8. BIANTARA YANG SESUNGGUHNYA

2893 Words
Pandangan mata Flo tidak lepas dari orang yang ia panggil dengan sebutan Bian. Ocehannya memancing rasa penasaran Mirah yang duduk di sebelahnya. “Bian?” Mirah menutup mulutnya dengan menggunakan kedua tangannya. Ia ngeri dengan apa yang sedang ada di pikirannya mengenai maksud dari sahabatnya. “Jadi Bian dan Biantara adalah orang yang sama?” Flo mengangguk dengan tatapan kosong. Tubuhnya yang tadi tegang dan kaku, kini mendadak lemas. Ia seperti akan pingsan, membayangkan apa yang ada terjadi selanjutnya. Begitu nama Bian disebut sebagai pengganti Wisnu Nugraha sebagai CEO baru Graha Food, pandangan Flo langsung gelap dan tubuhnya hampir roboh. “Flo, elo baik-baik aja?” tanya Mirah khawatir sambil memegang tangan dingin wanita itu. Bahkan beberapa rekan yang lain menoleh singkat ke arah mereka. “Mir, kenapa lo nggak bilang kalau Bian yang gue ceritakan, adalah anak dari pemilik perusahaan ini?” tanya Flo dengan suara lemah bahkan nyaris tidak terdengar di telinga Mirah. “Hah?” Mirah tidak kalah terkejut. Pandangan mata Flo kini beralih ke samping, menatap Mirah yang juga terkejut sekaligus tidak percaya. “Mir, mulai hari ini mimpi buruk di dalam hidup gue akan dimulai. Bian yang gue hindari, kini ada di depan mata gue dan yang paling parah, dia atasan kita di tempat ini. Mau ditaruh di mana muka gue, Mir? Semuanya berantakan dan gue bisa jadi gila.” Apa yang dikatakan Flo semakin membuat mulut Mirah terbuka lebar. Ia saja terkejut apalagi Flo yang punya urusan dengan Bian. “Kok bisa?” tanya Mirah dengan suara cukup keras sampai semua menoleh. Mirah segera menutup mulut lalu menunduk untuk menghindari tatapan tajam ke arahnya. “Kalian kenapa, sih?” tanya Inka. “Enggak kok, kita Cuma syok liat anaknya Pak Wisnu,” sahut Mirah. “Bukannya elo udah tau anaknya Pak Wisnu kenapa bisa syok?” Inka masih janggal dengan ucapan Mirah. Mirah mulai panik, bingung mencari alasan. “Maksudnya liat secara langsung. Kan liatnya Cuma di internet aja.” Inka mengangguk sambil melirik Flo. “Wajahnya Flo sampai pucat gitu. Kayak tumben liat cowok ganteng,” sindir Inka. Flo tidak peduli dengan ucapan pedas Inka. Rasanya semua hal menjadi tidak penting karena kenyataan yang ada di depan matanya. “Udah Flo, jangan terlalu dipikirin. Bisa saja Bian nggak tau kamu kerja di sini, jadi santai saja.” “Elo nggak tau aja apa yang terjadi tadi pagi, Mir,” gumam Flo. “Emang ada apa?” “Kalian bisa diem, kan? Suara kalian berisik banget, malu diliat sama divisi lain,” lagi-lagi Inka mengoceh, memberi peringatan kepada Flo dan Mirah. Raut wajah Mirah mendadak murah dengan teguran Inka. “Iya-iya, kita diem!” Flo hanya menghela napas, tidak peduli dengan omelan Inka. “Nanti gue cerita, elo tenang aja.” Semua orang bertepuk tangan saat secara resmi Bian ditunjuk sebagai CEO baru di Graha Food. Tidak ada yang tidak antusias kecuali sosok Flo yang bertepuk tangan dengan wajah tidak b*******h. Saatnya Bian memberikan sambutan, menyampaikan beberapa hal terkait jabatan dan tanggung jawab baru yang ia emban. Berdiri di atas podium, pria itu menyapukan pandangan ke semua sisi. Ia cukup takjub melihat banyaknya karyawan yang bekerja untuk perusahaan milik ayahnya. Dari sini ia juga bisa melihat, Flo duduk di antara karyawan lain dengan wajah menunduk. “Aku penasaran, bagaimana perasaan Flo saat ini. Apa dia ingin mengumpat, marah, kesal atau justru pasrah dengan kenyataan kalau kita akan sering berjumpa.” ucap Bian di dalam hatinya. Begitu Bian menyampaikan pidatonya, semua orang diam. Seakan tersihir dengan gaya bicara Bian yang berwiba seperti ayahnya. Belum lagi mata para karyawan perempuan dimanjakan dengan visual yang sangat menawan. Tidak ada bagian yang tidak menarik yang ada di diri Bian. Jika boleh, mungkin karyawan perempuan akan berseru bahwa Bian adalah pemimpin yang memiliki visual sempurna. Flo memperhatikan Bian yang sedang bicara. Sosok yang ada di hadapannya terlihat sangat berbeda dari yang ia kenal sebelumnya. Bagaimana bisa sosok menyebalkan itu bisa berubah sangat dewasa dan berwibawa. “Benar-benar berkepribadian ganda,” gumamnya. “Apa Flo?” Wanita itu menggeleng. “Bukan apa-apa, Mir. Mending fokus biar acaranya cepat selesai.” Setelah menyampaikan pidato, Bian menghampiri kursi para karyawan dan menyapa mereka secara singkat. Pesan sang ayah, ia harus mengenal para karyawan karena tanpa mereka perusahaan tidak bisa berkembang pesat dan bertahan hingga sekarang di tengah gempuran pesaing baru. Bian menyapa dengan ramah bahkan menjabat tangan mereka meski tidak semua karena jumlah orang di hall cukup banyak. Tiba saat Bian menghampiri bagian divisi Marketing. Hanum berbicara singkat dengan Bian dan karyawan yang lain memperhatikan sambil terkagum-kagum dengan sosok Bian. Berbeda dengan yang lain yang ingin menarik perhatian Bian, ada Flo yang berusaha menyembunyikan diri. Hal ini disadari oleh Bian dan pria itu hanya bisa tersenyum karena gemas dengan tingkah Flo. “Saya harap, kita bisa bersama-sama memajukan perusahaan. Tolong sampaikan segala pemikiran cermerlang kalian karena divisi marketing berperan sangat penting untuk meningkatkan pendapatan perusahaan. Tanpa kalian, perusahaan ini tidak akan berjalan sesukses seperti sekarang,” ucap Bian sebelum pergi menyapa divisi selanjutnya. Flo yang mengangguk sambil menunduk, tidak sadar kalau Bian tepat ada di hadapannya. Wanita itu mengangkat wajah karena berpikir Bian sudah pergi. Namun begitu matanya bertemu pandangan dengan Bian, tubuh Flo melonjak kaget dan membuat rekannya yang lain menahan tawa. “Kenapa kaget?” “A-aa tidak apa-apa, Pak. Maaf Pak Bian,” ucap Flo sambil menahan malu. Bian tersenyum karena sudah sangat lama Flo tidak bicara sopan kepadanya. “Tidak apa-apa, santai saja,” ucap Bian lalu pergi dari hadapan Flo. Kini tubuhnya Flo terasa panas dingin. Napasnya juga berat dan jantungnya berdetak sangat cepat. Tidak hanya itu, ia juga menahan rasa kesal karena sikap yang ditunjukkan oleh Bian. “Bisa-bisanya dia bersikap seperti itu untuk menindasku secara halus. Awas aja Bian, kamu nggak akan bisa mempermaikan aku dengan jabatan kamu,” gerutu Flo di dalam hati. “Bisa-bisa kaget di hadapan bos baru. Saking terpesonanya, Flo hampir nggak sadarkan diri,” celetuk Dante. Kedua mata Flo membulat mendengar sindiran Dante. “Jangan sembarangan, aku kaget karna mikir beliau sudah pergi.” “Kaget karna ganteng juga nggak apa-apa, Flo. Gue sebagai cowok, mengakui kalau Pak Biantara itu ganteng dan macho.” “Terserah elo deh, Dan.” Setelah acara selesai, dengan cepat Flo pergi ke toilet yang ada di sekitar hall. Ia ingin menghirup udara yang bebas, menenangkan detak jantungnya serta menjernihkan pikirannya. Intinya Flo ingin menjauh dari tempat itu agar tidak menghirup udara yang sama dengan Bian. “Flo, tungguin dong. Jangan lari, nanti elo malah jatuh,” ucap Mirah mengingatkan dengan suara sedikit keras. Suara Mirah tidak digubris oleh Flo. Wanita itu segera masuk ke salah satu bilik, lalu menutup pintu dengan rapat. Ia duduk di atas closet yang tertutup. Hampir saja ia kelepasan dan menjerit di dalam sana. Untung saja masih tersisa kewarasannya sehingga mencoba untuk menenangkan diri. “Tenamg Flo, ini bukan akhir segalanya. Kamu nggak akan berurusan langsung dengan dia jadi intensitas kalian untuk bertemu pasti akan sangat kecil. Jadi jangan terlalu diambil pusing,” gumamnya sambil berusaha menarik napas, lalu mengembuskan pelan. Mirah menunggu Flo di depan toilet. Ia tidak ikut masuk karena cukup banyak yang masuk ke sana. Daripada memancing curiga orang-orang dan membuat Flo tidak nyaman, ia memilih menunggu di luar. “Kok bisa kebetulan begini, ya?” tanya Mirah pada dirinya sendiri. “Wah, jadi yang gue bilang beberapa hari yang lalu soal takdir mereka, ternyata memang benar?” Saat sibuk dengan pikirannya sendiri, Mirah dikejutkan dengan keluarnya Flo dari toilet. Wanita itu masih nampak tegang tapi tidak setegang sebelumnya. Mirah mengekor seperti anak kecil mengikuti ibunya. “Gue kira elo balik sama yang lain.” “Gimana mau balik Flo kalau kondisi lo bikin gue khawatir,” jawab Mirah. Langkah kaki Flo terhenti begitu menyadari bahwa di hadapannya tengah berdiri sosok Bian. Niatnya untuk menuju lift tertunda karena ia tidak ingin berurusan dengan Bian. Kebetulan lift karyawan dengan lift para petinggi letaknya bersebelahan sehingga mau tidak mau mereka pasti bertemu. “Astaga! Sepertinya hari ini hari yang buruk buat gue,” gerutunya. “Kenapa berenti?” “Ada Bian di depan lift utama. Kayaknya gue bakalan pakai tangga darurat.” Mirah mencari keberadaan Bian. Di waktu yang bersamaan, ternyata Bian tengah menatap ke arah ia dan Flo berdiri. “Percuma menghindar, karna si bos lagi liat ke arah sini.” Flo memutar bola mata sambil menghela napas kasar. “Rasanya pingin lenyap seperti buih.” Tangan Mirah menarik pelan blazer hitam yang dipakai Flo. “Jangan seperti ini karna bisa memancing curiga karyawan lain. Ayo ke sana dan sapa seperlunya saja.” Keduanya akhirnya berjalan mendekati lift. Begitu sampai, Bian masuk lebih dulu bersama dengan sekretarisnya. Pria itu tersenyum kepada Flo dan Mirah tanpa mengatakan sepatah kata pun. “Tuh kan, dia nggak akan seberani saat kalian nggak berdua. Sepertinya dia Cuma bercanda biar kamu kesel. Jadi lebih baik kamu juga bersikap biasa aja.” Terdengar Flo menghela napas panjang, berharap apa yang Mirah katakan benar. “Semoga saja ini pertemuan terakhir gue sama dia.” “Nggak jamin terkabul, Flo,” gumam Mirah yang langsung mendapat delikan. Mirah langsung salah tingkah, lalu meringis karena takut. “Amin Flo Amin, semoga doa kamu terkabul.” Setelah kejutan tadi siang yang dialami oleh Flo, kini ia bisa bernapas lega karena ternyata bisa dilewati tanpa bertemu dengan Bian lagi. Begitu jam menunjukkan waktunya pulang kerja, ia langsung bergegas pulang. Namun tujuan pulang Flo saat ini adalah apartemen milik Mirah. Mereka ingin bicara serius di sana tanpa ada orang lain yang mengganggu. Apartemen menjadi tempat yang tepat untuk membahas Bian sambil menikmati pizza dan minuman bersoda yang sudah mereka beli sebelum pulang. “Sekarang, elo jelasin ke gue, kenapa lo nggak cerita kalau Bian yang sempat seranjang sama gue adalah anaknya Pak Wisnu, Mir?” Begitu mendaratkan tubuh di atas sofa, Flo tidak tahan lagi untuk tidak bertanya. “Jangan menyembunyikan apa pun soal Bian atau Biantara.” “Sabar Flo, gue ambil gelas dulu untuk kita minum.” Tidak lama, Mirah datang dengan membawa gelas untuk minuman yang dibeli. “Buruan Mir,” pinta Flo tidak sabar. Mirah duduk di sofa, tempat Flo duduk. Ia mengambil posisi yang nyaman sebelum menjawab pertanyaan wanita di sebelahnya. “Flo, gue nggak pernah tau Bian yang elo ceritakan adalah Biantara anaknya Pak Wisnu. Elo juga cerita soal Bian kan Cuma beberapa kali dan yang paling baru ya kejadian beberapa waktu yang lalu. Lagian selama ini gue nggak pernah liat wujudnya Bian yang bobo bareng sama lo. Gue juga nggak inget-inget amat sama anaknya Pak Wisnu. Jadi berenti menuduh gue kalau gue sengaja nggak bilang soal Biantara.” “Lo nggak bohong, kan?” tanya Flo yang masih curiga dengan Mirah. “Siapa tau kalian sekongkol buat nipu gue.” “Astaga! Pikiran lo jahat banget sama gue. Kayak baru kenal sebulan dua bulan aja sih, Flo? Emang untungnya gue bohong apa? Kalau gue kenal Bian, udah duluan gue sikat dia.” Kedua tangan Flo mengusap wajahnya karena sedang bingung dan frustrasi dengan situasi saat ini. “Gue inget waktu dia nanya di mana gue kerja. Jadi saat itu dia tau kalau gue kerja di perusahaan bokapnya. Pantes aja tadi pagi dia dengan percaya diri bilang kalau kerja di Graha. Padahal gue mikir dia bakalan jadi pengganti Bu Hanum, nyatanya dia anak pemilih Graha Food.” “Jangan-jangan Arga udah tau dari awal tapi sengaja nggak bilang,” celetuk Mirah. Flo menatap Mirah, mencerna apa yang terlontar dari mulut sahabatnya. “Elo bener, kenapa gue nggak kepikiran ke arah sana ya?” “Mending elo coba tanya, apa Arga memang tau dari awal atau enggak. Tapi ya, kalau pun Arga tau dari awal, ya elo juga nggak bisa protes. Malahan dia bakalan curiga kenapa elo sangat menghindari Bian yang dikenal sangat baik sama adik lo. Enggak mungkin kan lo bilang sama Arga kalau kalian sempat tidur bersama walaupun nggak sampe making love. Bisa panjang urusan, Flo.” “Tapi gue tetep nggak terima kalau Arga nggak jujur. Harusnya dia bilang jadi setidaknya gue nggak kayak orang bego nanya si Bian kerja apa di Graha Food. Lo enggak tau gimana perasan gue saat Bian ngeremehin gue karna kenyataan bahwa dia adalah bos kita. Gue malu banget,” gumam Flo sedih. “Kenapa sial gue belum ilang juga, sih? Apa perlu mandi kembang tujuh rupa biar hal buruk pergi dari hidup gue?” teriaknya frustrasi. Tangan Mirah terulur, menepuk pundak Flo yang kini tertunduk lemas membayangkan pikiran negatifnya menjadi kenyataan. “Sabar ya, Flo. Jangan terlalu menebak semuanya negatif. Menurut gue, Pak Bos yang baru memiliki sikap yang baik dan nggak mungkin berniat jahat. Kalau saja dia berniat jahat, malam itu dia pasti nggak akan lepasin lo yang lagi mabuk. Jarang ada laki-laki yang tahan dengan godaan, Flo. Ya walaupun dia udah liat dua benda keramat yang ada di badan lo.” “Mirah! Jangan ingetin gue lagi soal kejadian malam itu.” teriak Flo sebal. Setelah mengeluarkan perasaan galaunya di apartemen Mirah, kini Flo sudah sampai di rumahnya dengan menumpang taksi. Tujuan pertama setelah sampai adalah mencari keberadaan Arga, untuk menuntut penjelasan mengenai kebenaran soal Bian. Sambil menahan emosi, ia menutup pintu pagar. Pandangan matanya tertuju pada mobil hitam yang parkir di garasi mungil rumah mereka. “Untunglah dia sudah pulang jadi aku bisa langsung nanya soal Bian. Awas saja kalau dia sengaja merahasiakan ini, habislah kamu Arga!” gerutu Flo sambil mengepalkan tangan. Begitu membuka pintu yang tidak terkunci, kakinya langsung melangkah menuju tangga. Namun, suara Dayu menghentikan Flo yang sedang tergesa-gesa. “Flo, kenapa pulang malam?” Flo menoleh ke arah dapur. Ia tidak sadar kalau ibunya ada di sana. “Ma? Maaf tadi aku ke tempatnya Mirah dulu. Lupa kasih tau Mama.” “Lain kali kasih kabar biar nggak khawatir. Mama juga telpon tapi nggak kamu angkat.” “Memang di silent, Ma. Maafin aku ya karna bikin Mama khawatir,” ucap Flo merasa bersalah. Dayu mengulas senyum sembari mengangguk pelan. “Iya sayang. Sekarang mandi dulu, setelah itu kamu makan. Mama dan Arga sudah makan duluan karna kamu pulangnya terlambat.” “Iya Ma, aku naik dulu ya.” “Iya sayang.” Setelah selesai bicara dengan Dayu, kini Flo kembali melanjutkan tujuannya yaitu pergi ke kamar Arga. Langkah kakinya yang lebar membuatnya cepat sampai di depan pintu kamar milik sang adik. Tanpa menunggu lama bahkan tanpa mengetuk lebih dahulu, tangan wanita itu dengan sigap menekan gagang pintu dan segera mendorongnya. Terlihat reaksi Arga yang kegat dengan kehadiran Flo tanpa adanya peringatan. “Flo? Bisa ketuk pintu dulu, kan? Gimana kalau aku lagi ganti baju, mau tanggung jawab?” tanya Arga kesal. Flo menghampiri Arga yang berbaring sambil memainkan ponsel. Ditatapnya Arga dengan tajam karena ia merasa sudah hampir meledak. “Arga, sejak kapan kamu tau kalau Bian adalah anak dari pemilik perusahaan tempatku kerja?” Arga diam mendengar pertanyaan Flo. Perlahan ia bangun dari tidurnya, lalu meletakkan ponsel yang ia pegang. “Jadi kamu sudah tau?” “JAWAB ARGA,” tanya Flo kembali dengan penuh penekanan. “Mungkin sejak seminggu dua minggu kamu kerja. Aku tau karna nggak sengaja liat salinan kontrak kerja kamu. Liat nama keluarga Nugraha, aku jadi inget sama Mas Bian. Jadilah aku cari infonya dan benar kalau kamu kerja di perusahaan keluarga Nugraha,” jelasnya. “Kenapa nggak pernah cerita, Ar? Bahkan setelah Bian datang ke rumah ini dan nanya aku kerja di mana.” “Bian juga taunya saat pertama ke sini, Flo. Aku memang lupa kasih tau kamu karna menurutku nggak penting. Aku pikir kamu akan sadar sendiri, eh taunya nggak.” ujar Arga. “Emang masalah ya kalau ternyata Mas Bian adalah anak dari bos kamu?” “Kamu tau kan aku nggak mau berurusan sama dia. Kalau bisa nggak mau ketemu sama dia. Dan kamu tau, pagi ini dia memperkenalkan diri sebagai CEO baru, gantiin bokapnya. Aku malu Arga karna aku bilang sama dia, berharap nggak akan ketemu lagi,” ucap Flo dengan wajah frustrasi. Arga menghela napas, sambil menggeleng pelan. “Makanya Flo, jangan benci orang terlalu berlebihan, nanti malah kualat. Sekarang terbukti kan apa yang aku dan Mama bilang beberapa hari yang lalu. Lagian salah Mas Bian apa sampai kamu benci dia? Nggak ada, kan? Kamu yang terlalu menutup diri sama laki-laki hanya karna trauma yang dibuat oleh cowok b******k bernama Nino itu.” Flo menghentakkan kakinya karena kesal. “Jangan nyebut nama dia lagi. Pokoknya aku sebel banget sama kamu dan Bian. Kalian jahat karna menyembunyikan fakta yang sebenarnya dari aku.” “Udah kali Flo. Mau Mas Bian bos kamu tau Mas Bian orang biasa, nggak akan ngaruh buat kamu. Sekeras apa pun kamu menghindar tapi kalau Tuhan membuat garis jodoh diantara kalian, ya kamu nggak akan bisa berbuat apa-apa. Jadi coba nikmati dan jangan emosi karna bisa bikin kamu darah tinggi, terus kulit keriput” ucap Arga lalu kembali memainkan ponselnya. “Dasar nyebelin!” ucap Flo lalu pergi dari kamar Arga karena merasa percuma bicara dengan adiknya. Flo menutup pintu kamarnya dengan keras, lalu menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. Ia tidak peduli jika ibunya kaget atau bertanya apa yang terjadi. Malam ini ia akan tidur lebih cepat, berharap saat besok ia terbangun, apa yang terjadi hari ini hanyalah mimpi buruk baginya. Berharap Bian bukan anak dari pemilik Graha Food. “Biantara Nugraha! Kamu menyebalkan!” teriak Flo namun suaranya tertutup degan bantal sehingga tidak menimbulkan kecurigaan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD