Antoni bergegas pergi. Dia baru sadar. Ada sesuatu yang terjadi. Saat dia akhirnya sampai di rumahnya yang kedua. Rumah itu tertutup rapat. Halaman tak sebersih biasanya. Penjaga rumahnya saja tidak ada. Perasaannya mulai dirayapi rasa cemas. Kekhawatiran itu muncul secara mendadak. Dia bergegas turun dari mobil. Cepat-cepat dia berlari mencoba membuka pintu. Tak dikunci!
“Lucas!” Panggilnya dengan suara keras. Tak mungkin tidak terdengar. Karena anak itu bukan tipe anak yang nakal. Dia pasti akan segera keluar setiap kali dipanggil. Tapi, sekarang tak ada jawaban.
“Vera! Eva!” teriaknya kencang. Memanggil asistennya. Tak ada jawaban juga!
Kakinya terus melangkah masuk. Mencari ke setiap ruangan. Kamar kosong, dapur kosong, kamar mandi kosong. Sampai saat dia berlari ke lantai atas juga kosong. Tak ada siapa-siapa di rumah itu. Antoni berteriak dengan sangat keras. Dia terhanyut dengan suasana. Tapi lupa dengan hal yang seharusnya dia jaga.
“Tidak! Tidak mungkin!” dia menggelengkan kepalanya. Menyangkal apa yang sedang dia alami. Tidak menerima kenyataan yang ada.
“Lucas! Kamu di mana? Keluarlah! Ayah datang!” dia terus berteriak. Memanggil-manggil nama sang anak. Tapi, tetap saja tidak ada sahutan. Hatinya hancur sekarang. Eliza menghilang. Begitu juga dengan anak laki-lakinya. Elaine meninggal, Madie menjauh dan bahkan memusuhinya.
“Madie? Apa jangan-jangan dia yang melakukan semua ini?” Antoni teringat akan ucapan anaknya tentang ancaman yang mengerikan itu. Awalnya dia memang sudah mampu mengawasi dengan baik. Tapi, ternyata ada hal yang luput dari pantauannya.
“Aku akan membuat anak itu menangis dan memohon kematian di bawah kakiku!”
Suara madie yang mengatakan itu kembali terngiang di telinganya. Terus bergema. Membuat dia merasa bising, padahal tak ada satu orang pun yang berbicara di dekatnya.
“Sial!” umpatnya dengan keras. Dia menghantam cermin besar yang ada di dinding. Sebuah cermin berbentuk bunga itu hancur berkeping-keping. Pecahannya jatuh ke lantai. Bergemerincing mengisi suasana yang hening. Dia luruh ke lantai. Menjatuhkan tubuhnya dan bersandar pada tembok. Tanpa dia sadar. Di sela-sela jemarinya ada darah yang mulai menetes. Berwarna merah segar. Ia duduk dengan kedua kaki ditekuk. Menopang kepala dengan kedua tangannya. Dia resah, tapi tak tahu harus berbuat apa. Gadis yang mengucapkan ancaman itu adalah anaknya. Sementara anak yang diancam akan dibunuh olehnya juga darah dagingnya.
“Madie!” teriaknya mengeluarkan semua sesak dalam hatinya. Air matanya luruh. Menetes deras. Bahkan kini dia akhirnya sadar. Dia menangis lebih keras daripada saat istrinya tiada. Dia merasa sesak lebih kuat, daripada saat istrinya tiada. Satu anak hilang dari jangkauannya. Satu lagi tak bisa dia jangkau. Semuanya kacau!
Dia memutuskan untuk menghubungi Madie. Mencoba memastikan kalau apa yang dia pikirkan salah. Kalau dugaannya bisa saja salah. Kalau ucapan Madie bisa saja hanya sebuah ancaman belaka. Dia sangat berharap, anak gadisnya tidak akan sampai hati melakukan hal tersebut. Tapi, dalam hatinya yang paling dalam dia merasa takut. Takut kalau saja semuanya benar. Takut kalau kekejaman Eddy bisa saja menurun padanya. Kalau saja dia seperti Elaine yang lembut. Pikirnya. Tanpa dia tahu, kalau Eliza disembunyikan oleh mendiang istrinya.
Dengan cemas dia menelepon. Menunggu panggilan itu diangkat olehnya. Masih dengan posisi duduk. Dia terus menelepon. Lagi dan lagi. Tak diangkat, ditelepon lagi. Sampai akhirnya gadis itu mengangkat telepon darinya.
“Ada apa? Aku sibuk! Cepat katakan apa yang mau Ayah katakan!” sapanya tak ramah. Tak ada nada bicara santai. Terdengar kasar dan malas.
“Mad, dengarkan aku. Aku ingin menanyakan sesuatu!” balasnya dengan suara memohon. Suaranya sedikit serak, tak seperti biasa. Biasanya suara itu terdengar besar dan sangat percaya diri. Madie mengernyit. Ada apa dengan Ayahnya yang tidak punya hati itu?
“Cepat katakan! Tak perlu berbelit-belit lagi!” gadis itu kembali berlaku sinis padanya. Ya tentu saja, siapa yang tidak akan sinis pada seorang pria yang sudah menyakiti dia dan Ibunya. Dalam hati, madie menerka. Kejadian apa yang bisa membuat pria egois merasa tersakiti?
“Mad, kau tidak melakukannya bukan?” pertanyaannya menggantung. Sama sekali tidak bisa dimengerti oleh Madie. Gadis itu semakin bingung dengan suasananya. Apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa malah dirinya ditanya melakukan sesuatu?
“Apa yang sedang coba kau tanyakan Ayah? Kalau berbelit-belit seperti ini. Aku akan menutupnya!” ancamnya. Muak dia mendengar ocehan tak jelas seperti itu. Hampir saja dia menutupnya. Bersamaan dengan itu, sang Ayah kemudian mengucapkan pertanyaan selanjutnya.
“Apa kau menyembunyikan Lucas?” tanya dia langsung. Dengan perasaan aneh dia menunggu jawaban dari anaknya tersebut.
Madie terdiam.
Lucas? Bukannya dia sudah dia amankan? Apa anak itu benar-benar menghilang? Syukurlah kalau begitu!
“Oh soal itu, kenapa? Kenapa baru bertanya?” balas Madie dengan suara sinisnya.
“Mad! Jangan lakukan apa pun padanya!” suara Antoni kembali seperti biasa. Karena dia tahu, Madie adalah dalangnya.
“Aku juga malas bertemu dengannya! Aku malas membahas ini! Aku tutup!” Madie langsung menutup telepon dari ayahnya. Ponselnya kembali berdering. Ayahnya kembali memanggil. Tapi dia abaikan. Kini, dia malah jadi ikut berpikir. Ke mana anak itu? Padahal, dia tidak bisa menemukan anak itu saat dia menyuruh bawahannya menyekap anak tersebut. Tapi sekarang, sang Ayah malah menanyakan keberadaan anak itu padanya? Apa anak itu menghilang? Pikiran Madie jadi penuh dengan pertanyaan itu. Bagaimana bisa? Hanya ada satu orang yang sangat mungkin melakukannya pikir Madie. Orang dengan kekuatan dan kekuasaan yang besar.
Karena kesal ponselnya terus berdering. Madie mematikan ponselnya. Dia kembali merebahkan diri di tempat tidur sambil terus berpikir. Masalah demi masalah terus datang dalam hidupnya.
“Apa aku pergi saja ya dari sini?” gumamnya pelan. Pikirnya dia bisa melepaskan semua resah dan kesahnya dengan cara tersebut.
***
Ronald memandangi seorang wanita. Dia menatap sedih padanya. Tapi rasa sedih dalam dirinya lebih besar lagi karena kehilangan seseorang yang ada dalam hidupnya. Sementara itu, dia juga harus tetap melakukan sesuai dengan perintah sebelumnya. Bahwa wanita itu akan disiksa terus-menerus. Secara perlahan-lahan. Agar dia merasakan rasa sakit itu dalam waktu lama.
Siksaan demi siksaan terus ia berikan. Dua penjaga setia mencambuk, memukul, menendang, dan bahkan melecehkan wanita itu. Wanita itu sama sekali tidak mau makan. Karenanya, dia harus dipaksa dan dijejalkan makanan. Karena Ronald tak akan membiarkan wanita itu mati dengan mudah. Dia harus menghukum wanita itu dengan perlahan dan menyakitkan. Agar wanita yang disukainya bisa melihat dari atas sana. Kalau dia tetap melanjutkan rencana mereka.
“Sudah cukup!” perintahnya.
Kedua pria itu kembali mengunci pintu. Meninggalkan wanita yang sudah tidak berdaya itu tergeletak di lantai.
***
Di sisi lain, Harry sedang duduk di lantai. Dengan berbagai berkas di bawah sana. Dia menerka. Memikirkan banyak hal. Memikirkan apa yang mungkin saja bisa terjadi. Memikirkan siapa yang paling bisa melakukan kejahatan itu di rumah super ketat keamanannya.
“Mad! Bisa kau ke sini? Ada banyak hal yang janggal!” ucapnya. Telepon itu memang tak terhubung. Dia hanya mengirimkan pesan suara padanya. Agar saat gadis itu menghidupkan ponselnya. Dia bisa mendengar dan bergegas untuk menemuinya.
“Laporan autopsi ini aneh. Rasanya, seperti ada yang ditutupi. Tapi, apa?” pikirnya lagi. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Merasa buntu. Dan tidak tahu harus melakukan apa. Dia juga tidak bisa meminta bantuan pada orang lain. Karena laporan kematian itu tidak boleh bocor. Agar nama baik keluarga Anderson masih terjaga.
Suara ketukan pintu di rumahnya memecah fokusnya. Pria itu berdiri dan bergegas membukanya. Memastikan siapa yang datang ke rumahnya. Tapi, sebelum itu. Dia menutup dan mengunci pintu ruangan yang penuh dengan berkas dan peta pikiran yang sudah dia buat. Agar tak ada yang tahu, kalau ia sedang melakukan sesuatu yang bisa disebut ilegal.
“Tuan!” sapa seorang perempuan setelah pintu itu terbuka.
Harry celingukan. Dia melihat ke sana dan ke sini. Memastikan tidak ada siapa-siapa yang mengetahui kedatangan perempuan itu ke rumahnya.
“Cepat masuk!” ditariknya lengan perempuan itu. Dia menurut dan ikut masuk. Pintu ditutup dan dikunci olehnya. Menghindari ada orang tak diundang yang mendadak masuk ke dalam rumahnya.
“Duduk, dan jelaskan padaku tentang kejadian hari itu!” perintahnya. Itu bukanlah sebuah kalimat tanya. Tapi, sebuah perintah tegas yang meluncur dari bibir seorang pengacara.
“Aku sudah mengatakan semuanya Tuan. Aku memeriksanya dengan baik. Aku pastikan air hangat untuk mandinya di suhu yang sesuai. Makanan sudah saya siapkan. Tapi, dia tidak kunjung turun. Dan saat aku ke kamarnya untuk mengecek. Kondisinya sudah seperti itu.” Perempuan itu menjelaskan. Bagaimana pagi itu dimulai, hingga akhirnya menemukan Elaine dalam kondisi seperti itu.
“Jerat di lehernya membiru. Kalau gantung diri, rasanya tak mungkin. Tapi, kalau bukan karena itu. Apa mungkin dia melilit lehernya dan menarik dengan kuat? Atau, ada orang mencurigakan yang masuk ke rumah pada pagi itu?” Harry mencoba menerka. Memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi.
“Rasanya tak ada yang mencurigakan. Tuan ada di kamar lain, Nona Madie tak ada di rumah. Tak ada orang luar yang datang pagi itu.”
Harry mengusap wajahnya. Pikirannya merasa janggal. Tapi buktinya tak ada. Ada motif yang kuat. Tapi dia tidak mempunyai bukti yang kuat. Mengatakan motif tanpa ada bukti, hanya akan jadi sebuah dugaan. Tak akan ada jalan keluar.