4. Upaya

2164 Words
Pagi itu, cuaca tidak secerah biasanya. Langit mendung disertai hujan, menciptakan rasa enggan bagi sebagian orang untuk memulai aktivitas mereka. Tapi, tidak dengan Dea. Gadis itu tampak sudah siap dengan rok hitam selutut dan kemeja soft kremnya. Dengan memoleskan sedikit make-up pada wajahnya, Dea lalu menguncir rambutnya dengan asal. Beralih mengambil tas kerjanya, ia pun lalu bergegas menuruni anak tangga menuju meja makan, dan mendapati Monika yang sudah berada di sana. "Pagi, Ma," sapa Dea, pada Monika. Di detik selanjutnya, ia pun menarik sebuah kursi. Mendaratkan diri, pada tempat favoritnya. "Pagi, Sayang. Apa kamu akan berangkat ke kantor, hari ini? Bagaimana dengan kakimu, hmm?" tanya Monika, pada putrinya. "Kakiku sudah lebih baik, Ma. Hanya lecet sedikit. Sudah tidak begitu sakit," jawab Dea, seraya menyesap teh hangatnya. Meniup sesekali minuman berwarna coklat bening itu, hingga tampak uap yang kemudian mengepul dari atas gelasnya. "Baiklah, kalau begitu," sahut Monika. "Papa dan Kakakmu juga sudah berangkat dari tadi pagi," imbuh Monika, lalu meraih sebutir mangga dari piring buah, dan kemudian mengupasnya. "Papa ke Rumah Sakit?" tanya Dea sembari menyendok secentong nasi goreng sosis buatan Monika, lalu menuangkan pada piringnya. "Iya, Sayang. Ada beberapa hal yang harus Papa urus, hari ini," jawab Monika. "Bagaimana dengan Bima? Apa dia akan menjemputmu?" "Tidak, Ma. Itu tidak perlu. Aku bisa berangkat ke kantor sendiri," balas Dea, seraya menyuapkan sesendok nasi goreng ke dalam mulutnya. Menikmati masakan Monika, yang selalu terasa pas di lidahnya. "Baiklah," sahut Monika, disertai anggukan kepala. Melirik sekilas Mamanya, Dea pun menghentikan sejenak kunyahannya. Menimbang-nimbang. Memastikan, bahwa ini adalah saat yang tepat, untuk ia berbicara. "Ehm .... Sejujurnya, bolehkah aku meminta sesuatu, Ma?" tanya Dea, hati-hati. "Ya, Sayang. Tentu saja," kata Monika. "Katakan, apa yang kamu inginkan." Menyelesaikan potongan buah terakhirnya, Monika pun beralih menatap kepada Dea. Mengamati baik-baik putrinya, yang tampak sedikit beringsut dari duduknya. "Aku ingin ... membatalkan Pertunanganku dengan Bima, Ma," ucap Dea, lirih. Menimbulkan satu kerutan, pada kening Monika. "Aku ... tidak ingin menikah dengannya, Ma," imbuh Dea, kemudian. Monika yang terkejut pun lantas menggeser piring buahnya. Menarik dua helai tisu, lalu membersihkan tangannya dalam gerakan singkat. "Kenapa, Sayang?" tanya Monika, kemudian. "Kenapa tiba-tiba berubah pikiran? Apa yang sudah terjadi?" berondong Monika. "Aku ... tidak bisa, Ma," lirih Dea. "Maaf." "Tapi, kenapa?" tanya Monika, bingung. Mencoba memahami, jalan pikiran putrinya. "Bima itu pria yang baik, Sayang," tangkas Monika. "Kalian sudah saling mengenal, sejak lama. Tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan, bukan?" "Tapi, Dea benar-benar tidak bisa, Ma," kekeh Dea. Monika pun menghela napasnya. Menarik sebuah kursi, lalu mengambil tempat di samping putrinya. Menggeleng pelan, ia pun lalu meraih tangan putrinya. "Sayang ... kamu tahu, 'kan? Papa tidak mungkin membatalkan semuanya, begitu saja. Papa dan Om Jimmy sangat mengharapkan Pernikahan kalian," tukas Monika, seraya menggenggam erat tangan Dea. Mengamati reaksi putrinya. "Dea sudah fikirkan semuanya, Ma. Dea minta maaf," cicit Dea. "Dea ...," desah Monika. "Bima itu pria yang baik. Dia adalah calon suami yang paling tepat, buat kamu. Om Jimmy dan Tante Bertha juga sangat menyayangi kamu seperti putri mereka sendiri, Sayang," tutur Monika, mencoba meyakinkan Dea. Berusaha melunakkan kekerasan hati putri kecilnya. "Kamu tahu itu, 'kan?" imbuh Monika, sekali lagi. Mata Dea terpejam. Kepalanya menggeleng kuat-kuat. "Tapi, Dea dan Bima tidak saling mencintai, Ma. Dea siap resign dari kantor, kalau Om Jimmy keberatan dengan keputusan Dea." Menarik sebuah cincin dari jari manisnya, gadis itu lalu memberikannya kepada Monika. Mengembalikan benda itu, dengan paksa. 'Aku bisa pastiin, cincin ini akan selalu ada di jari manis kamu. Selamanya. Selama aku menginginkannya!' Sekilas, bayangan kata-kata Bima menggema di telinga Dea. Ancaman halus yang dilayangkan Bima di malam Pertunangan mereka, mau tak mau membuat ia mengusap tengkuknya juga. Pria itu bisa saja melakukan sesuatu, untuk kembali menggagalkan rencananya. "Apa ini karena Nathan?" cecar Monika. "Jawab Mama, Dea! Apa kamu masih berhubungan dengan Nathan?!" Perlahan, Dea pun mengangguk. Tak menampik sama sekali, tudingan Ibunya. "Dea ...," desah Monika. Menghela napas panjangnya, wanita paruh baya itu pun terlihat mencoba untuk mengendalikan emosinya. "Dea, dengarkan Mama, Nak," ucap Monika, lembut. "Nathan itu bukan pria yang baik. Dia tidak baik, untukmu. Mama tidak suka, jika kamu terus berhubungan dengannya. Dia bukan tipe pria yang se--" "Sudahlah, Ma," potong Dea. "Dea tahu, sejak awal, Mama dan Papa memang gak pernah menyetujui hubungan Dea sama Nathan. Tapi, bukan berarti Dea mau nikah sama Bima, Ma," kekeh Dea. Sejenak, Monika terdiam. Tidak tahu lagi, harus bagaimana menghadapi kekerasan hati putrinya. "Mama tidak tahu, bagaimana reaksi Papa nanti, jika tahu kalau kamu masih berhubungan dengannya, Dea," papar Monika, kemudian. Menatap lelah, ke arah putrinya. "Dea cuma mau Nathan, Ma. Bukan Bima," ungkap Dea. "Dea cintanya sama Nathan, Ma. Bukan Bima." "Dea!" bentak Monika, akhirnya. Merasa tak bisa lagi, menahan emosinya. Sedangkan di tempatnya, Dea pun terdiam. Ibunya itu bahkan tidak pernah sekali pun membentaknya, selama ini. Akan tetapi, Dea sudah mempersiapkan diri. Sudah bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan ia terima, seiring dengan keputusan yang telah ia ambil. Berusaha untuk tetap tenang, ia lalu meraih gelas tehnya. Meneguk isinya, hingga habis. Lantas beranjak dari sana, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. "Habiskan sarapanmu, Dea!" seru Monika, sembari memandang kepergian putrinya, dengan nanar. "Dea sudah kenyang." * Jam makan siang hampir tiba, ketika Dea menyelesaikan lembar terakhir dokumen di layar komputernya. Memeriksanya ulang, lantas kemudian menyimpannya. Meregangkan ototnya sekilas, ia lalu memutar kursinya ke belakang. Mendapati Metta, yang tampak duduk di sana. "Mau makan siang di mana, Met?" tanya Dea pada Metta, teman satu divisinya. Seharian ini, Dea belum bertemu dengan Bima. Sepertinya, pria itu sedang sibuk. Atau mungkin, sedang ada meeting di luar kantor. Hal yang sebenarnya membuat Dea bernapas lega, dan sedikit berharap untuk tidak bertemu dengannya, hingga jam pulang kantor tiba. "Ehm ... kayaknya enggak deh, De. Liat aja, masih setumpuk gini. Mana harus selesai hari ini, lagi!" keluh Metta, sembari menatap setumpuk berkas di ujung mejanya. "Nanti aku bantuin, deh." Dea mengibaskan satu tangannya, menawarkan bantuan. "Beneran?" tanya Metta, dengan tatapan berbinar. Dea pun mengangguk, menyanggupi. "Ah ... kamu emang the best, deh! Benar-benar Malaikat penolongku!" seru Metta, kemudian terkikik. "Ting!" Bunyi satu pesan masuk pada ponselnya pun mengalihkan perhatian Dea. "Bentar, Met," tukas Dea, seraya meraih ponselnya. Mengusap sekali layarnya, ia pun mendapati sebuah pesan di sana. CITRA [ Makan siang yuk, De! ] Sebuah ajakan makan siang, seketika membuat bibir Dea tersenyum. Tepat sekali, waktunya. Lagipula, ia harus menanyakan sesuatu. Menuntut jawaban, akan kepergian Citra yang tiba-tiba dan tanpa kabar, selama beberapa hari terakhir. Hal yang membuat ia kehilangan tempat untuk bercerita, juga tempat untuk berkeluh-kesah sepuas yang ia inginkan. Dan tentu saja, ia merindukannya. Tanpa menunggu waktu lama, Dea pun segera mengetikkan balasannya. CITRA [ Baiklah ] [ Di tempat biasa? ] Send .... Pesan itu terkirim. Diikuti dengan dua centang abu-abu yang kemudian berubah menjadi warna biru, dalam waktu sekejap. Ting! Sebuah notifikasi, terdengar kembali berbunyi. Diikuti dengan masuknya tiga pesan sekaligus, di sana. Dari pengirim yang sama; Citra. CITRA [ Oke ] [ Aku tunggu ] [ Aku udah di depan ] "Siapa De, pacar kamu?" tanya Metta, penasaran. Melongokkan kepalanya ke depan, mengintip Dea melalui samping layar komputernya. "Bukan, Met. Ini Citra," balas Dea. "Kayaknya, dia udah balik dari Bandung, sih. Abis liburan gitu," imbuhnya kemudian. "Wah ... dapet oleh-oleh, nih!" tukas Metta, seraya mengedipkan sebelah matanya. "Ah ... bisa jadi!" sahut Dea, sembari mengulum senyum geli. Keduanya pun lalu terlihat terkekeh kecil. "Udah, ah. Aku tinggal dulu ya, Met. Udah ditungguin sama Citra, di depan!" imbuh Dea, kemudian. Metta pun mengangguk. "Oke, deh!" "Beneran, enggak mau ikut?" tanya Dea, memastikan. Menopangkan dagunya dengan sebelah tangan, Metta pun tampak menggeleng. Kembali menghempaskan dirinya, pada kursinya. "Ini benar-benar harus selesai hari ini, De," keluh Metta lesu, dengan helaan napas panjang. "Ehm ... ya udah, kalau gitu!" putus Dea, kemudian. Beranjak dari tempatnya, Dea pun lalu tampak meraih ponsel beserta dompetnya. "Kalau gitu, aku keluar dulu, ya!" "Oke." * Dea melenggangkan kaki keluar dari pelataran gedung Mega Buana Company, dengan begitu santai. Sesekali, tangannya tampak terangkat menutupi wajah, demi menghalau terik sinar matahari yang terasa begitu menyilaukan mata. Menyeberangi jalan yang tak terlalu padat, gadis itu lalu beralih menuju pada satu kafe kecil, yang terletak tepat di seberang kantornya. Tempat favorit para karyawan untuk menghabiskan waktu makan siang mereka, selain di kafetaria yang tersedia di kantor. Dari tempatnya berdiri, dapat Dea lihat beberapa deretan pengunjung sudah mulai memenuhi kafe kecil itu. Menyapukan pandangannya sekilas, ia pun akhirnya menemukan sosok keberadaan Citra, di sana. Sahabat dekatnya itu, tampak duduk menunggu dirinya pada salah satu kursi, di pojok ruangan. "De ...!" seru Citra, seraya melambaikan tangannya. Dea pun lalu menghampirinya. "Sudah lama, Cit?" tanya Dea, setelah merangkul sahabatnya sekilas. Menarik sebuah kursi, ia lalu duduk tepat di seberang Citra. "Baru aja, De!" balas Citra, seraya tersenyum. "Aku sudah memesan makanan untuk kita. Mungkin, sebentar lagi akan datang," terangnya, kemudian. "Oh, baiklah," setuju Dea. "Kenapa dengan lututmu, De?" tanya Citra, dengan kening berkerut kecil. "Apa kamu baru saja terjatuh?" "Ah, tidak apa-apa. Hanya terpeleset kecil di kamar mandi, Cit," jawab Dea berbohong, seraya mengalihkan pandangannya pada kedua lututnya. Menyadari, bahwa ternyata di sana masih tertempel dengan sempurna, plester yang dipasangkan oleh Bima, sejak semalam. "Apakah sangat sakit?" tanya Citra, khawatir. "Tidak, Cit. Ini juga sudah baikan," kilah Dea, sembari tersenyum. Tak lama kemudian, pesanan mereka pun datang. Dua buah cheese cake, segelas orange juice, dan segelas mocca latte. "Bagaimana dengan pekerjaanmu, De? Apakah hari ini menyenangkan?" tanya Citra, setelah pelayan menyajikan pesanan mereka. Gadis itu tampak mengulurkan tangannya. Meraih sepiring kecil cheese cake, dan mulai menikmatinya. "Semuanya baik-baik saja, Cit," jawab Dea. "Tidak ada masalah, dengan pekerjaanku. Hanya saja ... sepertinya, aku akan resign dalam waktu dekat ini." Dan, Citra pun tersedak. Menepuk dadanya sekilas, Citra lalu meraih gelas orange juice-nya. Menyedot minuman itu, dalam satu kali teguk. "Resign?!" pekik Citra, kemudian. "Tapi, kenapa De? Bukankah kamu sangat menyukai pekerjaan ini?" Dea pun terdiam. Berpikir untuk menceritakan lamaran dadakannya kepada Citra, akan tetapi ia urungkan. Setidaknya, tidak di dalam kafe, dengan pengunjung sepadat ini. "Aku tidak bisa menjelaskannya sekarang, Cit. Maafkan aku," putus Dea. Berharap Citra tidak akan menuntut penjelasan lebih darinya. "Apa ini ada hubungannya dengan Rumah Sakit?" tebak Citra. Dea pun menggeleng. "Tidak, Cit. Papa sudah lama, tidak membahas soal Rumah Sakit. Lagipula, harus berapa lama lagi aku menghabiskan waktu untuk mengambil studi, kalau papa benar-benar menarikku ke sana?" balas Dea, lalu terkekeh. Citra mengangguk, mengerti. "Lalu?" Menarik napas panjang, Dea pun lalu berkata, "Sudahlah, Cit. Lupakan saja. Lagi pula, ini bukan hal yang penting. Ehm .... Bagaimana, dengan Bandung?" tanya Dea kemudian, mencoba mengalihkan pembicaraan. "Apakah di sana menyenangkan? Kamu pergi berhari-hari, dan tidak memberiku kabar sedikit pun!" imbuh Dea, bersungut-sungut. "Ah ... itu? Ehm ... aku hanya ... pergi berkunjung ke rumah tanteku, De. Hanya menginap selama beberapa hari saja, di sana!" jawab Citra, terbata. "Oh, ya? Aku baru tahu, kalau kamu mempunyai tante di Bandung, Cit," timpal Dea, sembari memasukkan sepotong kecil cheese cake ke dalam mulutnya. Mengunyah makanan dingin bertekstur lembut, dengan domìnan rasa asin khas susù itu secara perlahan. "Ehm ... ah, iya! M-maksudku, tante dari mamaku, De. Iya, begitu!" jelas Citra, terbata. "Oh, begitu." Dea pun angguk-angguk kepala. "Ekhem!" Sebuah suara berat di belakangnya, membuat Dea menolehkan kepalanya dengan seketika. Membuat ia menemukan, bahwa pemilik suara itu tak lain adalah Bima. Sedang berdiri angkuh di belakang sana, dengan kedua tangan terselip di balik saku celana hitamnya. Dea meneguk ludahnya. Mencoba untuk mengabaikan kehadiran Bima, ia pun memilih untuk melanjutkan makan siangnya saja. "Bi-Bima?" lirih Citra, terbata. "Kenapa, Cit?" tanya Dea, tanpa mengalihkan fokus dari cheese cake-nya. "Lanjutkan saja, makan siangmu, Cit!" lanjutnya, kemudian. "Ehm ... sepertinya, aku harus pergi, De," putus Citra, tiba-tiba. "Kamu ... lanjutkan saja makan siangmu. Biar aku yang membayar bill-nya, kali ini. Oke!" imbuh Citra, lalu meraih sling bag hitamnya. Dea pun mengernyitkan keningnya. Menangkap rasa tidak nyaman, pada nada bicara Citra. Mengalihkan pandangannya, ia pun mendapati bahwa Bima sedang menatap tajam, sahabatnya itu. Membuat ia mendesah lelah, merutuki kehadiran Bima yang datang dengan tiba-tiba. "Kamu bahkan baru memulai makan siangmu, Cit!" tukas Dea, mencoba menahan kepergian Citra. Menatap sahabatnya itu, dengan tatapan tak rela. "Tidak, De. A-aku ... benar-benar harus pergi, sekarang. Ada sesuatu, yang harus aku kerjakan. Nanti ku hubungi lagi, oke!" pamit Citra, kemudian bangkit dan memberikan kecupan singkatnya, pada pipi kiri Dea. "Pergilah!" desis Bima, dingin. Membuat Dea melirik pria itu tajam, setelah kepergian Citra. "Jadi, ini rencana kamu?" tanya Bima, seraya memaku tatapan tajamnya pada Dea. Menyebabkan Dea menghentikan sejenak acara makannya, lalu beralih menatap kepada Bima yang tampak berdiri menjulang di sisi mejanya. Menimbulkan bisik-bisik yang lantas terdengar, di sekitar meja mereka. Para pengunjung yang mayoritas adalah karyawan MBC, tentu saja mengenali siapa Bima Alexis Nugraha. Pewaris satu-satunya Mega Buana Company, yang kini tengah melejit dengan banyak pencapaian berprestasi, di bawah naungan Kepemimpinannya. Hal yang sangat wajar, jika kehadirannya di sana lantas mengundang banyak pertanyaan. "Apa maksud kamu, Bim? Aku tidak mengerti!" ketus Dea, kemudian. Mulai tak nyaman, dengan tatapan para pegawai MBC, yang menjadikan mereka berdua sebagai pusat perhatian. "Ikut denganku!" *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD