8. Breakfast

1515 Words
Dea menapakkan kakinya menuruni anak tangga, begitu ia selesai bersiap dengan setelan kerjanya. Berlanjut ke meja makan, ia mendapati bahwa semua orang sudah berkumpul di sana. "Pagi Ma, Pa," sapa Dea, lalu menarik kursinya. "Pagi, Sayang," jawab Monika, sembari mengisi piring Daniel dengan sepotong roti gandum bakar, lalu mengoleskan selai buah di atasnya. "Ehem ... ehem ... pagi-pagi udah ada yang berduaan aja nih, di kamar!" cerocos Vano sembari menyesap minumnya, yang seketika mendapatkan pukulan Monika pada punggungnya. Sementara di tempatnya, Dea menatapnya penuh permusuhan. Memandang Vano, yang tampak terkekeh dengan cengiran tak berdosa. Terlihat begitu menyebalkan, di mata Dea. "Kalian berencana untuk berangkat ke kantor bersama, pagi ini?" tanya Monika, pada Bima. "Iya, Tante. Kemarin, mobil Dea tertinggal di kantor. Jadi, saya datang untuk menjemputnya. Biar berangkatnya sekalian bareng sama Bima, Tante," jawab Bima sopan, sedangkan Dea hanya meliriknya sekilas, seraya mengisi piringnya. "Oh ... begitu. Tante titip ya, Nak Bima. Suka rewel, soalnya," ucap Monika, seraya melirik putrinya, menahan senyum. "Mama ...." Dea memutar bola matanya, kesal. Mendapati mamanya yang menitipkan dirinya pada Bima, di pagi buta seperti ini. Yang benar saja! "Bagaimana dengan keadaan Papamu? Apakah semuanya baik-baik saja, di rumah?" tanya Daniel pada Bima, dari ujung meja makan. "Baik, Om. Papa dan Mama sehat. Semuanya baik-baik saja," jawab Bima. Daniel mengangguk. Menatap Bima dari tempatnya, dengan penuh ketenangan. "Sampaikan salam Om, pada mereka. Lain kali, Om akan berkunjung ke sana jika ada waktu," imbuh Daniel kemudian. "Baik, Om. Nanti saya sampaikan," balas Bima, seraya mengangguk. "Dea, ambilkan sarapan untuk Nak Bima," lirih Monika, memperingati putrinya yang terlihat sibuk dengan sarapannya sendiri. Membiarkan piring Bima, yang masih tampak kosong di sampingnya. "Iya, Ma," jawab Dea malas, di sela kunyahannya. Gadis itu pun memalingkan wajahnya kepada Bima. Melayangkan pertanyaan, dengan amat terpaksa, "Kamu mau makan apa?" "Samakan saja dengan kamu," balas Bima. Dea lalu mengambilkan beberapa sendok mie goreng seafood, pada piring Bima. Menambahkan beberapa potong ayam dan lalapan, lalu duduk kembali pada kursinya. "Mau pake saus sambal?" tawar gadis itu kemudian, dengan senyuman yang ia buat semanis mungkin. Berharap agar Bima menerimanya, dengan harapan ia bisa menumpahkan setidaknya separuh atau lebih, isi dari botol saus sambal itu pada piring Bima. Hal yang mendadak saja ingin ia lakukan, untuk membalaskan kegagalan demi kegagalannya akhir-akhir ini. Ingin sekali rasanya menjahili pria itu dan membuatnya sakit perut sepanjang hari, di kantor. "Tidak usah. Ini saja cukup," balas Bima singkat. Membuat Dea diam-diam mengumpat kesal, di dalam hati. Gagal sudah rencananya mengerjai Bima, dengan ide saus sambalnya. Pria itu, seperti punya indera keenam saja! "Jadi pengen diambilin juga nih," sahut Vano seraya melirik Dea, dengan tatapan jahilnya. "Ambil aja sendiri!" sungut Dea pada Vano, yang duduk tepat di seberangnya-di samping Monika. Vano terkekeh. Menghabiskan minumannya, kakak satu-satunya Dea itu lalu terlihat beranjak berdiri, dan menyudahi sarapan paginya. "Sarapannya enggak diabisin?" tanya Monika, menatap putra sulungnya. "Vano ada jadwal operasi pagi, Ma. Harus berangkat sekarang," jawab Vano, lalu mengecup singkat pipi Monika. Kemudian beralih pada Daniel, dan mencium punggung tangannya. "Vano berangkat Ma, Pa," pamit Vano. Lalu beranjak meraih perlengkapan dinasnya, di salah satu sofa yang terdapat di ruang tengah. "Hati-hati di jalan, Van," pesan Monika. Vano pun mengangguk. "Lain kali, mau ketinggalan mobil juga ah ... biar ada yang ngejemput!" serunya kemudian, sembari berlalu. Diiringi gelak tawa yang lantas terdengar menyusul, tak lama setelah kepergiannya. "Vanooo!!" geram Dea kesal, menatap kepergian kakaknya. Menahan keinginan, untuk tidak melayangkan garpu dari tangan kanannya, saat itu juga. Sementara Monika yang menyaksikan kelakuan kedua anaknya, hanya bisa menggelengkan kepala, lelah. Menatap Dea dan Vano bergantian. Drama klasik yang terjadi hampir setiap hari, di kediamannya. * Dea dan Bima baru saja sampai di parkiran kantor, setelah menempuh perjalanan yang cukup lama, karena macet. Hal yang seringkali terjadi, di pagi dan sore hari. Walau sebenarnya, jarak antara kantor dan kediaman Mananta terbilang cukup dekat, dan tidak lebih dari empat kilometer saja. Namun, lagi-lagi jarak pun menjadi tak berarti, jika kemacetan sudah melanda. Bima pun membuka pintu mobilnya dan turun. Sedangkan Beno-supir Bima, terlihat berputar ke sisi yang lain untuk membukakan pintu di samping Dea. Sementara Bima tampak merapikan jas dan dasinya sekilas. Sebelum kemudian melangkahkan kakinya, menghampiri Dea di tempatnya berdiri. "Kamu mau aku mengantarmu sampai ke dalam?" tawar Bima. Hal yang seketika membuat Dea mendongakkan kepalanya, menatap pada Bima. Bayangan singkat mengenai dirinya dan Bima yang berjalan beriringan sampai di depan kubikelnya-diikuti Beno dan juga tatapan aneh karyawan-karyawan Departemen Pembangunan, seketika membuat bulu kuduknya berdiri. Ah, jangan lupakan Metta! Temannya yang satu itu pasti akan mencercanya dengan banyak pertanyaan, yang ia yakini tak akan habis dibahas, hingga jam kantor berakhir! ASTAGA! Menggelengkan kepalanya berulang kali, Dea lalu menarik napas panjang-panjang. "De?" panggil Bima. "Ya?" sahut Dea, bodoh. "Jadi, kamu mau aku mengantarmu, atau tidak?" tanya Bima lagi. "Jangan!?!" pekik Dea, seketika. Hal yang lantas menimbulkan satu kerutan, pada dahi Bima. "Aaah, m-maksudku ... itu tidak perlu, Bim. Aku bisa pergi ke ruanganku sendiri," ralatnya, kemudian. "Baiklah. Kalau begitu, aku akan menemuimu saat jam makan siang." Mata Dea mengerjap. Merenungi ajakan makan siang Bima, yang sepertinya juga bukanlah ide yang cukup bagus, untuknya. "Eh? Tt-tapi--" "Pergilah!" potong Bima, seraya mengusap pucuk kepala Dea, singkat. Membuat gadis itu lagi-lagi menghela napas lelah. Bima memang tak pernah bisa dibantah! Dea pun lantas memutuskan untuk mengangguk. "Baiklah," ucapnya, akhirnya. Memilih untuk langsung beranjak dari sana, sebelum ada staf lain yang memergoki kebersamaan mereka. Di tempatnya, Bima tampak bergeming. Menatap kepergian Dea, memastikan bahwa gadis itu baik-baik saja, hingga bayangannya menghilang di balik pintu gedung kedua. Sebelum akhirnya ia memutuskan untuk benar-benar pergi, dari tempat parkir khusus VVIP tersebut. Meninggalkan Beno yang setia menunggu dirinya, kapan pun ia membutuhkan kehadirannya. Bima pun melangkahkan kakinya dengan mantap, menuju gedungnya. Melewati meja resepsionis, lalu melenggang masuk, menuju salah satu lift di sana. "Selamat pagi, Pak," sapa seorang resepsionis wanita, dari balik mejanya. "Selamat pagi." Melanjutkan langkahnya memasuki lift, Bima lalu meluruskan pandangannya ke depan. Membiarkan kotak besi itu bergerak, membawa dirinya menaiki lantai teratas, di mana tempat Jajaran tertinggi Perusahaan berada. Tiba di lantainya, Bima langsung disambut oleh Veronika, sekretarisnya. "Selamat pagi, Pak," sapa Veronika, ketika Bima tiba. "Selamat pagi, Vero." Veronika pun mengikuti langkah kaki Bima, dan mengambil alih tasnya. "Bagaimana dengan Audit Internal kemarin?" tanya Bima. "Bagus, Pak," kata Veronika. "Saya akan meminta laporan dari Pak Dodi segera," lanjut Veronika, seraya membukakan pintu untuk Bima. Kemudian meletakkan tas kerja pria itu, di atas meja kerjanya. "Oke. Aku tunggu hasilnya." "Baik, Pak," sahut Veronika. "Hari ini, jadwal pertemuan dengan Pak Setyo diajukan satu jam lebih awal, Pak." Veronika menunjukkan lampiran perubahan waktu pertemuan, di sebuah map berwarna hijau muda. "Apa ada pertemuan lain di jam yang sama?" tanya Bima. "Tidak ada, Pak." "Terima saja. Lebih cepat, lebih bagus!" putus Bima, lalu duduk di kursinya. Veronika pun mengangguk. Menutup kembali map yang ia bawa, kemudian menyimpannya. "Siapkan semua berkasnya. Dan, Vero ... tolong bawakan kopi untukku." "Baik, Pak." * Sementara itu .... Di ruangannya, Dea baru saja sampai di kubikelnya, ketika mendapati Metta yang langsung datang, menghampiri dirinya. "Ya ampun, De. Ke mana saja, kamu, kemarin?! Kamu tidak kembali, saat jam makan siang berakhir!" tukas Metta, begitu Dea sampai di samping mejanya. "Maafkan aku, Met. Ehm ... kemarin, tiba-tiba saja ada urusan mendadak. Jadi, aku terpaksa izin saat jam kantor," kilah Dea. Sudah menduga, bahwa Metta akan mencerca dirinya dengan berbagai pertanyaan. "Benarkah? Apa yang terjadi, De? Apa semuanya baik-baik saja?" berondong Metta kemudian. Membuat Dea meringis, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Tidak ada masalah, Met. Semuanya baik-baik saja. Hanya ... urusan pribadi yang tidak terlalu penting," kilahnya lagi. Berharap agar Metta tidak bertanya lebih. "Benarkah? Syukurlah, kalau begitu," tukas Metta, lalu tersenyum. Dea pun mengangguk, turut tersenyum. Menutupi keadaan sebenarnya, bahwa ia tidak benar-benar baik-baik saja. "Kamu baru saja bertunangan, De?" tanya Metta kemudian. Mengerutkan kening, begitu matanya menangkap adanya sebuah cincin yang tampak tersemat, pada jari manis Dea. Sementara Dea tertegun. Menyadari, bahwa sekeras apa pun ia berusaha menyembunyikan pertunangan itu, pada akhirnya semuanya akan terungkap juga. "De?" panggil Metta, seraya meraih tangan kanan Dea. "Kamu baru saja bertunangan?" tanyanya lagi. Berat, tapi Dea mengangguk. "Nathan melamarmu?! Waaah! Kenapa tidak bilang-bilang?!" pekik Metta antusias, dengan binar di kedua bola matanya. "Tidak, Met," desah Dea, seraya menundukkan kepalanya, murung. Sebuah jawaban, yang seketika memudarkan senyuman dari bibir Metta. Tergantikan dengan kerutan, yang lantas tampak hadir menghiasi dahi mulusnya. "Maksudmu, De? Aku tidak mengerti. Kupikir, kamu baru saja mengatakan kalau ... kamu baru saja bertunangan," tutur Metta tampak kebingungan, seraya memandang pada Dea. Menatap temannya itu, dengan penuh pertanyaan. Dea pun terdiam. Menarik napasnya dalam-dalam, lalu mengembuskannya dengan kasar. "Maaf, Met. Aku tidak bisa menceritakannya, sekarang," ucap Dea. "Begitu banyak hal yang terjadi, dalam waktu singkat. Dan semuanya benar-benar di luar kendaliku." Gadis itu menutup wajahnya, dengan kedua telapak tangan. Menggelengkan kepalanya, frustasi. Hal yang lantas mengundang Metta, untuk merengkuhnya ke dalam pelukan. Mengusap punggungnya, memberikan kenyamanan untuknya. "Tidak apa, De. Kamu tidak perlu melakukannya sekarang. Ceritakan saja, jika nanti kamu sudah siap," ucap Metta. "Terima kasih, Met." * . . . Happy reading :) Jangan lupa tap love, tinggalkan komentar, dan follow akun saya. Terima kasih. .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD