10. Sebuah pertemuan

1391 Words
Menghabiskan waktu hampir beberapa jam lamanya, Dea menemani Bertha memilih menu yang cocok, untuk acara arisan besok. Dan pilihan mereka jatuh pada smoke beef, almond pastry, salad buah, french fries, dan beberapa jenis cake, seperti lamington dan opera. Sedangkan untuk minumannya, Dea menyarankan untuk menggunakan fresh juice saja, yang menurutnya lebih sehat dan praktis. "Jadi, besok jam tiga sore, udah di tempat ya. Jangan sampai telat, loh. Soalnya, acaranya tuh dimulai jam empat, Han," pesan Bertha pada Handoko, sembari menggenggam secarik nota berisi beragam pesanan yang akan segera ia bayar, di meja kasir. Handoko pun tersenyum, mengangguk. "Aku bisa pastikan, pesanan kamu akan datang tepat waktu," janji Handoko. "Oke, terima kasih ya Han," pungkas Bertha kemudian. "Sama-sama," balas Handoko, lalu menjabat tangan Bertha dengan ramah. Berpaling pada Dea, Bertha lalu meraih tangannya. "Sayang, tunggu di sini sebentar, ya. Mama mau bayar pesanan dulu. Atau ... kamu mau pesan makan siang sekalian, buat kita?" Dea pun menatap jam tangannya. Mendapati waktu, yang menunjukkan bahwa jam makan siangnya telah habis, sedari beberapa jam yang lalu. Itu artinya, ia kembali harus membolos jam kerja, hari ini. Ck. Benar-benar karyawan teladan! Akan tetapi, bagaimanapun juga, ia tetap harus menyempatkan diri, untuk sekadar mengisi perutnya. Dan sepertinya, akan memakan waktu yang cukup lama, jika ia dan Bertha mencari makan siang di tempat lain. Ia rasa, tak ada salahnya untuk mencoba menu baru di kafe pilihan Bertha ini. Gadis itu pun lantas mengangguk. "Iya, Ma. Dea juga udah laper, nih," tukasnya, seraya mengelus perutnya sekilas. "Ya udah, kamu pesan makanan dulu gih, sana. Mama beresin ini dulu," tukas Bertha, seraya menunjukkan nota pesanannya. "Oke, Ma," balas Dea. Dea lalu beranjak keluar, mencari meja kosong untuknya dan Bertha. Menemukan, bahwa hanya ada satu meja yang tersisa di pinggir jendela kaca bagian depan, dekat dengan arah pintu masuk. "Mbak!" panggil Dea, pada salah seorang pelayan. "Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" sapa pelayan itu dengan nada ramah. Dea pun tersenyum, mengangguk. "Silakan menunya," ucap pelayan itu kembali, seraya memberikan selembar list menu kepada Dea. Setelah menimbang sejenak, Dea lalu memutuskan beberapa pilihan menu, yang menurutnya ringan dan tak akan menghabiskan banyak waktu. "Saya mau pesan dua salad sayur, satu american coffee, satu cappucino ice, sama satu ...." Kalimat Dea terputus. Seiring dengan jatuhnya list menu, dari tangan kanannya. "Sama apa lagi?" "Nathan!" pekik Dea. Gadis itu berdiri seketika. Matanya terpaku, menatap sesosok pria yang ia cari-cari dan amat ia rindukan, selama hampir berminggu-minggu. "Ada lagi, Mbak?" tanya pelayan yang tengah mencatat pesanannya, masih dengan mengulas sebuah senyuman ramah. "I-itu aja, Mbak." Tak menghiraukan pelayan yang masih berdiri di sampingnya, Dea pun lantas beranjak dari tempatnya. "Nath!" panggil Dea. Tampak pria itu menoleh padanya. Menatap dirinya, dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. Lalu bergegas berlalu dari tempatnya, dengan membawa serta dua kantung belanjaan berukuran besar, dari atas mejanya. "Nath, tunggu!" panggil Dea, lagi. Gadis itu lalu berlari kecil, mengikuti jejak Nathan. Mengejar, seraya memanggil namanya berulang kali. Akan tetapi, pria itu tak menghiraukan panggilan Dea sedikit pun. Nathan tampak berlalu, menerobos sana-sini di tengah keramaian, membuat Dea beberapa kali sempat terkecoh dengan keberadaannya. Pria itu lalu tampak menaiki sebuah tangga eskalator turun. Namun, karena dirasanya kurang cepat, ia pun lantas memilih untuk menuruni tangga eskalator itu dengan berlari kecil di atasnya. Menyalip beberapa orang yang ada di depannya, tak acuh pada Dea yang terdengar memanggilnya berulang kali. "Nath, tunggu!" teriak Dea, dengan napas terengah. Tak lagi menghiraukan orang-orang yang memandang dirinya dengan tatapan aneh, gadis itu pun terus melangkah. Berusaha mengejar Nathan sebisa mungkin, agar ia tak lagi kehilangan jejaknya. Hingga sampailah mereka di pelataran parkir, yang terdapat di sisi kanan gedung. Mengabaikan rintik hujan yang belum juga mereda sejak keberangkatannya tadi, Dea terus mengayunkan langkah kakinya. Mengikuti jejak Nathan, ke mana pun arah pria itu pergi. Berusaha sebisa mungkin, untuk menyejajarkan langkahnya dengan pria yang sudah menjadi kekasihnya selama tiga tahun ini. "Nath, tunggu!" teriak Dea, sembari mengejar pria itu, tanpa henti. "Kita perlu bicara, Nath!" Nathan bergeming. Tak menanggapi sedikit pun, panggilan Dea padanya. "Nath, kumohon ...!" ulang Dea yang masih terlihat mengejar Nathan, hingga pria itu sampai pada mobil hitamnya. "Berhenti, Nath!" Dea pun mencoba untuk meraih tangan Nathan. Berupaya membuat pria itu berhenti dan berbicara dengannya. Tapi, sepertinya pria itu enggan dan justru menepis kasar, tangannya. Tak memedulikan keadaan Dea yang sudah basah kuyup karena mengejar dirinya, Nathan justru berlalu masuk ke dalam mobilnya. Membanting pintu berwarna hitam itu, dengan amat keras. Membuat Dea terkesiap. Sedetik, Dea mematung. Tak menyangka, jika Nathan akan semarah ini padanya. Namun, ia tak menyerah. Ia merasa, masih perlu memperjuangkan cintanya. Mengabaikan harga diri yang ia tepis jauh-jauh dari dalam benaknya, gadis itu lalu mengulurkan tangannya. Mengetuk kaca pintu mobil itu berulang kali. Berharap Nathan mau mengindahkan panggilan darinya. "Nath, kumohon ... keluarlah, Nath! Kita harus bicara!" mohon Dea, seraya mengetukkan jemarinya, pada kaca mobil itu berulang kali. "Nath!" Gadis itu kembali mengetukkan jemarinya pada kaca mobil hitam Nathan. Tak menghiraukan sama sekali, rintik air hujan yang senantiasa turun membasahi dirinya, ia bertekad untuk membuat Nathan keluar dari dalam mobilnya. Setidaknya, mereka harus bicara. Demi menyelesaikan permasalahan yang terjadi di antara mereka berdua. "Nath, kumohon ... kita harus bicara, Nath!" Beberapa detik kemudian, Nathan pun tampak keluar. Pria dengan kaos hitam dan topi hitam itu, tampak memandang Dea, dengan tatapan tak berkedip. Menatap tajam Dea, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. "Kumohon ...." Dea berlutut. Terisak lirih, di hadapan kaki Nathan. Menarik perhatian beberapa orang yang kebetulan tampak tengah melintas di sana. "Bangunlah!" ucap Nathan. Pria itu lantas mengulurkan kedua tangannya. Meraih masing-masing bahu Dea, membawa gadis itu untuk kembali berdiri. "Maafkan aku, Nath. Aku, aku ... tidak bermaksud menghianatimu, sedikit pun," papar Dea. Gadis itu menengadahkan wajahnya. Menatap Nathan, dengan mata sayunya. "Aku tidak pernah menginginkan Pernikahan ini, Nath. Kita bisa pergi, jika itu yang kamu mau. Aku mau pergi, jika kamu menginginkannya, Nath. Aku mau!" ucap Dea, menuturkan kalimat panjangnya. Mencoba meyakinkan Nathan, bahwa ia tak pernah mengkhianatinya, sekali pun. Berharap agar Nathan tak menyela, atau memotong kalimatnya. Dan jika boleh berharap lebih, ia ingin agar pria itu bersedia menerima penjelasannya. Memaafkan dirinya. "Katakan padaku, satu hal." Nathan tampak menyipitkan matanya. "Apa dia sudah menyentuhmu?" tanya pria itu, kemudian. Dea pun terhenyak. Tak menyangka sama sekali, jika pria itu justru akan mempertanyakan hal seperti itu, padanya. Untuk beberapa detik lamanya, Dea hanya terdiam. Membeku, menatap sepasang manik hitam pria di hadapannya. Mencoba mencari kesungguhan pertanyaan, yang baru saja ia dengar. "Apakah sangat penting, bagimu?" tanya Dea, miris. Di saat ia mati-matian menentang keinginan kedua orang tuanya demi bisa mempertahankan hubungan mereka, ia justru dihadapkan dengan pertanyaan konyol yang tidak ia harapkan sama sekali, dari pria di hadapannya. Pria yang sudah menemaninya, selama tiga tahun ini. "Ya. Tentu saja, itu sangat penting bagiku." Dea pun tertegun. Pria inikah, yang menemaninya selama tiga tahun ini? Tidakkah seharusnya Nathan cukup mengenal bagaimana dirinya, selama ini? Gadis itu pun terpaku. Merasa perasaannya dipermainkan, hanya dengan sebuah kata 'menyentuh'. "Katakan, padaku. Apa dia sudah menyentuhmu di sini?" tanya Nathan, sembari membawa satu jari telunjuknya menyentuh pada belahan bibir Dea. "Di sini?" Jari itu bergerak turun. Menyusuri sepanjang garis leher Dea, membuat gadis itu memejamkan matanya. "Atau, di sini?" Perlahan, jari itu pun bergerak semakin turun. Berhenti tepat, di atas gundukan dadànya. Membuat gadis itu membuka kedua kelopak matanya, dengan seketika. "Atau ...." Plakkk ...!?! Dea memandang nanar, pria di hadapannya. Mengabaikan tetes demi tetes air yang membasahi dirinya, gadis itu menengadahkan wajahnya. Demi bisa meyakinkan hatinya, bahwa ia sedang berbicara dengan pria yang sudah menjadi kekasihnya, selama tiga tahun ini. Dan, ia tidak salah. Pria itu adalah Nathan adanya. "Jadi, itu benar?" tanya Nathan, sembari menyeringai. Memegang pipi yang terasa panas, akibat tamparan tangan Dea, beberapa detik yang lalu. "Kamu bahkan tidak pernah membiarkanku menyentuh bibirmu, selama ini," desis Nathan. Pria itu tampak memandang Dea, dengan tatapan tak berkedip. "Dan kamu memberikannya begitu saja padanya, hah?!" Nathan berseru, dengan keras. Mata hitam pria itu tampak menyorot tajam. Mengguncang tubuh Dea kasar, dengan kedua tangannya. Namun, seakan tak cukup sampai di sana, pria itu lantas terdengar kembali berteriak, "Jawab, Dea!" "Cukup ...!" Sebuah suara bariton, terdengar bergema. Memekakkan telinga, di antara derasnya air hujan sore itu. "Singkirkan tanganmu, dari tubuh calon istriku!" * . . . Happy reading :) Eitsss .... Jangan lupa tap love, tinggalkan komentar, dan follow akun saya. Terima kasih :) .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD