Hampir satu minggu berlalu sejak pertemuan antara Flo dan Bian di hall gedung Graha. Selama itu juga Flo tidak pernah bertemu dengan Bian. Ada rasa lega yang Flo rasakan karena apa yang ia takutkan selama ini tidak menjadi kenyataan. Dugaannya tentang Bian yang akan mencoba mengganggunya selama bekerja tidaklah benar. Meski sejak saat tahu Bian menjabat sebagai pemimpin baru, har-hari yang dilalui Flo penuh ketakutan, tapi semuanya kini perlahan menghilang karena Bian tidak melakukannya. Ia jadi bisa fokus untuk menyelesaikan pekerjaan.
“Flo, kenapa kamu enggak cerita kalau ternyata kamu bekerja di perusahaannya nak Bian?” tanya Dayu disela-sela makan malam dengan putrinya. Malam ini Arga tidak ikut karena sedang lembur kerja dan pulang terlambat.
“Mama tau dari mana?” tanya Flo tenang karena ia sudah yakin Arga yang memberitahu ibunya.
“Arga yang bilang kemarin. Katanya kamu nggak suka kalau Bian jadi bos baru kamu, benar begitu?”
Flo mengangkat bahunya ringan. “Entahlah. Aku Cuma berharap aku nggak berurusan banyak sama dia. Apalagi kalau sampai teman-teman yang lain tau, mereka pasti berpikir kalau aku dapat kerja di sana karna koneksi dari Bian.”
“Apa Cuma itu alasannya? Mama curiga kalau sebenarnya kalian punya masalah sampai membuat kamu benci Bian.”
“Aku nggak benci tapi aku nggak suka sama dia, Ma,” ujar Flo terus terang.
“Sama saja, Flo. Memang kenapa kamu nggak suka sama dia?”
“Enggak suka aja. Dari awal kenal bawaannya nggak suka. Udah itu aja Ma, jangan tanya lagi alasannya apa. Setiap orang punya hak buat nggak suka tanpa harus ada alasannya.” ucapnya.
Dayu berdecak sambil menggeleng pelan mendengar kejujuran putrinya. “Dasar aneh. Mana bisa tidak suka tanpa ada alasannya. Cuma kamu aja yang seperti itu.”
“Ya pokoknya aku nggak suka sama Bian.” sahut Flo sebal kepada ibunya. “Udah ah Ma, jangan bahas Bian lagi. Enggak Mama nggak Arga, Bian lagi Bian lagi. Kayaknya si Bian pakai susuk makanya Mama dan Arga demen banget sama dia.”
“Hus! Ngawur kamu,” tegur Dayu. “Kalau Bian pakai susuk, kenapa kamu sendiri nggak suka sama dia?”
“Ya mungkin karna imanku kuat.”
Dayu mendelik putrinya yang bicara sembarangan. “Jadi menurut kamu, Mama dan Arga imannya nggak kuat? Nggak dekat sama Tuhan, gitu maksudnya?”
Flo salah tingkah karena mengatakan hal yang sensitif. “Maaf Ma. Aku asal ngomong kok, jadi jangan dimasukin ke hati ya.”
“Jaga ucapan, Flo. Jangan sampai apa yang keluar dari bibir kamu, menyakiti perasaan orang lain. Sejak kecil, Mama dan Papa selalu mengajarkan kamu untuk tidak menyakiti sesama lewat perkataan karna akan membekas di hati yang mendengar,” ucap Dayu, memberi nasihat kepada Flo.
“Iya Ma, aku selalu ingat itu. Sekali lagi aku minta maaf.”
Setelah selesai makan malam dan membantu ibunya membereskan peralatan makan, kini Flo tengah duduk di depan meja rias untuk melakukan skincare malam. Ia mengaplikasikan beberapa produk ke wajahnya agar memberikan hasil yang maksimal. Begitu rutinitas malamnya selesai, ia mengambil pakaian tidur yang ada di lemari pakaian.
“Pakai yang mana ya?” gumamnya yang bingung memilih piama.
Akhirnya pilihan Flo jatuh pada piama yang letaknya paling bawah. Setelah doraemon yang lama tidak ia gunakan semenjak pindah. Tangannya menarik pelan pakaian tersebut, namun tiba-tiba ia merasakan sebuah benda jatuh dari bawah tumpukan pakaian miliknya.
“Apa tuh yang jatuh?” tanya Flo pada dirinya sendiri. Pandangan matanya melihat ke bawah, mencari benda asing yang tidak ia ketahui wujudnya. Namun, begitu melihat kilatan cahaya yang samar di bawah kursi meja rias, Flo mencoba menghampirinya. “Cincin?”
Tangan Flo meraih benda berbentuk bulat tersebut. Warnanya putih dan tidak asing bagi wanita itu. Saat Flo memperhatikan, barulah ia sadar bahwa cincin itu adalah cincin emas putih yang pernah Nino berikan ketika mereka merayakan ulang tahun Flo untuk pertama kalinya. Namun, beberapa tahun kemudian Nino melamarnya dan akhirnya cincin itu terlupakan keberadaannya. Perasaan Flo campur aduk ketika melihat benda pemberian laki-laki yang sudah menyakiti hati dan seluruh hidupnya.
“Bahkan lihat benda yang pernah dia dikasih saja mampu membuat sakit hatiku muncul lagi. Kenapa harus sekarang atau kenapa benda ini harus muncul lagi disaat aku sedang berusaha keras melupakan apa yang sudah dia lakukan,” gumam Flo dengan tangan menggenggam erat cincin tersebut. “Besok harus aku buang. Buang yang jauh biar semuanya menghilang tanpa ada sisa lagi. Kenapa aku masih saja ingat soal dia sedangkan dia sudah bahagia dengan wanita itu?”
Tidak ada yang bisa Flo lakukan sekarang kecuali meletakkan apa yang ia temukan. Ia mencoba melanjutkan apa yang sebelumnya ia lakukan. Meski memori indah dan menyakitkan itu datang bersamaan, ia mencoba membesarkan hatinya kalau itu semua adalah takdir yang harus ia jalani.
Di kediaman Nugraha, sedang berlangsung makan malam bersama antara orang tua dan anak semata wayangnya. Ini adalah malam pertama Bian ikut menemani ayah dan ibunya makan malam. Sejak resmi menggantikan ayahnya, hampir setiap hari Bian pulang larut malam karena harus lembur menyelesaikan pekerjaan. Meski selama di Melbourne ia juga sempat bekerja di perusahaan asing, tapi tanggung jawabnya tidak sebesar tugasnya sekarang. Banyak orang yang bergantung pada perusahaannya dan banyak orang yang berperan penting memajukan perusahaan yang ia pimpin. Namun, Bian berusaha terus belajar meski kesulitan selalu ada disetiap jalannya.
“Kamu agak kurusan Bian? Apa makan siang kamu teratur selama seminggu ini?” tanya Gina.
“Aman Ma. Martin melakukan tugasnya dengan baik. Membantu pekerjaanku dan selalu ingat dengan jadwal makan siangku. Meski pekerjaanku banyak, pertemuan yang padat, tapi dia selalu ingat kalau aku juga butuh asupan tenaga,” jelas Bian dengan semangat.
Wisnu mengangguk puas dengan pekerjaan Martin. “Tidak salah kalau Martin ditraining keras sama sekretaris Papa. Dia siap saat kamu sudah mengemban tugas dan tanggung jawab perusahaan.”
“Terima kasih, Pa. Papa tidak menolak mentah-mentah usulanku dan memberi kesempatan untuk Martin membuktikan kemampuannya.”
Martin adalah adik kelas Bian saat SMA dan hubungannya cukup akrab karena sama-sama ikut organisasi. Pria itu seorang lulusan manajemen. Mereka sempat bertemu ketika Martin pergi ke Melbourne dan di sana Bian mengatakan akan pulang ke Indonesia untuk mengelola perusahaan ayahnya. Saat itulah Bian menawarkan pekerjaan kepada Martin karena ia cukup percaya dengan kemampuan teman lamanya itu. Martin yang tertarik akhirnya melakukan serangkaian tes untuk bisa menempati posisinya saat ini.
“Tapi kamu jangan lupa istirahat, Bian. Masa baru seminggu udah keliatan kurus.”
Bian tersenyum dengan keluhan ibunya. “Aku kurus bukan karna pekerjaan Ma karna aku juga jaga pola makan. Sekian lama di luar negeri, aku juga harus membiasakan perutku menerima makanan Indo yang kaya akan bumbu dan rempah.”
“Itulah kenapa Mama nggak setuju kamu berhubungan dengan Citra. Orang Indo kok nggak pernah masak makanan Indo. Memang dia nggak kangen sama makanan di sini? Sekali-sekali buat dong biar kamu juga bisa mengobati rindu,” gerutu Gina.
“Ma, jangan samakan di sini dengan di luar. Kalau di sini mau masak apa saja ya gampang belinya. Kalau di sana walaupun ada toko asia, belum tentu selengkap di sini. Lagian, Bian nggak pernah nuntut dia untuk masak karna Bian cari pasangan bukan cari tukang masak.”
“Tapi menantu Mama wajib bisa masak, Bian. Nenek kamu juga dulu mewajibkan menantunya bisa masak. Tante kamu semua bisa masak, karna kami terbiasa melayani suami,” jelas Gina semangat.
“Jangan menuntut terlalu banyak, Ma. Yang ada nanti aku nggak nikah-nikah karna harus ikut tradisi keluarga ini. Tradisi dulu dan sekarang beda. Kalau Papa mewajibkan istrinya bisa masak, sedangkan aku mewajibkan istriku hidup dengan bahagia tanpa tekanan dalam pernikahan kita.”
Ucapan Bian membuat Gina terdiam dengan tatapan kesal. Putranya selalu berhasil membantah argumennya dan selalu punya pembelaan diri. “Kamu ini dikasih tau susah sekali.”
“Lain kali jangan bawa Citra dalam pembicaraan kita, Ma.”
Wisnu berdeham, memberi tanda agar menghentikan perdebatan apalagi saat sedang makan. “Biarkan Bian memilih jalannya sendiri, Ma. Bukannya dia sudah menuruti Mama untuk tidak berhubungan dengan Citra?”
“Papa jangan bela Bian dong, kan Mama niatnya baik.”
“Sudah Ma, jangan diteruskan lagi ya. Kita selesaikan makan malam ini biar Bian bisa istirahat.”
Bian hanya tersenyum karena mendapat pembelaan dari ayahnya. Ia tidak bermaksud menjadi anak yang durhaka karena membantah keinginan sang ibu tapi ia hanya ingin menyampaikan pendapatnya sendiri mengenai kehidupannya kelak bersama istrinya.
Setelah selesai makan malam, kemudian bicara ringan dengan Wisnu mengenai perusahaan, saat ini Bian sudah berada di dalam kamarnya. Ia mengecek ponsel yang sengaja ditinggalkan di kamar agar bisa fokus bersama orang tuanya.
“Arga kirim apa nih?” Bian membuka pesan masuk dari Arga. Adik kembar Flo itu mengirim sebuah gambar yang tidak asing bagi Bian. Pria itu lantas tersenyum, lalu segera membalas pesan tersebut. “Kangen juga main game sama ini anak. Apalagi makan masakannya si Flo.”
Tiba-tiba Bian ingat dengan Flo. Wanita yang sempat terlupakan selama beberapa hari karena pekerjaannya. Bian menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuk, dengan kedua matanya menatap langit-langit kamarnya. Kenangan di malam itu kembali muncul. Bagaimana Flo begitu b*******h berada di atasnya. Membuka pakaian yang dikenakan hingga nyaris membuat Bian gila. Untung saja ia masih ingat kalau Flo adalah saudara Arga yang harus ia jaga.
Bian tersenyum membayangkan apa yang terjadi jika ia tidak segera sadarkan diri. “Bahkan aku masih ingat bagaimana halusnya kulitmu, Flo,” gumam Bian.
***
Pagi ini perasaan Flo sangat baik dan bersemangat. Ia datang bekerja tepat waktu tanpa takut bertemu Bian karena selama ini kekhawatirannya tidak menjadi kenyataan. Di atas meja sudah tersedia teh hangat dan beberapa potong biskuit sehat yang merupakan salah satu produk dari Graha Food. Selama bekerja, ia dan karyawan lain memang dimanjakan dengan beberapa produk makanan sehat dari perusahaan. Sebagai marketing terutama bagian promosi, setidaknya ia dan timnya pernah merasakan produk yang mereka pasarkan. Jika ditanyakan oleh klien, mereka bisa menjawab dengan jawaban yang wajar.
“Flo,” panggil Mirah di sebelah dengan suara berbisik.
Flo menoleh dengan mulut penuh berisi biskuit. Alisnya terangkat satu, memberi pertanda apa tujuan Mirah memanggilnya.
“Denger-denger, Bu Hamum mau ketemu Pak Bian dan katanya ada satu orang yang ikut mendampingi.”
“Terus?” Flo bingung dengan ucapan Mirah. “Ada masalah?”
“Lo nggak penasaran siapa yang diajak sama Bu Hanum?”
Flo menggeleng santai. “Yang jelas bukan gue secara gue anak baru di sini. Ya pasti orang kepercayaan Bu Hanum dong yang diajak. Emang bahas apaan?”
“Terkait pengunduran diri Bu Hanum.”
“Oh begitu,” Flo mengangguk paham. “Jadi sedih tiap inget Bu Hanum mau resign.”
Mirah bergerak lebih dekat dengan Flo agar bisa bicara dengan leluasa. “Gimana kalau elo aja yang ngajuin diri buat ikut.”
Kedua mata Flo membulat dengan saran dari Mirah. “Jangan gila. Gue nggak mau cari masalah atau menarik perhatian Bian. Gue semingguan ini udah bahagia banget nggak ketemu dia. Elo malah nyaranin gue masuk ke lembah kegelapan,” sindir Flo sebal.
“Kali aja elo pingin ngomong gitu sama Pak Bos.”
“Enggak! Makasih banyak deh.”
Pandangan mata Mirah menyapu ke sekitar, mencari keberadaan orang yang ingin ia sebut namanya. “Denger-denger, Inka ngefans berat sama Pak Bos. Kemarin gue denger dia pingin banget bisa bertatap muka dan bertegur sapa. Sampai dia bela-belain datang pagi buat cari tau kebiasaan Pak Bos datang jam berapa.”
Kening Flo mengkerut dengan mata menyipit. “Dia suka sama Pak Bos? Dia ngomong sama siapa? Jangan fitnah loh, entar elo dicap tukang gosip.”
Mirah mengangguk pelan. “Dia ngaku sendiri ke Niar kalau suka dan kagum, mereka ngomong berdua waktu ruangan lagi sepi. Pas gue masuk, eh pada diem.”
“Kok gue nggak tau?”
“Kan kemarin elo pergi sama Dante ke divisi keuangan waktu selesai makan siang,” jawab Mirah mengingatkan.
Setelah mendengar cerita Mirah, yang bisa dilakukan Flo adalah mengangguk pelan. Tidak ada yang salah dengan berita Inka suka dengan Bian. Bahkan ia akan sangat senang kalau Bian punya pasangan agar tidak mengganggunya dengan godaan konyol yang membuatnya sebal.
“Ya sudah, biar aja. Siapa tau Pak Bos suka sama tipe cewek kayak Inka. Kita nonton aja, toh nggak bikin rugi,” gumam Flo.
Mirah kembali ke tempat semula dengan raut kecewa. “Ah nggak seru. Harusnya elo cemburu, Flo.”
“Kenapa harus begitu? Jangan mulai lagi ya Mir, gue bosen denger lu bahas Bian.”
“Ya-ya-ya, capek juga debat sama lo yang susah buka hati.”
Flo tidak menanggapi celetukan Mirah karena memang begitu kenyataannya. Ia susah jatuh cinta, susah membuka hati dan susah percaya setelah ia dikhianati. Flo kembali melanjutkan pekerjaan tanpa mau memikirkan Bian.
Di ruangan Bian, sudah ada Hanum dan salah satu karyawan divisi marketing yang menemani yaitu Inka. Hamun mengajak Inka karena pertimbangan Inka paling lama dengannya dan kemampuannya juga cukup mumpuni. Tujuan Bian memanggil Inka hanya untuk berbincang santai mengingat Hanum akan resign di perusahaannya.
“Terima kasih karna sudah meluangkan waktu sibuknya untuk bicara singkat dengan saya.” ucap Bian begitu topik pembicaraan selesai.
“Sama-sama Pak Bian. Saya sangat beruntung bisa bicara langsung seperti ini dengan anda,” balas Hamun.
“Oh iya, ada yang mau saya tanyakan lagi. Tapi apa Inka bisa tinggalkan saya berdua dengan Ibu Hanum?” tanya Bian sambil menatap Inka yang duduk di sebelah Hanum.
“Bi-bisa Pak. Saya tunggu Ibu Hanum di luar,” jawab Inka gugup.
“Baik terima kasih.” Setelah Inka keluar dari ruangannya, Bian kembali menatap Hanum serius. “Selain Inka, apa ada karyawan lain yang berpotensi di divisi marketing?”
Hanum nampak berpikir sebelum menjawab. “Ada Pak, namanya Florensia dan belum telalu lama gabung dengan perusahaan kita. Tapi dia orang yang cepat tanggap, punya pengalaman marketing yang baik di perusahaan di Bali, mau belajar dan punya semangat tinggi,” jelas Hanum.
Mendengar nama yang disebut oleh Hanum, sontak membuat Bian tersenyum tipis. Ternyata dugaannya benar kalau Flo punya kemampuan yang bagus. “Baiklah Bu Hanum, terima kasih atas penjelasannya. Seperti yang saya katakan tadi, mohon siapan laporan kinerja dari tim anda sebagai bahan pertimbangan bagi Marketing Director yang baru dalam melakukan tugasnya bersama dengan tim marketing. Divisi anda sangat penting jadi saya harap, pengganti anda nanti bisa membawahi divisi ini dengan baik demi kemajuan perusahaan.”
Hanum mengangguk paham. “Baik Pak Bian, akan segera saya siapkan laporan yang anda minta. Kalau begitu saya pamit dan terima kasih atas waktunya.”
“Saya yang harusnya berterima kasih,” balas Bian dengan senyum ramahnya.
Setelah kepergian Hanum, kini Bian kembali ke tempat duduknya. Ia menyandarkan tubuhnya di kursi kerja yang empuk, kemudian menghela napas yang panjang. Sedetik kemudian ia tersenyum mengingat nama Flo. Ia masih tidak percaya kalau takdir membawanya pada sosok yang sangat tidak suka kepadanya.
“Wanita jutek itu memang pintar. Apalagi kalau diajak berdebat, aku selalu kewalahan.”
Sementara itu, di divisi marketing, para wanita sedang mengerumuni Inka karena penasaran dengan pertemuan langsungnya bersama bos baru mereka. Apalagi Inka nampak semringah ketika kembali ke ruangan.
“Gimana In, apa merk parfumnya Pak Bos?” tanya Lucy saat Hanum sudah masuk ke ruangannya.
“Yang jelas parfum mahal, soalnya wanginya enak banget,” jawab Inka malu-malu.
“Ih kok pipi kamu merah begitu? Memang ngapain aja sama Pak Bos?”
“Ya ngobrol aja.”
“Sama elo?”
Inka menggeleng. “Ya sama Bu Hanum dong, gue kan Cuma nemenin. Ya sesekali ditanya kesulitan yang kita alami di divisi ini.”
“Terus lo jawab apa?” tanya Dante.
“Ya gue jawab nggak ada.”
Semua kecewa karena tentu saja jawaban Inka tidak sesuai kenyataan. “Harusnya bilang kesulitan kita di sini bonus yang harus dinaikkan,” celetuk Dante.
“Eh! Bonus udah gede masih aja kurang. Jangan gitu, yang ada kerjaan kita jadi makin banyak,” sahut Inka.
“Sudah bubar-bubar. Ini masih jam kerja jadi mending pada fokus. Ngefans sama bos boleh tapi inget kalau jatuh sakitnya itu loh.” Kali ini Mirah yang bersuara, menyindir Inka yang seenaknya ngobrol sedangkan dia suka marah kalau yang lain melakukan hal yang sama.
“Nah bener tuh. Udah jangan ngayal bisa deket sama Pak Bian, yang ada sakit sendiri,” ucap Lucy.
Wajah Inka memerah saat mendapat sindiran pedas dari Mirah. Wanita itu tidak menanggapi tapi memilih untuk fokus dengan layar datar di hadapannya.
“Dasar, sok cakep.” gerutu Mirah.
Flo yang ada di sana hanya diam, menjadi pendengar yang baik. Lagi-lagi Bian yang dibahas. Sampai bosan telinganya mendengar orang mengagumi sosok pria itu. Untuk saat ini Bian memang menjadi idola baru di tempatnya kerja. Tampilannya seperti aktor korea, mampu membuat orang betah melihatnya.
“Udah jangan ikut campur kalau jadi dongkol sendiri.”
“Males gue sama dia. Belum tau aja kalau elo udah pernah bobo bareng sama si bos,” gumam Mirah tanpa rasa bersalah.
“Mirah!” seru Flo sambil berdiri hingga menarik perhatian yang lain.
“Kenapa Flo?” tanya Dante.
Pandangan mata Flo langsung panik melihat semua sedang menatapnya. Ia hanya bisa tersenyum canggung kepada yang lain. “Maaf, gue nggak sengaja. Nggak apa-apa kok, santai.”
Mirah menarik tangan Flo agar kembali duduk. “Sori, gue keceplosan.”
Flo menatap Mirah dengan tatapan membunuh. “Awas elo ngomong soal itu lagi, gue nggak mau temenan sama lo lagi.”
“Ampun Flo, sori deh.”