9. Bukan Tante

1628 Words
Dea baru saja akan beranjak dari duduknya, ketika Metta datang menepuk sebelah pundaknya. Menyodorkan sebotol air mineral tepat ke hadapannya. "Terima kasih, Met," ucap Dea seraya menerima botol minum itu, lalu membuka, dan meneguknya beberapa kali. "Mau makan siang di kantin, De?" tanya Metta. Mengingatkan Dea, akan ajakan makan siang Bima, tadi pagi. Membuat ia menghela napas panjangnya, seketika. "Ehm ... Met, sepertinya aku--" "Hallo Sayang, kamu lagi sibuk?" sapa seorang wanita, yang suaranya terdengar familiar di telinga Dea. Bertha. Wanita itu tampak anggun, dengan setelan blouse hijau muda dan rok hitam selutut. Dengan sanggul minimalis, juga make up tipis dengan kesan natural, membuatnya terlihat lebih muda dari usianya. "Tante?!" Dea berdiri dari tempat duduknya. Mendapati Bertha, yang mendatangi dirinya secara tiba-tiba, di kantor. "Selamat siang, Bu," sapa Metta sopan, pada Bertha. "Selamat siang," balas Bertha, seraya tersenyum. "Tante ngapain, ke sini? Mau ketemu sama Bima?" tanya Dea lagi. Kening Bertha pun seketika mengernyit, mendengar panggilan Dea untuknya. "Ma-ma. Mulai sekarang, harus dibiasain panggil Ma-ma. Oke?" protes Bertha. Mengabaikan pertanyaan, yang baru saja Dea layangkan padanya. Dea pun tersenyum kikuk. Menggaruk tengkuknya sekilas, gadis itu lalu berkata, "I-iya, Ma." Mendengarnya, Bertha pun lantas mengulum senyum. Sementara Metta yang berdiri di sebelah Dea, tampak mengernyitkan keningnya, dengan bingung. Memandang Bertha dan Dea bergantian, demi mencoba memahami interaksi yang terjadi di antara kedua wanita beda generasi tersebut. "Oh, ya, Sayang. Mama tuh sengaja datang ke sini, mau ngajakin kamu pergi. Mama mau pesen makanan buat arisan di rumah, besok. Kamu nggak lagi sibuk, 'kan?" tanya Bertha, seraya mengalihkan pandangannya pada meja kerja Dea. Mendapati layar komputer yang tampak sudah padam, di sana. "Enggak kok, Ma. Ini juga Dea udah jam makan siang, sih," terang Dea kemudian. "Ya, udah. Kita pergi sekarang aja, yuk. Sekalian nanti makan siang di luar, bareng sama Mama," ajak Bertha. Dea pun mengangguk. "Ya udah, Ma." "Ehm ... Met, aku pergi dulu ya. Kamu nggak papa kan, makan siang sendiri?" tanya Dea pada Metta, sembari meraih tas kerjanya. Metta pun tersenyum. "Nggak papa kok, De." "Yuk, Sayang," ajak Bertha, seraya menggandeng sebelah lengan Dea. Membawanya untuk segera beranjak dari sana. Meninggalkan ruangan besar, dengan kubikel-kubikel kerja setiap karyawan Departemen Pembangunan, di lantai itu. "Kita nggak bilang dulu sama Bima, Ma?" tanya Dea, seraya melangkahkan kakinya keluar dari ruangannya. Bertha tersenyum. Berpikir, bahwa ternyata, calon menantunya ini sangatlah manis. Sampai-sampai berkeinginan untuk meminta izin dulu pada putranya, hanya untuk sekadar pergi bersamanya. "Aaah, anak nakal itu?" sebut Bertha. "Udah, kamu nggak usah khawatir. Mama udah bilang kok, sama Bima. Kalau Mama mau bawa kamu pergi, siang ini. Biarin aja, biar dia makan siang sendiri." Ibunda Bima itu tampak terkikik. Sementara Dea tampak mengulum satu senyum kecil, sebelum kemudian terdengar melirih dengan penuh irama. "Oh ...." Gadis itu menemukan jawaban, mengapa Bima tak jadi menemui dirinya, siang itu. Hal yang lantas membuat ia bersorak di dalam hati, karena tak perlu lagi memikirkan alasan yang tepat untuk menolak ajakan makan siangnya, kali ini. Diam-diam, Dea melirik Bertha. Memandang wanita, yang sudah seperti Ibu kedua baginya, sejak kecil. Hubungan keluarga mereka, memang terbilang sangat dekat. Terlebih Bertha yang menginginkan kehadiran seorang anak perempuan sejak lama, membuat wanita itu sering kali memperlakukan Dea layaknya putrinya sendiri. "Selamat siang, Bu," sapa seorang security seraya membungkuk sopan pada Bertha, begitu mendapati wanita itu melintas di hadapannya. "Selamat siang." Bertha mengangguk singkat. Meninggalkan area pelataran MBC, Bertha lalu mengajak Dea ke pinggir jalan. Di mana terdapat sebuah mobil berwarna hitam, yang tampak menunggu mereka di sana. "Ayo, Sayang," ucap Bertha, mengajak Dea untuk masuk ke dalam mobilnya. "Kita mau ke mana sih, Tan?" tanya Dea, setelah mendaratkan dirinya pada kursi penumpang. Kemudian disusul oleh Bertha, tak lama setelahnya. "Mama, Sayang," ucap Bertha, mengingatkannya sekali lagi. Dea pun meringis. Menatap Bertha, dengan mata yang terlihat menyipit akibat cengiran kudanya. "Iya, Ma," ulangnya kemudian. "Awas, jangan lupa lagi!" Dea terkikik. Bersama Bertha, memang selalu terasa menyenangkan. Setidaknya, wanita itu selalu mengerti hal-hal kecil yang menjadi kesukaannya. Seperti sekarang, Bertha dengan sengaja membawakan beberapa tangkai bunga daisy, untuknya. "Ini buat Dea, Ma?" tanya Dea dengan pandangan berbinar, mendapati beberapa tangkai daisy di sana. "Iya. Mama sengaja bawa, buat kamu. Tadi Mama abis mampir ke depot langganàn Mama. Terus ngambil deh, beberapa buat kamu," balas Bertha kemudian. "Makasih ya, Ma." Dea pun tersenyum cerah. Melingkarkan tangannya pada lengan kiri Bertha. "Iya, Sayang," balas Bertha seraya tersenyum geli, mendapati calon menantunya yang masih bersifat kekanakan. Lalu, dering sebuah ponsel pun mengalihkan perhatian mereka. Membuat Bertha terhenyak, dan seketika mengulurkan satu tangannya ke dalam tasnya. Meraih ponselnya, dari dalam sana. "Iya, Pa?" "..." "Lagi di jalan, Pa. Ini lagi sama Dea," "..." "Enggak, Mama cuma mau bawa Dea belanja aja, kok. Enggak lama," "..." "Iya, buat arisan besok, Pa. Mama pengennya, Dea yang milihin menu buat jamuan besok," sahut Bertha, menimpali seseorang di seberang sana. Dea mendengarkan. Menarik pelan tangannya, yang sedari tadi melingkari lengan kiri Bertha. Lalu mengalihkan pandangannya ke arah luar jendela. Pada tetes-tetes air, yang mulai berjatuhan membasahi kaca mobil itu. "Ya, udah. Nanti, kalau udah beres, Mama kabarin lagi," putus Bertha. "..." "Iya, Pa." Sambungan telepon itu pun berakhir. "Telepon dari Om, ya, Ma?" tanya Dea. Bertha mendelik. Menepuk sebelah paha Dea, menyampaikan protesnya di sana. "Ck, kamu ini!" decak Bertha. "Om itu kan, suaminya Mama. Papa kamu juga! Pokoknya, Mama nggak mau denger lagi. Mulai sekarang, nggak ada lagi Om dan Tante. Kamu harus belajar ngebiasain manggil Mama sama Papa, oke?" ceramah Bertha, panjang lebar. Dea pun kembali meringis. Merasa sedikit asing, dengan panggilan baru yang dituntut Bertha untuk diucapkannya, terhitung sejak sekarang. Namun, ia tak cukup tega untuk menolak permintaan wanita yang sudah seperti Ibu kedua baginya itu. Bukan lagi Tante, melainkan Mama. Bukan lagi Om, melainkan Papa. Membuat ia mau tak mau, mengulum senyum geli juga, di sudut bibirnya. "Iya, Ma," sahutnya, kemudian. Tak lama setelahnya, sampailah mereka pada sebuah Pusat Perbelanjaan. Mall dengan tujuh lantai itu, tampak ramai pengunjung di sela jam makan siang seperti ini. Namun, beberapa pengunjung tampak tengah menepi untuk sekadar berteduh. Rinai hujan yang semula hanya turun dalam bentuk gerimis kecil, nampaknya telah berubah menjadi lebih deras, daripada sebelumnya. "Yuk, Sayang," ajak Bertha pada Dea, agar segera turun dari mobilnya. "Yuk, Ma," sahut Dea, mengikuti Bertha. Mereka berdua pun lantas turun dari dalam mobilnya. Kemudian berlari kecil, menggunakan tas masing-masing sebagai penutup kepala. Sementara supir tampak membawa mobil mereka berputar memasuki area parkir, yang terletak di sisi kanan gedung. "Mama pengen, kamu yang milih menu buat arisan besok. Enggak banyak sih, sekitar dua puluh orang," ucap Bertha yang berjalan beriringan di samping Dea, sembari menapakkan kakinya pada tangga eskalator. "Perempuan semua ya, Ma?" tanya Dea polos, membuat Bertha tergelak seketika. "Iya dong, Sayang. Mana ada bapak-bapak yang mau ikut arisan," kata Bertha, mencoba meredam sejenak, tawanya. "Suka ada yang bawa anak kecil nggak sih, Ma?" tanya Dea, yang kali ini terdengar sedikit lebih cerdas. "Nah, kalau yang ini, Mama nggak bisa mastiin, De. Soalnya, biasanya temen Mama emang ada yang suka bawa cucu juga, sih. Tapi ... cuma beberapa aja," terang Bertha. "Ehm ... kalau gitu, kita pilih menunya jangan yang pedes-pedes kali, ya, Ma. Atau mungkin, bisa diselipin beberapa makanan yang emang disukai sama anak-anak," saran Dea. "Ide yang bagus, tuh De. Nggak salah deh, Mama bawa kamu ke sini," ucap Bertha, lalu mencubit pipi Dea dengan gemas. Membuat Dea lagi-lagi meringis, dengan bibir mencebik pasrah. "Acaranya pagi, Ma?" tanya gadis itu kemudian. "Agak sorean sih, jadi Mama masih punya waktu lebih buat nyiapin semuanya," tukas Bertha. "Kamu besok bisa ke rumah kan, Sayang? Buat nemenin Mama?" "Iya, Ma. Besok Dea pasti datang kok, bantuin Mama," sanggup Dea. Tak terasa, langkah kaki kedua wanita itu telah sampai pada sebuah kafe dengan interior modern bernuansa klasik, dengan dòminasi warna krem dan coklat tua. Tampak beberapa pengunjung, mulai memadati meja-meja yang tertata rapi di sana. "Nah, ini dia ... kita udah sampai! Bentar ya, Sayang. Mama mau nyamperin Om Handoko dulu," ucap Bertha. "Om Handoko, siapa Ma?" "Yang punya kafe ini, Om Handoko itu kenalannya Papa Jimmy," jelas Bertha. "Oh ...." Bertha lalu melenggang masuk, ke dalam kafe. Sementara Dea, tampak menarik sebuah kursi yang terdapat tak jauh dari tempatnya berdiri. Mengibaskan beberapa bulir air, yang masih tersisa dan membasahi lengan tangannya. Hingga tak lama kemudian, tampak Bertha melambaikan tangannya. Memanggil Dea, untuk segera mendekat kepadanya. Di salah satu sudut bagian dalam sana, tampak Bertha yang tengah berdiri bersama dengan seorang pria seumuran Daniel dan Jimmy. "Nah, ini Dea. Putri saya," ucap Bertha memperkenalkan Dea, begitu gadis itu mendekat kepadanya. "Dea, Om." Dea pun mengulurkan tangannya, menyalami Handoko. "Panggil saja Om Handoko," ucap Handoko seraya tersenyum dan menjabat tangan Dea. Sedetik kemudian, pria itu tampak mengernyitkan keningnya. "Bukannya ... anaknya cuma satu, ya? Bima, 'kan?" tanya Handoko, mencoba mengingat-ingat. "Calon menantu, sama saja dengan putri sendiri, 'kan?" kilah Bertha, seraya mengulum senyum. Membuat Dea seketika tersenyum canggung. Calon Menantu? Ah, calon menantu keluarga Nugraha, maksudnya? Ckckck! "Oh ... begitu. Jadi, kapan rencana Pernikahannya?" tanya Handoko, beralih menatap kepada Dea dan Bertha, bergantian. Dea pun tersenyum kikuk. Enggan menjawab pertanyaan, yang rasanya sungguh sangat ingin ia hindari. "Bentar lagi, Han. Enggak lama lagi juga undangannya bakal datang, kok," sahut Bertha, menjawab pertanyaan Handoko. Lalu, keduanya tampak tertawa kecil. Sementara Dea tersenyum kecut, mengingat kisah cintanya yang harus berakhir tragis di tangan Bima. "Oh, ya. Gimana, tadi rencananya? Aku bisa bantu apa nih, buat acara arisan ibu-ibu sosialita?" tanya Handoko. Sejenak, pria yang terlihat seumuran dengan Jimmy dan Daniel itu tampak terkekeh. "Kebetulan, kemarin ada menu yang baru saja launching. Mau nyobain?" Handoko menawarkan. "Ehm ... liat dulu, deh. Bisa delivery, 'kan?" tanya Bertha, memastikan. "Bisa diatur. Yuk, ke sebelah sini!" * . . . Happy reading :) Jangan lupa tap love, tinggalkan komentar, dan follow akun saya. Terima kasih. .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD