5. Cincin ganti

1343 Words
Dea membiarkan dirinya mengikuti langkah lebar kaki Bima, keluar dari kafe tempat ia menghabiskan waktu makan siangnya. Pria itu membawa dirinya menuju pada halaman kafe. Lalu memaksanya masuk ke dalam mobil, yang tampak sudah menunggunya di depan sana. Membuat Dea mengumpat kesal, karenanya. "Masuk!" perintah Bima singkat, kemudian menutup pintu mobilnya. Lalu berjalan memutari mobil dan mengambil tempatnya di sebelah kanan Dea. Bima lantas menaikkan sekat pembatas. Memberi ruang privasi bagi dirinya dan Dea, dari supir di depan kemudi. Tak menunggu waktu lama, mobil itu pun melaju meninggalkan area parkir kafe. Menyusuri jalanan padat Jakarta, lalu memasuki sebuah kawasan Permukiman elit tak jauh dari area kantor MBC. Dahi Dea mengernyit. Merasa tidak pernah memasuki kawasan ini, sebelumnya. "Kita mau ke mana, Bim?" tanya Dea, akhirnya. Merasa tak sanggup, menahan rasa penasarannya. "Apartemenku." "Apartemen?" tanya Dea, membeo. Sepengetahuannya, selama ini Bima tinggal bersama dengan kedua Orang tuanya. Ia tidak tahu, jika pria itu ternyata memiliki tempat tinggalnya sendiri. "Tapi ... untuk apa kita ke sana, Bim? Ini masih jam kerja, sebentar lagi jam makan siang akan berakhir." Gadis itu tampak melirik jam tangannya, sekilas. "Kita perlu mengurus sesuatu yang lebih penting, daripada sekadar pekerjaan." Dan, Dea pun terdiam. Menyadari arah pembicaraan Bima, kali ini. Ia merasa, bahwa sudah tidak mungkin lagi bagi dirinya untuk menghindari Bima, seperti yang sudah-sudah. Kali ini, ia benar-benar harus menghadapinya. Menghadapi pria dingin itu seorang diri, agar masalah mereka cepat selesai. Lagipula .... Memang ini yang dinantikannya, bukan? Tak lama kemudian, sampailah mereka di salah satu gedung yang Bima maksud. Supir membawa mobil mereka memasuki sebuah area parkir. Melewati security access, lalu berakhir di salah satu sudut parkir yang terdapat di sana. "Kita sudah sampai." Bima lalu beranjak keluar, dari dalam mobilnya. Sedangkan supir bergegas membukakan pintu untuk Dea. "Ayo." Bima kembali menghampiri Dea. Menggenggam tangannya, membawa gadis itu berjalan menyusuri lobi. "Aku bisa jalan sendiri, Bim," cicit Dea, dengan bibir mengerucut. Namun, tak ditanggapi sedikit pun oleh Bima. Melewati lobi, Bima lalu membawa mereka berdua memasuki lift dan menekan tombol tujuh di sana. Membuat kotak besi itu perlahan bergerak naik. Melewati lantai demi lantai, yang terasa begitu lama di mata Dea. Hingga tak lama kemudian, lift itu berhenti. Lalu terbuka, tepat di lantai ketujuh. "Ayo." Bima pun membawa Dea menyusuri suatu lorong. Berhenti di depan satu pintu, lalu memasukkan beberapa kode sandi di sana. Membuat pintu itu seketika terbuka. Dengan ragu, Dea pun mengikuti langkah kaki Bima, yang tampak melenggang masuk ke dalam sana. Pria itu terlihat berhenti dan menunggu dirinya, di balik daun pintu. Lalu menutup kembali pintunya, setelah memastikan bahwa Dea telah benar-benar masuk. Pemandangan pertama yang Dea lihat, ialah satu ruangan berukuran cukup besar, di bagian depan. Lengkap dengan satu set sofa hitam beralaskan karpet persia, juga sebuah guci besar yang tampak berdiri kokoh di pojok ruangan. Sebuah ruang tamu. Semakin ke dalam, ia lalu mendapati sebuah dapur minimalis di sudut ruangan sebelah kiri. Satu set meja makan di ujung yang lain, juga dua ruangan lain dengan ukuran lebih besar, yang berbatasan langsung dengan ruang tamu di bagian depan. Dan Dea meyakininya sebagai sebuah kamar. "Duduklah!" perintah Bima. Pria itu lalu mengarahkan Dea untuk duduk di salah satu single sofa, yang terdapat di ruang tamu. Yang kemudian dituruti oleh gadis itu, dengan mendaratkan dirinya di sana. "Kamu ingin minum sesuatu?" tawar Bima, kemudian. "Tidak!" balas Dea. "Baiklah." Bima mengangguk. Beranjak melepaskan jasnya dan melemparnya asal pada sofa yang lain, Bima lalu menggulung lengan kemejanya, sebatas siku. Menampakkan ototnya di sana, membuat Dea tanpa sadar memelototkan mata, dengan tatapan horor. "Jadi, katakan padaku. Apa yang kamu inginkan, Dea?" tanya Bima. Bima menatap Dea intens. Lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam masing-masing saku celananya, membuat gadis itu seketika meneguk ludah. Menyadari, bahwa berada di dalam apartemen berdua hanya dengan Bima, bukanlah sebuah pilihan yang bagus untuknya. "Aku ...," ucap Dea, terputus. Tepat, ketika ia melihat Bima yang justru mengeluarkan sebuah cincin, dari dalam saku celana kanannya. Membuat Dea seketika membesarkan kedua bola matanya. "Bim, itu--" "Apa kamu ingin aku menggantinya?" potong Bima. "Kamu menginginkan model yang lain, hmm?" imbuh pria itu, kemudian. Dea mengerjapkan matanya, sekali. Sedikit merasa bingung, mendengar pertanyaan Bima padanya. "Tidak masalah, jika kamu menginginkan model yang lain. Kita bisa mencarinya, nanti." Bima mengangkat tangannya. Memperlihatkan cincin permata berkilau, yang terapit di antara jari telunjuk dan jempolnya kepada Dea. Mengamati gadis itu, dengan saksama. "Apa kamu ingin yang lebih banyak permatanya?" tanya Bima lagi, membuat Dea semakin merasa bingung. "Bim ...." "Ya?" Bima mencondongkan tubuhnya. Meletakkan kedua tangannya, pada masing-masing lengan sofa. Membatasi ruang gerak Dea. Mengungkungnya. Membuat Dea seketika memepetkan tubuh, pada sandaran sofa di belakangnya. Mencoba menciptakan jarak, untuk dirinya dan Bima. Akan tetapi, na'as. Usahanya tidak membuahkan banyak hasil. "A-aku ... aku ...," cicit Dea, yang mendadak saja kehilangan nyali, berikut suaranya. "Katakan, Sayang," ucap Bima, mengintimidasi. "Apa yang kamu inginkan, hmm?" Menyadari posisi yang amat tidak menguntungkan baginya, Dea justru mendapati lidahnya kelu. Kehilangan kata-kata. Bahkan nyaris tidak bisa bernapas. "Katakan, apa yang kamu inginkan?" tanya Bima, lagi. "Bim, kita ...." Dea terbata. "Ki-kita ... tidak bisa seperti ini, Bim. Kita bisa membicarakan ini baik-baik," imbuh gadis itu, kemudian. Dea menarik napasnya, dalam-dalam. Mengumpulkan sisa tenaganya, untuk sekadar membalas tatapan mata Bima, padanya. Gadis itu tidak bisa membayangkan, betapa merah wajahnya saat ini. Berada dalam jarak sedekat ini dengan Bima, Dea bahkan tidak pernah membayangkannya, sebelumnya. "Tidak ada yang lebih baik dari ini. Katakan padaku, apa yang kamu inginkan, Dea?" tanya Bima, lagi. Dea memilin jemari tangannya, dengan kepala tertunduk. Memberanikan diri, untuk kemudian menyuarakan keinginannya. "A-aku ... aku ingin membatalkan Pertunangan kita," lirih Dea, akhirnya. Merasa benar-benar lega, dapat meloloskan satu kalimat keramat itu. Gadis itu tidak menyangka, sama sekali. Bahwa menghadapi Bima, ternyata jauh lebih menyeramkan, ketimbang menghadapi mamanya tadi pagi. "Membatalkan?" ulang Bima. "Iya," cicit Dea, sembari mengangguk. Mengangkat wajah, memberanikan diri untuk memandang kepada Bima. Sementara Bima, tampak mengatupkan rahangnya. Memaku tatapan, pada gadis di hadapannya. "Dea ...," desah Bima. "Kamu adalah Tunanganku. Calon Istriku. Kita sudah bertunangan, kalau kamu lupa!" imbuh Bima kemudian, membuat Dea tanpa sadar menahan napasnya. Gadis itu tampak mengerjap kecil, mendengarkan setiap penuturan Bima padanya. Merasakan bagaimana dirinya yang mendadak saja berubah seperti orang bodoh, tanpa bisa menyela perkataan pria itu, sedikit pun. "Kamu harus tahu, Dea," lanjut Bima. "Tidak akan ada satu orang pun, yang bisa mengubahnya begitu saja!" Kedua bola mata Dea tampak bergerak ke kanan dan ke kiri. Mengamati tatapan tajam Bima, yang tengah pria itu tujukan kepadanya. "Dan kalaupun kamu benar-benar menginginkannya ...." Menjeda sejenak ucapannya, Bima lalu mendekatkan bibirnya tepat di samping telinga Dea. Mengembuskan napas beratnya di sana, sebelum kemudian terdengar kembali berkata, "Tetapi, aku tidak." Kalimat terakhir Bima, benar-benar berhasil membungkam mulut Dea. Membuat gadis itu tak berkutik, sedikit pun. Mutlak. Kalah telak. "Ttt-tapi, Bim! Kita ... aku rasa, kita ... mpphhh ...!" Kalimat berantakan Dea terputus, tatkala gadis itu merasakan sesuatu yang kenyal menempel pada bibirnya. Membuat ia memelototkan matanya, dengan seketika. Mendapati Bima, yang tiba-tiba saja menempelkan bibirnya di sana. Membuat tubuhnya seketika terasa membeku. Dan hanya mampu mengangkat satu tangannya, untuk memukul dan mendorong dadà Bima, dengan sekuat tenaga. Yang ternyata, justru tak berarti sedikit pun, untuk Bima. Karena di detik selanjutnya, pria itu justru tampak mengulurkan tangannya. Menahan tangan Dea ke dalam genggamannya, sementara tangan yang lain beralih menahan tengkuknya. Membuat ia mendapatkan akses lebih, untuk memperdalam ciumannya. Mengecup. Melumat. Mencecap setiap rasa, yang Dea miliki di sana. Lalu, Bima melesakkan lidahnya untuk masuk. Mengabsen setiap komponen, yang Dea miliki di dalam sana. Membuat gadis itu melenguh, merasakan sensasi asing yang seketika hadir dan menggelitik perutnya. Sebuah perasaan, yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Selama ini, bersama Nathan, ia hanya mengizinkan pria itu untuk mengecup kening dan kedua pipinya saja. Tidak pernah lebih, meskipun mereka sudah berpacaran selama tiga tahun lamanya. Dan kini, Bima merenggutnya. Mengambil ciuman pertamanya. "Eunggghh ...," lenguh Dea, kemudian. Mencoba membawa kembali kesadarannya, tatkala Bima benar-benar melepaskan dirinya. Menarik oksigen sebanyak-banyaknya, hanya demi menetralkan kembali napasnya yang terasa amat kacau. Ketika sedetik kemudian, Pria itu justru terdengar bertanya. "Apa kamu ingin kita mengganti cincinnya sekarang?" *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD