Rindu tiba di rumah sebelum orangtuanya berangkat menuju ke rumah sakit. Ya gadis itu memutuskan pulang, tidak kuat berada di samping Gavin terus.
"Loh, Rindu. Mama sama papa baru aja mau berangkat," sambut Asyla di depan pintu.
Rindu masuk begitu saja tanpa salam dan jabat tangan. Gadis itu menuju ke kamarnya di lantai dua.
"Ndu, ada apa, Nak?" Asyla berusaha mengejar.
Kedua orangtuanya saling melirik. Heran, luar biasa. Tidak biasanya putri mereka lemas seperti itu.
Rindu tidak menjawab dan langsung menutup pintu kamar.
"Ada apa, ya Pa?" Asyla mendadak cemas.
"Mama ajak bicara dulu deh, biar papa tunggu di sini."
"Kok mama sih,"
"Iya dong, biasanya anak perempuan lebih terbuka sama mamanya."
Asyla menghela napas.
"Baiklah."
Wanita itu menyusul putrinya. Saat tiba di depan kamar. Dia mendengar suara tangis tersedu dari dalam.
Asyla membuka pintu perlahan. Dan melihat apa yang terjadi.
"Rindu sayang, ada apa?"
Asyla menutup pintu kamar rapat-rapat lalu mendekati putrinya untuk menenangkan.
"Mama, Gavin Ma."
Rindu sesuguhkan, tangisnya pecah di pelukan sang mama.
"Gavin kenapa?"
Rindu begitu sedih, Asyla jadi penasaran mendengar apa yang terjadi.
"Dia udah sadar semalam," ucapnya terguguh.
"Lalu, bagus dong. Terus kenapa kamu nangis?"
Rindu menatap Mamanya lekat.
"Dia nggak ingat sama Rindu, Ma. Dia lupa sama Rindu."
Asyla terkejut.
"Kok bisa?"
Tangis Rindu semakin berderai.
"Ush, ush, udah. Jangan nangis lagi."
"Terus aku harus bagaimana, Ma? Aku jelasin pun dia nggak percaya, dia malah meminta Rindu keluar karena telah menganggunya."
Gadis itu merasa sedikit lega setelah mengatakan semuanya.
Asyla menunggu sampai suasana hati putrinya berubah tenang.
"Sudah, Sayang?" tanya sang mama lembut.
Rindu mengangguk lemah, gadis itu menyeka sisa-sisa airmata yang menetes di pelupuk mata.
"Apa kamu merasa sakit karena Gavin memperlakukanmu demikian?"
Rindu mengangguk mengiyakan.
"Lalu, bagaimana keputusanmu, kau akan tetap menemuinya atau memilih meninggalkannya."
"Mama!"
Rindu tak habis pikir dengan pertanyaan itu.
"Mama hanya tidak ingin melihat kamu terluka, sekiranya sikap Gavin sangat melukaimu. Maka tinggalkan saja."
Rindu menggelengkan kepala. Dia sangat menyayangi Gavin walau lelaki itu kehilangan ingatannya.
"Ma, aku nggak akan nyerah hanya karena dia lupa sama aku. Lagi pula, penyebab dia seperti ini semua itu karena aku, Ma. Andai sore itu aku tidak marah padanya,"
Asyla terhenyak.
"Apa maksud kamu?"
Rindu menjelaskan apa yang telah terjadi kemarin sore. Asyla menutup mulutnya dan terkejut mengetahui Rindu telah nenampar wajah pemuda itu.
"Benturan di kepala Gavin sangat kuat, Ma. Itu sebabnya dia menderita geger otak. Kakinya juga cidera, Rindu benar-benar takut."
"Rindu, denger mama. Jangan pernah ceritakan soal ini pada siapapun, ngerti? Jika mama Gavin tahu, atau keluarga Gavin tahu. Mereka aka sangat marah sama kamu."
Rindu tertegun di tempatnya.
"Tapi, Ma."
"Diem, dan soal Gavin. Apa kau masih mencintainya walau nanti dia menjadi lelaki cacat."
"Mama,"
Asyla tak bisa membiarkan putrinya terus terpuruk.
"Sadarlah, Nak. Dengan Gavin lupa ingatan bukankah itu sangat baik. Kau tidak perlu merasa bersalah apabila meninggalkannya."
Rindu menggelengkan kepala.
"Aku nggak akan ngelakuin itu, Ma. Gavin sangat bersemangat membuat pertemuan keluarga karena dia sangat cinta sama Rindu. Hanya karena masalah seperti ini, mama bilang aku harus menjauh. Nggak!"
"Hidup itu harus realistis, Ndu."
"Aku yakin dia akan sembuh, tolong jangan katakan apapun lagi." Tangis Rindu kembali berderai.
Asyla menghela napas, dia pun keluar meninggalkan Rindu sendirian. Lama menangis di kamarnya, gadis itu tak sadar jatuh terlena karena kelelahan terjaga semalaman.
Dia ketiduran saat ponselnya terus berdenting. Teman-temannya sudah tiba di rumah sakit, mereka mencari Rindu namun Devon mengatakan.
"Rindu sudah tidak ada saat kakak kembali pagi tadi." Sontak saja, Erika dan yang lainnya terkejut mendengar itu.
"Kok bisa, Kak?"
"Entahlah. Ayo, silahkan masuk. Kebetulan Gavin baru aja bangun."
Erika dan Andra menuju ke sisi brangkar Gavin. Mereka sudah tahu jika pemuda itu telah kehilangan ingatannya. Andra berusaha memenangkan kepercayaan pemuda itu, agar Gavin yakin jika mereka bener-bener teman.
"Pagi, Bro. Gimana keadaan lo?" Andra menyalaminya dan duduk dengan santai.
Nagita menatap mereka bergantian.
Gavin menelisik satu persatu wajah itu.
"Ya, dia diam. Kenapa lu, sariawan!" candaan ringan yang selalu dia lontarkan saat mereka bersama.
"Ma!" seru Gavin meminta penjelasan.
Erika dan Andra benar-benar tak menyangka jika hal ini benar-benar terjadi.
"Dia temen-temen SMA kamu, Vin. Ada Agatha juga," seru Nagita.
"Ya, benar Tante. Ada Rindu juga pacar lo, dimana dia?"
Gavin merasa risih, mereka sangat asing dan sok akrab.
"Gue denger kaki lo cidera ya? Gue kebetulan ceritain ini ke orangtua, katanya berobat keluar negeri dengan pengawasan dari ahlinya. Akan membuat tulang lo nyatu. Lo akan bisa main bola lagi bareng gua nanti." Andra terus bicara, membuat Gavin mau tak mau menatapnya.
"Ma, dia berisik. Bisa tolong minta dia pergi."
Devon tertawa mendengar itu.
"Sialan lo, Bro. Biasanya juga lu paling berisik dari gue. Sok-sokan mau ngusir, eleeh!"
Nagita bingung harus bagaimana.
"Ma,"
Erika dan Andra saling menatap.
"Oke deh kita diam, terserah lu maunya apa asal jangan ngusir. Lo nggak kasihan apa, gua terobos hujan lebat demi elu."
Gavin pun terdiam. Erika kini tak berani mengajaknya bicara.
"Vin, minum obat dulu." Nagita meraih obat yang ada di sampingnya lalu menyerahkan satu persatu pada Gavin.
Agatha baru saja tiba dan membawa barang titipan.
Ceklek, pintu terbuka. Gavin selesai dengan obatnya lalu menoleh.
"Hay, sorry gue telat. Gila macet parah di jalan."
Erika dan Andra tersenyum menatapnya.
"Tante, ini barang titipan dari Bi Ira,"
Agatha menyerahkan paper bagnya.
"Terimakasih, Tha. Untung kamu udah bawain."
Agatha tersenyum tulus. Gadis itu menoleh ke Gavin yang tampak begitu terpesona.
"Hay! Lo udah sadar. Gimana, apanya yang sakit?"
Agatha bersikap sangat santai, seolah mereka adalah keluarga.
"Ma," ucap Gavin meminta penjelasan.
"Dia yang namanya Agatha, Vin. Dia temen kamu sekaligus tetangga kita. Kalian akrab banget sampai sering main gitar bareng kata Bi Ira."
"Nah, bener banget tuh. Lo lupa sama gue, sini biar gue cek dulu."
Agatha bertingkah seperti dokter, dia merasakan suhu di kening Gavin. Saat tangan gadis itu mendarat di kulitnya Gavin terdiam.
"Ah, untuk sementara kami hilang dari ingatan lo, tapi nggak masalah. Kami akan membuat kenangan yang jauh lebih indah dan banyak hingga memori lo penuh, iya nggak?"
Agatha meminta dukungan.
"Yoi dong," seru Andra dan Erika.
Gavin tampak meringis karena mereka terlihat banyak bicara.