Diantara semuanya, hanya Agatha yang mendapatkan pengecualian. Gavin lebih memilih pura-pura tidur dari pada harus meladeni teman-temannya untuk mengobrol.
"Kapan sih, mereka pulang? Betah banget gangguin orang." Batinnya.
Erika, Andra dan Agatha saling bercengkrama dan membuat semua orang tertawa.
Sorenya Rindu datang ke rumah sakit. Dia membawa banyak bubur yang sudah di masaknya sendiri.
Mama, papanya tak lagi menemani. Namun Rindu tetap datang.
Tok tok tok.
Suara ketukan di pintu mengalihkan perhatian. Devon segera beranjak untuk membukakan pintu.
"Eh, Rindu. Kamu dari mana aja, kakak cariin. Ayo masuk."
Rindu megangguk ringan.
"Maaf, Kak. Rindu tadi pulang nggak ngasih tahu kakak dulu."
"Ya, nggak apa-apa sih, cuman kamu buat kami khawatir. Anak-anak udah nungguin kamu dari tadi soalnya."
Erika langsung berdiri menyambut Rindu saat melihatnya.
"Rindu, hey, akhirnya lo datang juga."
"Maaf, Ya. Kalian jadi nunggu lama."
"Nggak apa-apa,"
Rindu memasuki ruangan, menyerahkan bubur dan buah yang dia bawah dari rumah. Agatha yang duduk di sisi Gavin membuatnya merasa cemburu.
"Dia masih tidur?" tanyannya.
Nagita meletakkan barang bawaannya di atas meja.
"Ya, dia lebih banyak tidur dari pada bangun."
Rindu tak bisa berbuat apa-apa dan hanya melihat Gavin dari jauh.
"Bener kata, lo, Ndu. Dia nggak ngenalin kita. Malahan gue di bilang berisik banget, di usir gua sama si kunyuk ini," keluh Andra.
Rindu terkesiap, tadinya dia berpikir Gavin kasar seperti itu hanya kepadanya.
"Maafkan anak tante, ya. Mohon di maklumi. Butuh waktu untuk mengembalikan ingatannya seperti semula," ucap Nagita.
"Nggak apa-apa, Tante. Kami mengerti kok."
Hingga hari berganti malam, Gavin tak kunjung membuka mata. Andra mulai cemas karena telah membawa Erika seharian.
"Em, Kak." Sahabat Gavin itu menemui Devon.
"Ya, ada apa?"
"Kami pamit pulang. Sudah malam, takut mamanya Erika nyariin."
Devon mengangguk mengerti.
"Oke, terimakasih sudah berkunjung. Hati-hati, ya."
Andra mengangguk mantap.
"Iya, kak."
"Tha, Rindu. Kalian masih ingin tinggal. Gue sama Erika mau cabut."
"Aku masih di sini."
"Gue tetep tinggal," ucap mereka bersamaan.
Erika melihat Rindu tindak nyaman dengan kehadiran Agatha.
"Oke, kalau gitu kami cabut dulu, bye."
Erika dan Andra tidak lupa menyalami kedua orangtua Gavin.
"Terimakasih sudah jengukin ya,"
"Sama-sama, Tante."
Setelah kepergian mereka, Nagita duduk di sofa, bersama dengan putranya Devon. Rindu tampak asing dan memilih mengambil jarak dan duduk jauh dari berangkar.
"Dev, sebenarnya pacar Gavin itu, Rindu atau Agatha?"
Devon mengeryit.
"Mama, udah tahu jawabannya masih saja nanya."
"Bukan gitu, lihat Agatha bahkan tidak meninggalkan tempatnya hingga Rindu nggak bisa mendekat."
Ternyata Nagita memperhatikan semuanya dari tadi.
"Gavin itu cakep, Ma. Zean saja kemarin tergila-gila sama dia. Wajar aja kalau sekarang banyak nungguin gini. Tapi kalau soal pacar, ya tetep Rindu lah. Mama gimana sih."
"Oh, terus kamu nggak ngabarin Zean?"
"Sengaja."
"Kok, gitu?"
"Takut centilnya kambuh."
"Dasar anak muda."
Jam pulang pun tiba, Agatha menatap jam tangannya.
"Rindu, mau pulang bareng nggak?" tanyanya sopan.
"Nggak, Tha. Aku akan menginap di sini. Temenin tante Nagita."
Mama Gavin langsung menghampiri.
"Syukurlah, tapi gimana sama orangtua kamu. Mereka udah izinin?"
Rindu tersenyum simpul, kecantikan sederhana yang terlihat menggemaskan.
"Udah tante, makanya tadi saya pulang duluan."
"Oh oke."
"Tante, adakah titipan yang harus saya bawah untuk Bi Ira?"
Agatha rupanya sangat tanggap.
"Oh iya, ini tempat bekal makanan kami. Terimakasih, ya Agatha."
"Sama-sama, Tante."
"Kamu naik apa?" tanya Nagita cemas.
"Taksi,"
Nagita langsung menoleh ke Devon.
"Sayang, kamu nggak sibuk kan? Anterin Agatha pulang kasihan kalau mesen taksi segala."
Pandangan Devon dan Agatha bertemu.
"Boleh, Ma. Aku senggang kok."
Agatha menggelengkan kepala.
"Nggak perlu kok, Kak. Aku udah terbiasa."
Devon mendekat, meraih tangan Agatha.
"Kalau mamaku bilang anterin, ya berarti harus di anter, Tha. Lagian aku udah seharian nggak ganti baju. Sekalian pulang ke rumah."
Agatha menghela napas.
"Baiklah. Bye Rindu."
Rindu hanya melambaikan tangan.
Mereka menghilang dari balik pintu, Rindu langsung mendekati Gavin mengambil tempat duduk Agatha tadi. Dengan perlahan memegang tangan lelaki itu.
"Rindu, apa benar kalian pacaran?" tanya Nagita.
Hanya ada mereka dan Gavin di sana. Ardian sedang keluar dan belum kembali hingga sekarang.
"Iya, tante."
"Lalu, kenapa kamu nggak minta Agatha menyingkir tadi? Kamu kan pacarnya Gavin."
Rindu terhenyak, pertanyaan macam apa itu.
"Dia sahabat kami, Tan. Selama ini, Agatha dan Gavin emang cukup dekat. Nggak mungkin Rindu egois dan minta dia menyingkir, sedang Agatha juga sangat mencemaskan Gavin."
Nagita tidak tahu terbuat dari apa hati Rindu itu.
"Kau ini, tante salut."
Gavin mendengar semuanya, perlahan dia membuka mata dan melihat Rindu menggengam tangannya.
Nagita dan Rindu masih sibuk mengobrol, Gavin tak yakin jika gadis itu benar-benar kekasihnya.
"Eh, Vin. Kamu udah bangun. Mama buatkan bubur kesukaan kamu. Lihat aku udah bawain di sini."
Nagita dan Gavin sendiri tampak heran.
"Bubur kesukaan? Jadi mama kamu suka buatin bubur untuk Gavin?" tanya Nagita.
Rindu mendongak.
"B-bukan begitu, Tan. Waktu kak Devon ke Singapura. Gavin pernah tidak masuk sekolah, katanya lagi sakit, pas mama tahu saya ingin jenguk Gavin. Mama buatin bubur, dan ternyata Gavin nggak sakit. Tapi, buburnya di habisin juga."
Nagita terkekeh.
"Anak bandel," Nagita membantu menyajikan makanannya.
"Ya, udah kamu suapin ya, tante keluar dulu sebentar."
"Baik, Tante."
Nagita sengaja meninggalkan mereka, agar Rindu bisa leluasa bercengkrama. Nagita sudah mempelajari pribadi pacar putra bungsunya itu. Dia type orang yang pemalu, dan gampang risih.
"Lo masih di sini, gua udah pura-pura tidur seharian buat nyingkirin orang-orang tadi, sekarang masih tersisa satu. Kenapa lo nggak pulang juga."
Rindu tersenyum. Dia mengeluarkan ponselnya dan mengambil gambar.
Cekrek.
"Apa-apaan sih! Pergi nggak."
Gavin ketus dan kasar.
"Em, rupanya beginilah kamu saat masih SMP, lucu juga. Bentar lagi kita akan kembali ke sekolah loh, kamu itu nggak bisa jauh dari tempat duduk aku. Udah aku usir pun tetep nempel. Gayanya jangan sok-sokan deh, mau ngusir lagi. Kamu mau aku ngambek dan nggak mau lihat kamu lagi, iya?"
Gavin mengernyit.
"Lihat," Rindu menyerahkan ponselnya. Dia memperlihatkan foto-foto kebersamaan mereka.
"Lihat tugas prakarya ini, ada banyak cowok yang ngajak aku bergabung, tapi semuanya mundur gara-gara kau mengatakan aku adalah pacarmu."
"Nggak mungkin," ucap Gavin tertawa.
"Dulu kita sahabatan, Vin. Lihat, kita ke pantai bareng, jalan-jalan bareng, ke pasar malam pun bareng."
Gavin menatapnya bingung. Tak ada satupun kenangannya dengan Rindu terekam di kepala.
"Nih, buka mulut. Aah."
"Aah,"
Hup.
Satu sendok bubur mendarat di mulutnya.
"Em," Gavin mengunyanya perlahan.
"Gimana, enakkan?"
Pemuda itu mengangguk.
"Lumayan,"
Gavin membuka mulut berharap Rindu menyuapinya lagi.
"Gavin, jangan naik motor lagi. Kau membuatku jantungan."
Gavin tertegun, di tatapnya wajah sedih di hadapannya.
"Mama papaku menerima undangan makan malammu. Kau ingin itu kan, kemarin saat aku nggak membalas pesanmu itu karena kaluargaku sedang berduka."
Rindu menyuapinya perlahan.
Kakimu akan segera sembuh. Aku akan mendampingimu."