Seperti yang sudah dijanjikan. Madie bersiap untuk liburan. Dia mengemas beberapa barang miliknya. Sebuah koper besar telah terisi penuh. Namun, tak ada ceria di wajahnya. Dia lagi dan lagi terlambat. Setiap dia berada di rumah. Ia tak menemukan sosok mamanya. Selalu saja begitu. Saat ditelepon pun, Elaine tak mengangkatnya. Dia merasa resah terus menerus. Sebuah perasaan yang sangat tidak cocok untuk seseorang yang akan pergi berlibur.
Dia mengusap wajahnya. Bagaimana bisa dia selalu kelewatan setiap ingin bertemu sang Ibu. Kemudian, dia akhirnya berpikir akan sesuatu. Pamannya. Ya, Harry pasti bisa membantu dirinya dalam masalah ini. Segera dia ambil ponsel dan meneleponnya. Di luar dugaan. Sang paman tak kunjung mengangkat telepon darinya.
“Hah? Tidak diangkat? Paman? Jangan bercanda!” gumamnya pelan. Dia kembali mengulang panggilannya. Nada sambung itu terdengar berkali-kali. Tapi, tetap saja tidak diangkat oleh sang Paman.
Ya, Harry sedang merasa kesal dan ingin berlibur seharian. Dia tidak ingin mengangkat telepon dari siapa pun juga. Termasuk Madie. Karena gadis itu adalah sumber ketidakwarasan yang dia alami. Dia hanya melirik ponselnya yang terus berdering. Ponsel itu bahkan sudah berputar-putar karena getarnya.
“Bodo amat!” sinisnya. Dia kembali memejamkan mata. Menyempurnakan posisi tidurnya. Rebahan adalah solusi paling sempurna untuk sebuah hari libur.
“Awas kau paman!” geram Madie. Segera dia berdiri. Melangkahkan kaki keluar kamar. Menuruni banyak anak tangga. Panggilan dari Amanda tak dia hiraukan. Cepat saja dia berjalan. Keluar rumah menuju mobilnya. Dia hafal di mana tempat Sang paman. Dia akan segera menemuinya.
Tapi, mendadak dia kembali keluar dari mobil. Segera masuk dengan berlari.
“Amanda!” teriaknya.
Asistennya itu segera menghampiri dirinya.
“Iya, Nona, ada apa?” balas Amanda. Tadi, dia memanggil dan tak dihiraukan. Tapi, sekarang Nona mudanya itu kembali dengan berlari untuk menemui dirinya.
“Kalau Mama pulang, cepat telepon aku! Kalau bisa, kunci saja dia di dalam kamarnya!” titahnya. Dengan napas yang masih ngos-ngosan.
“Baik Nona, tapi... Nona mau ke mana pagi-pagi begini? Ah maaf, kalau saya lancang berbicara,” pintanya. Segera dia mengakui kesalahan yang sudah dia lakukan.
“Aku mau ke rumah Paman, dia tak mengangkat telepon dariku. Menyebalkan sekali dia,” geramnya. Sambil meremas kedua jemarinya sendiri.
“Tunggu Nona!” cegah Amanda.
“Apa lagi?” Madie berbalik dengan menunjukkan wajahnya yang kesal.
“Mungkin Tuan Harry tak mengangkat telepon dari Nona karena tahu itu nomor Anda.”
“Ya iyalah! Kan nomorku disimpan sama Pam-an.” Madie menekankan bagian akhir kalimatnya. Karena saat itu, dia akhirnya paham apa yang dimaksudkan oleh Amanda. Gadis itu memang cerdas.
“Ah, aku mengerti sekarang. Cepat berikan telepon milikmu. Aku akan meneleponnya!” senyum Madie kembali merekah. Kalau cara ini berhasil, dia tidak perlu capek-capek untuk pergi ke rumah Pamannya. Tapi, kalau masih belum berhasil juga. Terpaksa, dia harus tetap pergi ke sana.
Amanda memberikan ponsel itu pada Madie. Gadis cantik itu segera menekan nomor pamannya.
“Angkat paman!” gumamnya. Kakinya bergerak-gerak. Menunggu panggilan itu terhubung.
“Halo, siapa ini?” suara yang sangat di kenal Madie menyapanya.
“Paman jangan ditutup! Ini aku Madie! Kalau Paman menutupnya, aku akan pergi ke rumah Paman dan mengacaukan semua isinya!” ancamnya. Sebuah ancaman yang keluar dari mulut Madie, tentu saja bukan sebuah ancaman belaka. Gadis itu sangat mampu untuk membuktikan semua ancamannya. Harry mendengar itu mengumpat dalam hati. Ternyata, dia sama sekali tidak bisa terlepas dari pekerjaan bahkan di hari liburnya.
“Apa lagi? Kau pakai nomor siapa ini? Padahal kau tahu, aku libur hari ini. Ya ampun Mad, tolonglah. Sehari saja, sehari aku ingin santai tanpa beban pikiran!” omel Harry. Dia mengeluarkan semua rasa kesalnya.
“Oke paman oke, maafkan aku. Tapi, aku ingin bertanya pada paman. Apakah Ibuku pernah menemui paman? Aku selalu saja kelewatan setiap dia pulang. Apa dia tidak bilang akan pergi ke mana gitu?” Madie mencoba menelisik. Mencari sebuah celah. Mencari sebuah informasi yang bisa dia dapatkan tentang keberadaan Sang Ibu.
“Hah? Elaine? Mana mungkin dia menemuiku. Tunggu saja di rumah kalau begitu. Nanti juga dia pulang!” balas Harry.
“Sudah tidak ada pertanyaan lagi kan? Aku tutup!” ucapnya. Langsung dia tutup tanpa menunggu persetujuan dari Madie. Pria itu segera menyimpan nomor tersebut dengan nama “Siaga 1”.
“Paman tunggu! Pam-an! Arrgh!” teriaknya kesal. Oke, setidaknya dia tahu bahwa Sang ibu tak pernah menemui Harry. Dan dia bisa menunggu di rumah sampai Sang Ibu pulang.
“Aku akan kembali ke kamar! Terima kasih!” Madie mengembalikan ponsel Amanda. Langsung berjalan menuju kamar dan dia memutuskan untuk menunggu di rumah saja. Agar tak selip jalan lagi dengan ibunya
***
Sebuah ruangan dengan dinding kaca itu menunjukkan banyak hal. Kesedihan, kemarahan, keputusasaan, kekesalan, dan kebencian yang sangat besar. Elaine menikmati setiap cambukkan yang mendarat di tubuh si wanita. Dia tersenyum dengan sangat lebar. Kedua matanya merekam semua penyiksaan itu dengan sempurna.
Dia merasa ingin menyentuh wanita itu dengan tangannya sendiri. Dia harus segera pergi dan masuk ke dalam ruangan tersebut. Wanita yang diikat di dalam sana terus memohon untuk dikeluarkan. Dengan tangis pilu yang terdengar bersamaan dengan suara cambukkan yang menyakitkan.
“Elaine, kau mau ke mana?” Ronald mencegahnya. Tapi, tangan lembut itu langsung menepisnya.
“Aku ingin membalas perempuan itu dengan tanganku sendiri! Dia harus tahu, siapa yang sedang menghukumnya. Agar dia merasa semakin sakit di dalam sana!” balas Elaine. Kembali melangkah menuju ruangan itu. Ronald tak banyak bicara lagi. Ya, begitulah Elaine. Mana puas dia kalau hanya menyaksikan tanpa melakukan apa pun. Pada akhirnya, dia hanya mengikuti langkah wanita cantik itu. Langkah mereka terdengar nyaring di ruangan yang sepi.
Para penjaga langsung memberi hormat dengan menunduk.
“Aku akan masuk. Kalian di luar ruangan saja!” ucap Elaine dengan elegan.
“Tapi Nyonya, di dalam banyak ular. Keselamatan And-” salah seorang penjaga mencoba mencegahnya dengan memberi tahu bahwa di sana ada banyak ular.
Tangan kanan Elaine diangkat sebatas wajahnya. Hanya dengan tanda itu, penjaga itu terdiam. Kemudian mengangguk dan kembali menunduk.
“Baik Nyonya!”
Bagi Elaine, dia sama sekali tidak takut dengan para ular itu. Ada seorang iblis berbentuk wanita sedang ada di dalam sana. Kalau wanita itu saja tidak berkutik padanya. Apalagi para ular. Dia percaya, ular-ular itu memihak dirinya. Kaki jenjangnya masuk ke dalam. Seorang penjaga membukakan pintu kedua.
“Tutup!” perintahnya. Mencegah penjaga dan bahkan Ronald untuk masuk ke dalam sana.
“Tidak Elaine! Kami juga akan masuk! Jangan melawan untuk yang satu ini! Terlalu berbahaya! Ada banyak ular di dalam sana!” cegah Ronald.
“Cerewet! Baiklah!”
Kini, Elaine dan Ronald sudah berada di dalam ruangan tersebut. Wanita yang sedang diikat di sana mendongak. Melihat siapa yang masuk ke dalam sana. Dengan wajah yang sudah membiru di beberapa sisi. Darah kering juga ada di wajahnya. Keringat bercampur dengan air mata mengering meninggalkan bekasnya.
“Kamu?” ucapnya.
“Kenapa?” balas Elaine dengan senyuman sinis.
“Antoni akan membalas semua ini padamu!” ocehnya. Dia masih mengira seorang pria yang mengkhianati istrinya akan membantu dirinya dalam keadaan itu.
Suara tawa Elaine adalah respons paling menyebalkan bagi Eliza. Dia tahu, dia mengatakan itu untuk menggertaknya. Elaine melangkah mendekat.
“Berhenti Elaine! Jangan terlalu dekat!” cegah Ronald lagi. Ular-ular di dalam saba masih saja melata ke segala arah. Bahkan di bagian kaki Eliza ada beberapa ular yang melilit-lilit.
Elaine menoleh, menatap tajam. Dan tak menghiraukan ucapan Ronald. Ditariknya rambut wanita itu dengan keras. Sampai kepalanya mendongak ke atas dengan tingginya.
“Antoni?” dia tertawa lagi.
“Pria itu bahkan tak berani bernapas jika tak aku suruh!” lanjutnya.
Eliza menggeram. Menahan rasa sakit karena rambutnya yang ditarik dengan kuat.
“Aku juga tahu di mana rumahmu, jadwal belanjamu, jadwal ke salonmu, bahkan jadwal kau mengantar dan menjemput anakmu!” bisik Elaine tepat di telinga wanita itu. Hal ini langsung membuat Eliza berontak.
“Jangan kau berani menyentuh anakku! Dasar tidak tahu diri! Kau sudah dibuang oleh Antoni! Karena kau tidak bisa memberikan dia-”
Sebuah tamparan keras mendarat di kedua pipinya bergantian. Elaine melakukannya terus menerus. Agar wanita itu tidak mengucapkan kalimat menyebalkan lagi. Wajah Elaine datar saat melakukannya. Dia marah karena hal itu. Dia marah karena disepelekan. Memangnya kenapa kalau punya anak perempuan? Dia adalah anak perempuan satu-satunya dari keluarga Anderson. Dan dia juga melahirkan seorang anak perempuan yang cantik, pintar, dan bahkan seorang pekerja keras. Sama sekali tidak ada cela di dirinya. Dia sempurna.
Gerakan yang sama dan berulang membuat tangan Elaine merasa panas. Begitu juga dengan Eliza, dia tidak lagi punya tenaga untuk membalas Elaine dengan ucapan menyakitkannya. Bibirnya sudah berdarah dan terasa sangat perih. Meminta berhenti dan ampunan pun percuma. Tidak akan pernah bisa dia dapatkan.
“Elaine cukup! Kau akan melukai tanganmu!” Ronald mendekat. Mencegah Elaine, agar tangannya tak terluka. Dia menarik Elaine dengan kuat. Menariknya yang terus mencoba meraih Eliza yang sudah terkapar tidak berdaya. Elaine memberontak.
“Lepas! Aku mau bicara padanya!” Dia akhirnya bisa melepaskan diri.
“Anak laki-laki itu akan aku hancurkan masa depannya!” dia masih tidak puas.
“Ah, apa aku jadikan saja dia umpan pada piton peliharaan yang ada di sini? Kau bisa melihatnya menjerit ketakutan secara langsung. Agar saat kau mati, kau bisa tenang karena menyaksikan kematian anakmu sendiri. Bagaimana?” Elaine berbicara pada Eliza. Wanita yang sudah tersungkur itu tak bisa membalasnya. Hanga bisa menjerit tidak terima di dalam hatinya. Segera dia tendang kaki wanita itu. Kemudian barulah dia pergi dari sana.
“Kau harus pulang! Jangan terlalu sering ke sini. Aku bisa mengirimkan videonya padamu setiap hari! Oke?” bujuk Ronald. Dia tak kuasa melihat tangan lembut ith berubah warna menjadi kemerahan karena nyeri.
“Baiklah, aku akan menurut. Aku pulang sekarang!” ucapnya tenang.
“Aku akan mengobati lukamu. Dan akan aku antarkan pulang. Jangan menolak!” tutup Ronald.
Elaine mengangguk setuju. Bibirnya tam jadi mengeluarkan kata-kata penolakan. Dia tersenyum dengan sangat cantiknya. Hal ini yang selalu membuat Ronald berdebar denga kencangnya.
***
Seperti yang disarankan oleh Harry. Madie masih berada di rumah. Menunggu kedatangan ibunya. Ayahnya ada sedari tadi. Tapi, dia malas untuk berdebat dengannya. Dia hanya diam dan menunggu ibunya datang.
Suara mobil memasuki halaman menarik perhatian madie. Segera dia berdiri dan mengeceknya sendiri. Apakah itu benar ibunya atau orang lain. Dan saat dia menatap sebuah mobil yang terbuka pintunya itu. Dia yakin, itu adalah ibunya. Tapi, kenapa seorang pria yang turun dari sana? Begitu pikirnya. Kepalanya dia miringkan, dia tajamkan matanya dengan menyipit. Mencoba menangkap wajah pria yang baru saja turun dari mobil ibunya. Ternyata, pria itu mengantar ibunya pulang. Cukup tampan.
“Ibu, aku mencarimu ke mana-mana. Dari mana saja?” Madie memberondongnya dengan pertanyaan.
“Dia denganku, ada sedikit masalah dan membuat dia harus maju. Ibumu sangat berani!” ucap Ronald.
“Benarkah?” madie memandangi Ronald dari atas hingga ke bawah. Dan sebuah ketukan di kepalanya membuat perilakunya itu berhenti.
“Jangan menatapnya begitu! Dia teman sekaligus dokter Ibu!” ucap Elaine.
“Ah, maaf, aku tidak tahu!”
“Kau sudah pulang?” Antoni ikut bergabung dengan obrolan mereka.
“Lepaskan tanganmu dari tubuhnya!” Antoni menarik tubuh Elaine menjauh dari Ronald. Pria itu langsung melepaskan tubuh Elaine tanpa membantah.
“Elaine, aku pergi, istirahatlah. Kau kelelahan hari ini! Madie, jaga ibumu! Kau sudah cukup dewasa untuk tahu keadaannya bukan?” pinta Ronald sebelum dia akhirnya pergi dari rumah itu. Dan setelah madie mengangguk setuju. Barulah dia melangkah pergi.
“Dari mana saja kamu?” Antoni membuka obrolan. Walau dengan nada yang kurang menyenangkan.
“Ayah tak dengar? Ibu butuh istirahat!” madie menyela. Biar saja dianggap tidak sopan. Dia tidak ingin melihat kekacauan rumah lagi untuk ke sekian kalinya.
“Apa hubunganmu dengan pria itu? Kau mengatakan aku bersalah karena berselingkuh, tapi kau seharian bersama seorang pria?”
“Kenapa? Kau cemburu?” Elaine melepaskan pegangan Madie. Mendekat pada Antoni dengan tatapan tajam. Wanita cantik itu baru saja akan membuka mulut. Tapi, madie mencegahnya.
“Sudahlah Ibu, ayo istirahat!” Madie berhasil membujuk. Dia memanggil Amanda dengan sebuah anggukan saat mereka saling menatap. Dengan sigap Amanda dan juga lili membantu Madie untuk membawa Elaine menuju kamarnya. Kedua asistennya itu menggandeng Elaine. Sementara itu, madie kini berhadapan langsung dengan ayahnya.
“Apakah kau masih mempunyai hak untuk bertanya seperti itu pada Ibu, Ayah? Wah, apakah anak laki-laki itu menambah rasa percaya diri yang ada pada dirimu? Lihat saja! Dia akan memohon-mohon di bawah kakiku untuk meminta kematian! Aku bukan anak kecil lagi! Aku punya kesempatan untuk melakukan banyak hal!” ancam madie. Gadis itu tumbuh seperti mereka. Keluarga yang memberikan contoh padanya sejak kecil. Bahwa semua hal ada dalam genggaman mereka. Dan seperti itulah dia tumbuh sekarang.
Antoni bahkan sama sekali tidak menyangka. Bahwa kata-kata kejam seperti itu akan meluncurkan di bibir manis gadis tersebut. Antoni mengusap wajahnya kasar. Ya, dia lupa. Dia juga harus segera mengamankan keberadaan Lucas. Sebelum dia juga menghilang seperti ibunya karena ketakutan.