7. Daisy

1834 Words
Sinar matahari pagi, masih tampak malu-malu menampakkan dirinya. Bermula dari daun-daun di pepohonan yang tinggi, menerpa berbagai bangunan, lalu menembus masuk melalui setiap celah yang ada. Menyinarinya. Di atas ranjangnya, Dea tampak menggeliatkan badannya. Menerima sorot kuning keemasan itu menyapa dirinya, melalui pintu kaca balkon kamar, dengan tirai yang dibiarkan terbuka. Gadis itu belum sepenuhnya terbangun dari tidurnya, ketika ia mendapati seseorang mengetuk pintu kamarnya dari luar sana. Tok! Tok! Tok! Dea mengernyitkan keningnya. Mencoba menerka-nerka, siapa gerangan orang yang sudah mengganggu tidurnya, sepagi ini. Mengerjap beberapa kali, gadis itu lalu mencoba untuk membuka kedua kelopak matanya yang masih terasa begitu berat. Enggan untuk terbuka. Tok! Tok! Tok! "Ck!" decak Dea kesal, merasa tidurnya terganggu. "Tunggu sebentar!" sahut Dea kemudian, sembari membuka selimutnya dengan amat malas. Gadis itu lalu beringsut turun dari ranjangnya. Masih dengan mata setengah terpejam, ia pun melangkahkan kaki menuju ke arah pintu, dan memutar knopnya. Membukanya. "Ya?" tanyanya, sembari menyandarkan kepala pada daun pintu. Mendapati salah seorang maid, yang tampak membawa sebuket bunga di depan sana. "Maaf, Non. Ini ada kiriman bunga, buat Non Dea," ucap Bi Lani, seraya menyodorkan sebuket bunga padanya. Hal yang terjadi hampir setiap pagi di kehidupannya, semenjak tiga tahun terakhir. "Oh ... masuk aja, Bi." Gadis itu membuka pintu kamarnya lebar-lebar. Mempersilakan wanita berusia lima puluh tahunan itu, untuk turut masuk ke dalam sana. "Permisi, Non," ucap Bi Lani sopan, lalu beranjak masuk meletakkan bunga itu di atas meja riasnya. "Di sini, Non?" tanya Bi Lani, kemudian. "Iya Bi, taruh aja di situ. Buang yang lama ya, Bi," sahut Dea, lantas melangkahkan kakinya kembali ke arah ranjang. Mendudukkan dirinya, yang belum sepenuhnya tersadar. "Baik, Non," ucap Bi Lani, lalu meletakkan bunga itu pada sebuah vas di sana. Mengambil yang lama, kemudian menggantinya dengan yang baru. "Sudah, Non. Ada lagi, Non?" tanya Bi Lani, selanjutnya. "Itu aja, Bi. Dea mau langsung mandi." "Baik, Non," sahut Bi Lani, lalu beranjak keluar meninggalkan kamar Dea dan menutup kembali pintunya. Memandang jam dinding kamarnya sekilas, Dea pun mendapati bahwa jam masih menunjukkan pukul enam pagi. Itu artinya, dirinya masih mempunyai banyak waktu untuk bersiap ke kantor. Menguap sekali, Dea lalu menggeliatkan badannya. Berusaha menepis rasa kantuk, yang masih menggelayuti dirinya. Hingga beberapa saat kemudian, gadis itu tampak beranjak melangkahkan kakinya menuju kamar mandi, untuk benar-benar memulai ritual paginya. * Sudah empat puluh menit lamanya, Dea menghabiskan waktunya di kamar mandi. Sebelum akhirnya ia memutuskan untuk menyudahi acara mandinya, dan beranjak keluar dari dalam sana. Dengan mengenakan kimono mandinya, juga membalut rambut basahnya dengan handuk kecil berwana putih, gadis itu tampak melangkah santai seraya bersenandung kecil. "Uhh ... tell me, tell me, Baby! Why did you leave me?" Sebuah lagu dari Ariana Grande, menjadi pilihan Dea untuk mengisi kesunyian kamarnya, pagi itu. Walau suaranya jelas-jelas tak semerdu Ariana Grande yang asli, ia tetap berdendang. Bernyanyi dengan begitu asyik, demi melupakan sejenak segala hal yang membuat ia kesal selama beberapa hari terakhir. Gadis itu tampak melangkahkan kakinya, menuju walk in closet. Membuka sebuah pintu lemari pakaian khusus, tempat di mana ia menyimpan pakaian kerjanya. Mengambil sepotong blazer berwarna coklat muda, sebuah kaus polos berwarna putih, dan berakhir dengan menarik rok hitam selutut dari dalam sana. Menenteng setelan kerja itu dengan menggunakan kedua tangannya, Dea pun lalu meletakkannya di atas ranjang. "One less problem without you ... I got one less problem without you ... I got one less problem without you ... I got one less, one less problem!" senandungnya lagi. Beralih melepaskan handuk dari atas kepalanya, Dea lalu menggosok pelan rambut basahnya. Melangkahkan kaki menuju meja rias, bermaksud ingin mengambil hair dryer-nya yang tergeletak di sana. Namun, langkah itu terhenti seketika, begitu retina matanya menangkap kehadiran seseorang di sudut kamarnya. Tampak tengah tersenyum padanya, melalui pantulan cermin riasnya. "Kamu?!?" pekik Dea, seraya membesarkan kedua bola matanya. Menyadari, bahwa sedari tadi, ternyata ia tak sendiri di dalam ruangan itu. Ada Bima juga di sana. Sedang duduk manis bertopang dagu, mengamati dirinya dari sudut sana. "Kamu ngapain, di sini?!?" Dea memutar tubuhnya, seketika. Merasa syok, dengan kehadiran Bima di sana. "Menjemputmu," jawab Bima, enteng. "Di kamarku?!" pekik Dea. Gadis itu menganga, tak percaya. Merasa frustasi, dengan gangguan berwujud Bima, di pagi harinya. "Tante yang mengizinkan," tukas Bima seraya mengendikkan kedua bahunya ringan, lalu mengulas sebuah senyum kecil. "Oh, Tuhan!" keluh Dea kesal, sembari melirik jam dindingnya sekilas. "Ini bahkan masih sangat pagi, Bim," desahnya kemudian. Gadis itu menyidekapkan kedua tangannya, di depan dadà. Merasa keberatan, dengan kedatangan tamu paginya. "Kamu sudah lama, di sini?" "Sekitar ... setengah jam yang lalu. Setidaknya, cukup untukku merekam satu lagu Ariana Grande versi kamu," jawab Bima, lalu terkekeh. "Bima!" sungut Dea, sembari mengerucutkan bibirnya. Membuat Bima tak tahan, untuk kembali meloloskan kekeh gelinya. "Aku bercanda, Sayang," ucap Bima, mencoba meredam rasa gelinya. "Ini masih pagi. Jadi, jangan marah-marah." Bima pun beranjak berdiri. Melangkahkan kaki, mendekati Dea yang tampak berdiri tak jauh dari meja riasnya. "Kk-kamu ... mau apa? Jangan dekat-dekat, Bim!" pekik Dea. Melihat Bima melangkahkan kaki mendekati dirinya yang hanya mengenakan kimono mandinya saja, membuat gadis itu panik dan melangkahkan kakinya mundur seketika. Merasa waspada. "Jangan coba-coba untuk macam-macam, Bim! Atau ...." Dea mengangkat satu telapak tangannya. Mencegah Bima, agar tak melangkahkan kakinya lebih jauh, mendekati dirinya. Namun sayangnya, Bima seperti tak mendengar apa pun. Pria itu seperti menulikan pendengarannya, dengan amat sengaja. Dan justru tersenyum geli, mendengar penuturan Dea padanya. "Atau apa?" tanya Bima santai. "A-aku," balas Dea, dengan terbata. Lantas berjengkit kaget, begitu kulit pahanya menyentuh dinginnya permukaan marmer, meja riasnya. Membuat langkah mundurnya berhenti dengan seketika. Tapi, tidak dengan Bima. Pria itu dengan begitu sengaja, justru melanjutkan langkah kakinya mendekati Dea. Hingga menyisakan jarak yang tak seberapa, di antara mereka. Memaku tatapannya pada Dea, Bima lantas terdengar bertanya. "Bunga dari seseorang?" Sebuah pertanyaan, yang lantas membuat Dea menolehkan kepalanya ke arah belakang. Kepada sebuket bunga daisy berwarna merah, yang terpajang indah di ujung meja riasnya. "I-itu ...." Dea meneguk ludahnya. Merasa tenggorokannya mendadak berubah menjadi kering, dalam waktu sekejap. "Itu?" ulang Bima. Tak mengalihkan sedikit pun pandangannya dari kedua bola mata Dea, pria itu lantas kembali bertanya, "Itu, apa?" "I-itu, sebenarnya ... sebenarnya--" "Sebenarnya apa?" potong Bima. Membuat nyali Dea menciut, dengan seketika. Gadis itu tampak memejamkan matanya. Menarik napasnya dalam-dalam, kemudian menengadahkan wajah, demi memandang Bima yang tampak berdiri menjulang di hadapannya. "Sebenarnya ... aku sering mendapatkannya," cicit Dea, lirih. Bima menyipitkan mata. Menanti kata-kata selanjutnya, dari mulut Dea. Memaku gadis itu, dalam tatapan matanya. "Aku mendapatkannya ... sejak tiga tahun yang lalu," cicit Dea, lagi. "Bunga itu datang hampir di setiap pagi," imbuhnya kemudian. Entah mengapa, ia merasa perlu menjelaskan hal ini kepada Bima. Merasa percuma, kalaupun ia mencoba untuk menutupinya, dari Bima. Karena cepat atau lambat, pria itu pasti akan tahu segalanya. Bima selalu tahu banyak hal, tentang dirinya. Satu hal yang sampai saat ini, tidak ia ketahui apa penyebabnya. "Dari seseorang?" tanya Bima. Dea pun mengangguk. Kaku. "Kamu mengenalnya?" tanya Bima lagi. Pria itu tampak menyidekapkan kedua tangannya, di depan dadà. Mengamati Dea dengan saksama, seolah menuntut kebenaran jawaban dari mulut gadisnya. "Tidak." Dea meneguk ludahnya. Mulai merasa, bahwa degup jantungnya berdetak dengan tak normal, di dalam sana. Sial! Kenapa mendadak ia menjadi tersangka begini? "Baiklah," ucap Bima, kemudian. "Lupakan saja." Pria itu lalu tampak mencondongkan tubuhnya ke arah depan. Mengulurkan satu tangannya, membuat Dea meremas kimono mandinya dengan panik. Namun, yang terjadi selanjutnya, justru di luar dugaan Dea. Bima hanya meraih paper bag silver-nya, dari atas meja rias. Lalu kembali menegapkan tubuhnya, seolah tak terjadi apa pun, sebelumnya. Membuat Dea menjadi salah tingkah, karena sudah berprasangka lain. "Aku ingin kamu memakainya," ucap Bima kemudian. Pria itu lalu menarik tangan Dea, demi menciptakan sedikit jarak untuk mereka berdua, dengan meja rias. "Kemarilah." Bima pun membawa Dea mendekat padanya. Memutar tubuh gadis itu, agar membelakangi dirinya. Menghadapkannya persis, ke arah cermin rias. Memantulkan bayangan mereka berdua di sana. "Aku rasa, kita harus mengganti kalungmu dengan yang baru," ucap Bima, kemudian. Sementara Dea tampak terdiam, mengamati Bima yang perlahan menyibakkan rambut basahnya, ke arah samping. Melepaskan kaitan kalung lamanya, kemudian meletakkannya di atas meja. Membuat napas Dea seketika tercekat. "Aku bisa memakainya sendiri, Bim," lirih Dea, kikuk. "Aku bisa memakaikannya, untukmu!" sahut Bima, dengan nada tak ingin dibantah. Pria itu tampak meraih sebuah kotak beludru berwarna biru gelap, dari dalam paper bag. Lalu membuka, serta mengeluarkan sebuah kalung berwarna putih dari dalam sana. Kalung berdesain sederhana namun elegan itu, lantas ia pasangkan pada leher Dea. Memposisikannya dengan pas, sebelum kemudian menautkan kedua ujungnya, dalam gerakan perlahan. Membuat Dea tanpa sadar menahan napasnya. Hingga tak mampu mengatakan apa pun, selain menatap bayangan dirinya sendiri melalui pantulan cermin. "Lihatlah, ini terlihat bagus untukmu," ucap Bima, seraya tersenyum. "Aku ingin kamu memakainya, mulai dari sekarang." Bima menatap pantulan bayangan Dea pada cermin. Meletakkan kedua tangannya, pada masing-masing bahu Dea dari arah belakang. Menilai, bahwa kalung dengan berlian putih besar itu tampak berkilau dengan sangat indah di leher gadisnya. "Kamu terlalu berlebihan, Bim," desah Dea, sembari menggelengkan kepala. "Aku tidak berlebihan. Kamu memang cantik, De," ucap Bima lagi, kemudian memutar tubuh Dea kembali menghadap pada dirinya. "Lihatlah! Kamu terlihat bertambah cantik, sekarang!" imbuhnya lagi. Membuat Dea memutar kedua bola matanya. "Sekarang, pakailah cincinnya." Bima lalu meraih tangan kanan Dea, menggunakan tangan kirinya. Meraih jemari tangan gadis itu, lalu memasangkan sebuah cincin yang juga bertahtakan berlian berwarna serupa, pada jari manisnya. Menimbulkan sebuah kilau indah di sana. "Kamu mau aku memasangkan anting dan gelangnya juga?" tanya Bima, tanpa mengalihkan sedikit pun pandangannya dari jemari tangan Dea, dalam genggamannya. "Tidak usah, Bim. Aku rasa, aku tidak perlu memakainya, jika hanya untuk sekadar pergi ke kantor," tolak Dea sekali lagi, dengan gelengan kepala. Bima terkekeh. Menepuk punggung tangan Dea ringan, pria itu lalu meletakkan kembali paper bag-nya pada meja rias. Melengkungkan kedua sudut bibirnya ke bawah. "Baiklah. Sepertinya, kita memang hanya memerlukannya saat menghadiri acara-acara tertentu saja." "Bim," cicit Dea, kemudian. "Ya?" "Ehm ... bisakah kamu keluar sebentar?" lirih Dea, sembari menggigit bibir bawahnya. Merasa malu untuk mengatakan alasan, mengapa ia meminta Bima agar keluar dari dalam kamarnya. "Kamu mengusirku?" tanya Bima, seraya menaikkan sebelah alis matanya. "Bima ... aku tidak mungkin mengganti bajuku, jika kamu masih berdiri di sini!" ketus Dea, dengan bibir mengerucut kesal. Membuat Bima kembali terkekeh. Bima lalu melepaskan genggaman tangannya. Menatap Dea, yang tampak menggemaskan dalam pandangan matanya. "Baiklah." Bima mengulum senyum gelinya. "Bersiaplah. Aku akan menunggumu di bawah," imbuhnya kemudian, lalu mendaratkan sebuah kecupan ringan pada kening Dea. Membuat gadis itu terdiam, membeku. Tak mengatakan apa pun lagi, Bima lalu melenggangkan kakinya keluar dari dalam kamar Dea. Menutup kembali pintunya, meninggalkan Dea seorang diri di sana. Gadis itu tampak terpaku di depan meja riasnya. Mengamati bayangan dirinya sendiri, dengan satu tangan menempel di depan dadà. Hanya untuk memastikan, bahwa detak jantungnya masih berada dalam kondisi baik-baik saja. Astaga. Pria itu ada di mana-mana! Meringis, Dea pun lantas membenamkan wajahnya pada kedua telapak tangannya. "Kurasa, aku tidak akan bisa lepas lagi darinya!" * . . . Happy reading :) Jangan lupa tap love, tinggalkan komentar, dan follow akun saya. Terima kasih. .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD