6. Benar-benar sulit

1541 Words
Bima benar-benar merealisasikan perkataannya. Pria itu benar-benar membawa Dea pergi mencari cincin ganti, sesuai dengan apa yang dikatakannya. Dan, di sinilah mereka berada. Di sebuah gerai perhiasan mewah, yang terdapat di salah satu Pusat Perbelanjaan, di kota Jakarta. Alih-alih membawa Dea kembali ke kantor, Bima justru mengajaknya menghabiskan waktu sore mereka untuk memilih perhiasan. Dan kegiatan mereka berakhir, dengan menjatuhkan pilihan pada satu set perhiasan lengkap dengan kalung, cincin, anting, beserta gelangnya. Dan Dea bisa memastikan, bahwa harganya tidaklah main-main untuk ukuran orang sekelas Bima. "Baiklah. Saya ambil yang ini," ucap Bima, pada salah seorang pegawai di sana. "Baik, Tuan. Silakan ditunggu sebentar. Kami akan menyiapkannya, untuk Anda," balas pegawai itu ramah. Bima mengangguk. Memberikan sebuah kartu berwarna hitam, padanya. "Bim, kita tidak harus melakukan ini. Ini terlalu berlebihan," desah Dea. "Tidak, Sayang. Tidak ada yang berlebihan, jika itu untukmu," ucap Bima, lalu mengecup kening Dea singkat. Membuat Dea terkesiap dan seketika memalingkan wajahnya ke samping. "Kenapa, hmm?" tanya Bima, sembari mengulum senyum geli. "Aku bahkan sudah mendapatkan lebih dari ini," bisiknya kemudian, membuat wajah Dea seketika merona. "Berhenti menggodaku, Bim!" Dea mencebik kesal, memalingkan wajahnya dari Bima. "Kamu terlihat menggemaskan, jika seperti ini. Aku menyukainya," ucap Bima, lalu terkekeh. Mendorong Dea untuk memelototkan mata, padanya. "Maaf, Tuan. Perhiasannya sudah siap," ucap salah seorang pegawai, menghentikan ulah Bima yang membuat Dea kesal. "Baiklah, saya segera ke sana." "Baik, Tuan." "Tunggu di sini, sebentar. Aku tidak akan lama," ucap Bima pada Dea kemudian. Lalu beranjak meninggalkan Dea dan beralih ke meja kasir di sudut ruangan. Tak lama kemudian, ia lalu kembali dengan membawa sebuah paper bag berwarna silver di tangan kanannya. "Ayo." * Hari sudah mulai beranjak sore, ketika mobil yang membawa Dea dan Bima, sampai di depan kediaman Mananta. Bima melirik arlojinya, sekilas. Mendapati waktu yang ternyata sudah menunjukkan pukul empat sore. Cukup lama, ternyata, ia menghabiskan waktu berdua hanya bersama dengan gadisnya. Hal yang sangat jarang Bima lakukan, semenjak mereka berdua memasuki usia dewasa. Bisa dibilang, ini adalah pertama kalinya setelah beberapa tahun terakhir. "Sepertinya, aku tidak bisa menemanimu masuk, Sayang. Tidak apa, 'kan?" Dea mengulum senyum masam. Merasa sedikit asing, dengan panggilan baru yang disematkan Bima untuknya. Oh, Tuhan. Pria itu selalu bertindak semaunya! "Ehm ... tentu saja, tidak," ucap Dea. "Tapi, mobilku masih tertinggal di kantor, Bim. Kamu juga sudah membuatku melupakan janjiku, kepada Metta!" sungut Dea, kemudian. "Metta? Siapa Metta?" Bima tampak menaikkan sebelah alis matanya. "Teman satu divisiku. Kamu membuatku melupakan janjiku padanya," jawab Dea. "Kalian membuat janji? Di belakangku?" "Oh ... ayolah, Bim. Ini hanya sekadar janjiku padanya, untuk membantu menyelesaikan tugas darimu saja!" Dea memutar bola matanya. "Begitu? Baiklah, biarkan dia menyelesaikan tugasnya sendiri." Bima pun menyidekapkan kedua tangannya, di depan dadà. "Aku tidak akan membiarkan karyawanku memakan gaji buta!" imbuh Bima kemudian, membuat Dea memukul lengan pria itu dengan gemas. "Dan kamu baru saja membuatku melakukannya!" gerutu Dea. "Tentu saja, pengecualian untukmu. Kamu bahkan berhak mendapatkan uang bulanan dariku." Menjeda sejenak ucapannya, Bima lalu tampak melirih singkat, "Ah ..., apa aku perlu melakukannya mulai dari sekarang?" tanya pria itu kemudian. Menghela napasnya sekali, Dea lalu berkata, "Bima ... aku sedang tidak ingin bercanda. Ini sama sekali tidak lucu." Bima terkekeh. "Baiklah, kita bisa membicarakannya lagi, lain waktu. Aku rasa, aku harus segera pergi. Aku akan menjemputmu besok pagi. Dan ini," pungkas Bima. Meraih paper bag silver di sampingnya, pria itu lalu memberikannya pada Dea. "Aku ingin kamu memakainya, setelah ini," lanjut Bima kemudian. "Sudah kubilang, ini terlalu berlebihan, Bim. Kamu tidak harus membeli ini semua untukku," desah Dea, seraya menggelengkan kepalanya. "Ssttt ...." "Sudah kubilang juga, bahwa aku menyukainya. Jadi, kamu harus memakainya untukku," ucap Bima, seraya meletakkan satu jari telunjuknya pada bibir Dea. Membuat gadis itu lagi-lagi terbungkam. "Masuklah. Maafkan aku, tidak bisa mengantar sampai ke dalam. Aku benar-benar harus pergi, sekarang," sesal Bima, lalu mencuri sebuah ciuman singkat dari bibir Dea. Membuat gadis itu terkesiap. "Bima!" protes Dea, seketika. Gadis itu tampak menutup mulut, dengan kedua tangannya. Menarik dirinya, hingga menyentuh pada pintu mobil. Bima terkekeh. "Masuklah," ucap Bima, kemudian. Kali ini, benar-benar membiarkan gadis itu untuk turun dari mobilnya. Dea pun lantas beranjak turun. Melangkahkan kaki, mendekati pintu gerbang rumahnya. Menolehkan kepalanya ke belakang, ia mendapati bahwa Bima masih memandanginya di sana. Tersenyum kepadanya. Hal yang jarang sekali, dilakukan oleh pria itu kepada orang-orang di sekitarnya. Bima pun menaikkan kaca mobilnya. Hingga tak lama kemudian, mobil itu tampak bergerak perlahan meninggalkan kediaman Mananta, dengan membunyikan klaksonnya sekali. Menyusuri jalanan dengan kecepatan rendah, dengan Bima yang lantas tampak melakukan sebuah panggilan telepon di dalam sana. Pria itu tampak meluruskan pandangannya ke depan. Mendengarkan lawan bicaranya, dengan saksama. "Jadi, kau sudah mendapatkannya?" "..." "Bagus." "..." "Ikuti terus, mereka!" Dan, sambungan telepon pun berakhir. Di detik selanjutnya, Bima tampak menurunkan sekat pembatas mobilnya. Menarik longgar dasinya, pria itu lalu terdengar berkata. "Kita kembali ke kantor." "Baik, Tuan." * Sementara itu .... Di depan rumahnya, Dea tampak sedikit berjinjit, untuk menekan bel yang tersedia di dinding sebelah kanan rolling door gerbang rumahnya. Sedikit merutuki tinggi tubuhnya yang ia rasa pas-pasan, atau justru letak bel itu yang terlalu tinggi untuk ukuran dirinya. Ia rasa, lain kali, ia akan menyuruh seseorang untuk membuatnya menjadi sedikit lebih rendah. Ck! "Menyusahkan saja!" gerutunya. Tak lama kemudian, rolling door itu pun terbuka. Menampakkan wajah seorang security, yang tengah berjaga di balik pagar tembok setinggi dua meter tersebut. "Eh, Non Dea. Kok enggak bawa mobil, Non?" tanya security berusia paruh baya itu, setelah membuka gerbang untuknya. "Enggak, Pak. Ketinggalan!" sungut Dea, lalu melenggang masuk. Mengabaikan raut bingung, yang tercetak jelas di wajah Sukmana. "Eh? Ketinggalan?" gumam Sukmana, seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Merasa bingung, dengan ucapan Nona majikannya. Sedangkan Dea, sudah berlalu masuk menyusuri taman. Menapaki anak tangga teras rumahnya, lalu berlanjut ke dalam dan mendapati kedua Orang tuanya yang tampak sedang bersantai di ruang tengah. "Kamu sudah pulang?" tanya Daniel, seraya meraih cangkir berisi teh dari tatakannya. Menyesapnya, secara perlahan. "Sudah, Pa," jawab Dea, sopan. "Eh, kamu pulang sendiri, Sayang?" sahut Monika, lalu mengedarkan pandangannya ke arah depan. "Sama Bima, Ma," jawab Dea. "Terus, Bimanya mana?" tanya Monika. "Udah pulang." "Oh ...." Monika mengangguk. Tampak menimbang sejenak, sebelum kemudian lanjut berkata, "Ya, udah. Kamu mandi dulu, gih! Mama udah siapin air anget buat kamu, di atas." Gadis itu pun mengangguk. "Iya, Ma." Lalu naik ke atas, menapaki satu-persatu anak tangga yang membawa dirinya menuju pada lantai kamarnya. Ia tahu, mama tercintanya pasti sudah menghubungi Bima, untuk menggagalkan rencananya, tadi pagi. Sehingga Bima mendadak membawanya pergi di jam kerja, tanpa menghiraukan apa pun lagi. Dan, satu hal lagi yang tak luput ia ketahui. Mamanya itu pasti tak berani mengatakan apa pun, kepada papanya. Hal yang tidak aneh sama sekali, mengingat Daniel bersikap biasa saja dan tak membahas apa pun, setelah kepulangan dirinya. Menuntut ia untuk menepis jauh-jauh keinginannya, untuk segera mengakhiri status hubungan Pertunangannya dengan Bima. Memupus harapannya, dengan sangat tidak adil. Ck! Masuk ke dalam kamarnya, Dea pun lantas meletakkan tas kerja dan paper bag-nya di atas meja rias. Beralih ke ranjang, ia lalu menghempaskan tubuhnya dengan kasar di sana. Menghela napasnya, lelah. Sedetik kemudian, gadis itu lalu meraba bibirnya. Mengingat apa yang sudah Bima lakukan padanya di apartemen. Membuat ia menggigit bibir bawahnya, dengan gemas. Hanya dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam, pria itu sudah berkali-kali mencuri ciuman darinya. Beraninya, dia! Dea benar-benar merutuki kebodohan dirinya yang bahkan tak berkutik sedikit pun, ketika sudah berhadapan dengan Bima. Selama ini, ia sudah berupaya sebisa mungkin untuk menjaga jaraknya dengan Bima. Mengupayakan berbagai macam cara, agar Pertunangan mereka dapat dibatalkan. Akan tetapi, nyatanya itu bukanlah perkara yang mudah. Tidak segampang yang ia bayangkan. Benar-benar tidak mudah baginya, untuk menyingkirkan kehadiran seorang Bima dari dalam kehidupannya. Bahkan, untuk sekadar melarikan diri darinya saja, sangatlah sulit. Mengingat itu semua, membuat Dea seketika menarik napas panjang. Lelah. Tok! Tok! Tok! Suara pintu diketuk, membuyarkan lamunan Dea dengan seketika. "De ...!" Dea mengernyitkan kening, mendapati suara Vano dari balik pintu kamarnya. Tok ...! Tokk ...! Tokkk ...! "Deee ...?!" "Ish!" Dea pun menggeram kesal, mendengar Vano yang tak berhenti meneriakkan namanya, dari luar sana. Kakaknya memang sangat ahli, dalam mengacaukan suasana. Benar-benar perpaduan hari yang sangat sempurna! "Iya, iya ... sebentaaar!" sahut Dea, gemas. Gadis itu pun lantas bangkit. Beranjak dari ranjangnya, ia lalu beringsut membuka pintu kamarnya. Dan .... Ceklek! Pintu kamar pun terbuka. Bersamaan dengan Dea yang terjengkang ke belakang, dengan p****t yang seketika mencium lantai kamarnya. "Ngapain aja sih, di dalam?" tanya Vano, tanpa dosa. Melenggang masuk, mengabaikan keadaan adiknya yang terjatuh dengan sangat mengenaskan, di bawah sana. "Charger, mana?" tanya Vano. Sementara yang ditanya hanya menggeram kesal, menatapnya penuh ancaman. Bersiap untuk melancarkan sebuah penyerangan balik, padanya. "Ketinggalan nih, di Rumah Sakit," imbuh Vano, seraya melarikan pandangannya ke segala arah. Lalu berhenti, tepat ketika menemukan benda yang dicarinya, justru tergeletak di atas nakas. Tak memerlukan waktu lama, Vano pun bergegas ke sana. Menyambarnya, dalam satu kali gerakan. "Gue bawa, ya!" ucapnya, tanpa dosa. Kemudian berlalu begitu saja, mengabaikan tatapan membunuh yang dilayangkan Dea padanya, dengan kedua tangan terkepal di bawah sana. "Vano ...!?!" Dea berteriak dengan nada kencang. "Dasar, Kakak Durhakaaa !?!" * . . . Hai, Guys! Welcome to my story :) Jangan lupa tap love, tinggalkan komentar, dan follow akun saya. Terima kasih :) .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD