yang dia naik-turunkan. “Ah, tidak-tidak, terima kasih!” jawabnya sambil menggelengkan kepalanya cepat. Kedua tangannya juga bergerak bersamaan menolak ucapan kakeknya. Segera dia bergegas pergi. Sebelum sang kakek mencabut keputusannya. Akan sulit berdalih jika dia berubah pikiran sekarang. Madie mengambil langkah cepat. Dia ingin mencari Ibunya. Seharusnya, Ibunya sudah berada di rumah sekarang. Kalau ternyata masih belum pulang juga. Dia akan kembali merepotkan Harry untuk mencari di mana keberadaan sang Ibu. *** Elaine sedang berendam. Membersihkan diri dari segala kelelahan yang dia alami. Penyiksaan itu tetap akan berjalan meskipun dia tidak sedang berada di sana. Semua keadaan bisa dia lihat secara langsung. Kecanggihan teknologi memudahkan segala hal. Termasuk pembalasan dendam. Dia sangat puas sudah melihat kehancuran si perempuan. Setiap orang yang merusak kebahagiaannya. Harus dibalas dengan kehancuran tanpa ampun darinya. Dia adalah Elaine! Putri satu-satunya keluarga Anderson. Sebuah keluarga dengan kekuatan dan kekuasaan yang begitu besar. Tidak sulit baginya menyingkirkan seorang wanita simpanan yang sudah sangat berani menggoda suaminya. Sementara itu, di tempat lain Antoni sedang sibuk mencari Eliza. Mengerahkan beberapa detektif swasta untuk mencari keberadaannya. Dia sedang menenangkan sang anak. Agar tidak terlalu cemas karena kejadian tersebut. Sudah lebih dari dua puluh empat jam Eliza menghilang. Dirinya pun cemas, apakah harus melaporkan kejadian ini pada polisi atau tidak. Karena dia sama sekali tidak tahu. Dan juga tidak bisa yakin dengan keadaannya. Apakah Eliza pergi dari rumah karena ingin, atau ada sesuatu yang buruk sedang menimpanya. “Kita akan cari Ibumu bersama-sama. Tapi tidak hari ini. Berikan Papa waktu. Untuk menyelesaikan pekerjaan yang tertunda. Semua ini juga untuk kamu dan semua kebutuhan kamu.” Antoni membuat alasan agar bisa segera pergi ke rumahnya. Karena dia sudah membuat janji dengan Elaine. Akan bertemu siang ini. “Tapi, Ayah! Bagaimana dengan Ibu? Apa kau tidak khawatir dengan keadaannya?” anak laki-laki itu mencoba mencegah Ayahnya pergi. Walau dia tahu betul. Hal itu sama sekali tidak akan berhasil. “Kau tahu, Ibumu pasti baik-baik saja. Bukankah kau sendiri yang bilang dia pergi mengendarai mobilnya? Kita tunggu saja dia pulang dengan tenang. Oke? Ayah pergi dulu!” Antoni mengecup pucuk kepala anak tersebut. Dan langsung bergegas pergi. Sementara Lucas merasa ada yang aneh dengan kepergian Ibunya. Sang Ibu sama sekali tidak akan pernah lupa mengabari. Tapi, ini dia sudah tidak terlacak sejak kemarin siang. Tak pulang, tak ada kabar, dan sang Ayah bahkan terlihat tidak peduli. Hanya pekerjaan dan pekerjaan yang terus ada di kepalanya. Anak laki-laki itu mulai geram. Dia merasa cukup besar untuk melaporkan kejadian itu ke polisi. Dia akan melakukannya. Ya, dia sudah bertekad untuk mencari keberadaan Ibunya sendiri. Dia mengambil tas ransel miliknya. Ada mainan, buku, dan juga beberapa lembar uang di dalamnya. Dia harus bergegas. Sebelum hari semakin sore. Elaine sudah selesai dengan segala perawatan tubuhnya. Dia merasa lebih segar dan lebih hidup dari sebelumnya. Hatinya puas. Pembalasannya sudah dimulai. Kehancuran wanita itu sudah bisa dia pastikan. Kini, Antoni akan sepenuhnya menjadi miliknya. Tak akan ada perempuan lain dalam hidupnya. Kalau pun ada, dia akan melakukan hal yang sama untuk membalaskan dendamnya. Wanita cantik dengan gaun tipis berwarna merah muda itu sedang duduk di balkon kamarnya. Memandangi suasana di luar rumah. Halaman yang luas itu tampak hijau karena rumputnya tertata dengan rapi. Sudah cukup lama dia tidak menikmati pemandangan ini. Di liriknya jam yang melingkar di lengannya yang putih. Antoni terlambat. Dia seharusnya sudah datang dari lima belas menit yang lalu. Tapi, untuk kali ini Elaine akan memberikan kompensasi. Dia tidak akan marah. Karena dia sudah cukup puas melihat wanita selingkuhan suaminya itu menjerit kesakitan. Apalagi, pria berbadan besar itu telah melakukan hal buruk padanya. Dia adalah sampah yang memang pantas untuk diinjak dengan sangat keras. Supaya dia sadar di mana posisinya yang sebenarnya. Sebuah mobil memasuki halaman. Suara mesinnya hampir tidak terdengar. Tapi Elaine tahu, itu adalah suaminya. Dia segera turun dan menyambutnya. Dia berdiri di balik pintu. Menunggu orang-orang dicintainya membuka pintu. Dia tersenyum sendiri, tersipu, membayangkan sesuatu yang liar di kepalanya. Pria itu miliknya. Selamanya akan tetap seperti itu. “Selamat datang!” sambutnya. Dia segera berhambur ke dalam pelukan sang suami. Memeluknya dengan erat. Dan bergelayut manja. Tubuh besar Antoni menerima pelukan itu dengan sigap. Wanita yang sedang memeluknya ini begitu cantik, wangi, dan yang paling penting kaya raya. Dia membalas pelukan itu dengan lembut. Dengan sentuhan penuh kasih sayang. Juga sebuah ciuman mesra di lehernya yang mulus. “Bagaimana kalau kita langsung ke kamar saja?” bisik Elaine nakal. Ia tarik dasi suaminya dengan perlahan. Tak ada pilihan lain. Antoni mengiyakannya saja. Dia harus bisa menguasai sema harta milik sang istri. Agar tak salah langkah dan bisa melanjutkan berfoya-foya lagi. Mereka berdua saling tersenyum genit. Para asisten rumah tangga tak berani menatap. Mereka menunduk dan menutup telinga dengan rapat. Mereka harus tetap bersikap tak pernah melihat kejadian itu. Bersikap buta, bisu, dan tuli. Agar pekerjaannya tetap aman. Sentuhan lembut, hangat, dan penuh hasrat itu semakin memanas. Mereka melebur menjadi satu. Memberikan kenikmatan satu sama lain. Elaine tersenyum puas. Dia bisa mendapatkan apa yang dia inginkan. Dia akan hidup dengan tenang mulai sekarang. Perempuan itu, tidak akan pernah bisa ditemukan oleh siapa pun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD