10. MENGUJI EMOSI

2965 Words
Sarapan pagi buatan Dayu selalu membuat Flo lahap. Seperti pagi ini ibunya membuat wonton soup atau sup pangsit karena suhu pagi cukup dingin. Jika sarapan yang hangat, otomatis akan membuat tubuh menjadi nyaman. Yang awalnya malas untuk melakukan aktivitas, kini berubah menjadi semangat. Flo sarapan bersama ibunya dan Arga masih belum muncul untuk bergabung. “Flo, pagi ini naik kendaraan umum lagi?” tanya Dayu yang menuangkan jus tomat dan wortel buatannya ke gelas untuk diberikan kepada putrinya. Flo mengangguk tanpa ragu. “Seperti biasa, Ma.” Jawabnya sambil menerima jus dari sang ibu. “Makasih, Ma.” “Sama-sama. Kamu nggak ikut sama Arga saja. Toh kalian searah dan berangkat kerja hampir barengan.” “Tergantung Arga, Ma. Apa dia ada urusan dulu ke tempat lain atau langsung ke tempat kerja.” Dayu mengangguk paham. “Flo, apa nggak sebaiknya beli mobil saja. Mama rasa itu ide bagus karna kamu jadi nggak perlu berdesakan di angkutan umum, atau khawatir kalau pulang malam. Mama juga jadi lebih tenang, Flo.” “Iya Ma, nanti aku pertimbangkan lagi. Lagian aku juga belum lama kerja, jadi sambil nunggu bonus keluar juga. ” jawab Flo. “Pagi semua,” sapa Arga semangat. “Pagi!” jawab Flo dan Dayu bersamaan. Arga memperhatikan menu sarapan yang dimakan oleh kakaknya. “Wah, kayaknya enak nih.” “Mama ambilin wonton soupnya dulu.” “Oke Ma.” Pandangan Arga tertuju pada Flo yang duduk di hadapannya. “Flo, gimana kerjaan kamu, aman?” Kening Flo langsung mengkerut karena pertanyaan tidak biasa adiknya. Matanya menyipit sambil terus mengunyah pangsit yang lezat. “Aman, memang kenapa?” “Nggak dikerjain sama Mas Bian, kan?” Flo menggeleng santai. “Enggak. Kenapa sih nanya aneh banget? Memang kamu nyuruh dia buat ngerjain aku?” “Tuh kan apa aku bilang. Mas Bian baik, nggak seperti yang kamu bayangkan, Flo. Tuduhan kamu sama sekali nggak mendasar,” jawab Arga semangat hingga membuat Flo terkejut. “Mana mungkin dia gangguin kamu sedangkan dia punya jabatan penting. Dia tau kapan bercanda kapan serius. Jadi kamu berenti berpikiran buruk soal dia.” “Ini Ar, makan sampai habis,” Dayu menyela untuk memberikan wonton soup kepada putranya. “Makasih Ma,” ucap Arga senang. “Sama-sama.” Dayu kembali duduk dan bergabung dengan kedua anaknya. “Mama juga berpikir begitu. Bian anak baik tapi kenapa Flo tidak suka sama dia.” Cepat-cepat Flo menghabiskan makanannya, setelah itu minum air putih. “Aku sudah selesai. Aku berangkat duluan ya,” ucap Flo sembari beranjak dari duduknya. Arga dan Dayu kaget melihat Flo yang berdiri. “Eh kenapa udah selesai, sih? Nggak nambah?” tanya Arga. “Udah kenyang,” jawabnya. “Aku berangkat ya, Ma.” Ucap Flo lalu mencium ibunya sebelum pergi. Dayu mengangguk pelan. “Hati-hati sayang.” “Pasti dia sengaja cepet-cepet pergi karna kita bahas Mas Bian, Ma.” ujar Arga begitu Flo pergi dari rumah. “Kamu sih malah ngomongin Bian.” Kening Arga mengkerut karena disalahkan oleh ibunya yang tadi juga ikut melakukan hal yang sama. “Mama juga ikutan, jadi ini salah kita berdua.” “Tapi Mama heran kenapa Flo benci Bian, seolah Bian pernah melakukan kesalahan sama Flo.” “Kesalahan apa, Ma?” “Apa mungkin Bian menolak cintanya Flo?” Dugaan Dayu sontak memancing tawa Arga. Imajinasi sang ibu sungguh di luar dugaan. “Ma, selama ini Flo kan punya pacar. Mana mungkin dia tertarik dengan cowok lain, kan itu namanya selingkuh. Sedangkan kenyataannya Flo sangat membenci perselingkuhan. Lagian mereka ketemu bisa dihitung dengan jari, jadi mana mungkin keduanya terlibat perasaan. Bian juga dulu punya pacar, kan.” “Benar juga ya, kenapa Mama bisa mikir begitu,” gumam Dayu yang heran kepada dirinya sendiri. “Tapi Mama setuju kan kalau misal Flo ada hubungan spesial dengan Mas Bian?” Dayu tersenyum. “Arga, siapa pun laki-laki yang Flo pilih, asal dia bahagia dan tidak menyakiti anak Mama, ya siapa yang tidak setuju. Bukan hanya Bian, siapa pun orangnya, Mama serahkan urusan pasangan kepada Flo sendiri. Mama bertugas mendukung dan mendoakan.” “Aku kira Mama ngarep Flo bisa berjodoh sama Mas Bian.” “Mama tidak mengharapkan siapa pun karna Mama tau Tuhan punya pilihan terbaik untuk Flo atau pun untuk kamu. Mama nggak mau Flo seperti kemarin. Hampir saja Mama kehilangan putri Mama karna dikhianati orang yang dia cintai,” ucap Dayu dengan perasaan sedih. Melihat raut wajah Dayu yang sendu, Arga segera menyentuh punggung tangan sang ibu. “Mama tenang saja. Aku akan jaga Flo sebaik mungkin dan aku nggak akan biarin ada laki-laki b******k yang nyakitin dia.” Ucapan tulus Arga menyentuh hati seorang Dayu. Putranya persis suaminya yang selalu berusaha menenangkannya. “Iya Arga, terima kasih karna kamu berusaha melakukan yang terbaik untuk Mama dan Flo, seperti yang dulu Papa kamu lakukan.” “Karna aku Cuma punya Mama dan Flo, jadi akan aku jaga milikku dengan baik,” ucap Arga. Bian terlihat tergesa-gesa menghabiskan sarapannya. Pagi ini ia harus menghadiri pertemuan dengan klien penting dari luar negeri. Ia tidak ingin memberi kesal buruk disaat pertemuan pertama mereka. Apalagi mempertaruhkan nama baiknya sebagai CEO baru. “Ma, Pa, sepertinya mulai hari ini aku akan tinggal di apartemen. Jarak rumah dan kantor cukup jauh kalau dibandingkan jarak apartemen ke kantor. Jadi biar hemat waktu dan aku juga nggak terlalu capek, sebaiknya aku tinggal di sana saja,” ucap Bian. “Kenapa mendadak, Bian?” tanya Gina. “Sudah aku pikirkan beberapa hari yang lalu, tapi baru sempat bilang sekarang. Apartemennya juga sudah dibersihkan sama petugas yang disewa Martin dan sudah siap untuk ditempati,” jelasnya. “Lalu pakaian kamu gimana?” “Tenang saja, semua sudah aku siapkan. Di apartemen juga sudah ada beberapa pakaian jadi Mama tenang saja.” Gina melihat suaminya untuk memberi tanggapan. “Gimana Pa?” “Gimana apanya, Ma? Ya biar saja, Bian melakukan apa yang menurutnya baik. Kalau pilihannya membawa dampak positif, ya silakan saja.” “Padahal Mama senang kamu tinggal di sini karna jadi sering ketemu,” gumam Gina sedih. Bian tersenyum saat wajah ibunya terlihat tidak bahagia. “Tenang saja, aku pasti pulang. Weekend atau kalau pekerjaanku tidak terlalu banyak, aku pasti jenguk Mama dan Papa.” “Janji ya, jangan lupa.” Pria itu mengangguk pelan. “Janji Ma.” *** Flo baru saja kembali dari basement untuk membeli kopi. Ia berjalan sendiri tanpa Mirah yang biasanya selalu ikut. Saat ia berjalan menuju lift, ia memperhatikan dari belakang seorang wanita yang berjalan tidak nyaman. Merasa penasaran akhirnya Flo mendekat dan mencari tahu apa yang terjadi. Bukannya ia ingin ikut campur urusan orang lain, hanya saja setiap ia melihat wanita yang seumuran dengan sang ibu, ia selalu merasa iba. “Permisi Tante, ada yang bisa saya bantu? Sepertinya kaki Tante kurang nyaman.” tanya Flo tanpa melihat wajah wanita tersebut. Wanita itu berbalik badan, melihat siapa yang mengajaknya bicara. “Oh terima kasih. Waktu sampai di parkiran, tiba-tiba sepatu yang saya pakai talinya lepas jadi saya ganti dengan yang di mobil. Tapi ternyata yang di mobil sudah tidak muat tapi tetap saya paksa saja pakai yang ini,” jawabnya. Begitu Flo melihat wajah wanita yang ia ajak bicara, tubuhnya mendadak tegang. Suhu ditubuhnya menjadi panas dengan wajah sepertinya terbakar. Bagaimana tidak bereaksi berlebihan karena yang ada di hadapannya adalah istri dari Wisnu Nugraha yaitu Gina Nugraha, yang tidak lain ibu dari Biantara Nugraha. Apalagi ia dengan tidak sopan menyapa dengan sebutan tante, bukan Ibu Gina. Ia bukannya menyesal karena sudah peduli tapi ia malu karena tidak sopan. “Ibu Gina? Maaf kalau saya lancar memanggil ibu dengan panggilan tante. Saya benar-benar minta maaf karna saya tidak hati-hati,” ucap Flo sambil membungkuk untuk mengutarakan permintaan maaf tulus. Gina yang kaget langsung memegang kedua lengan Flo. “Tidak apa-apa, kamu tidak salah. Kenapa harus minta maaf, apa salahnya kamu panggil saya tante.” “Tapi Ibu Gina istri dari pemilik…” “Tidak apa-apa, saya tidak gila hormat,” ujarnya. “Terima kasih karna kamu perhatian kepada orang yang tidak kamu kenal.” “Iya karna saya liat Ibu Gina jalannya kesusahan. Kalau tidak keberatan, saya ada sepatu di loker dan masih baru karna hadiah dari teman saya. Saya memang biasanya taruh sebagai jaga-jaga. Kalau Ibu mau, saya bisa ambilkan itu. Kaki ibu bisa luka kalau dipaksa pakai sepatu yang tidak nyaman.” Merasa sudah basah, akhirnya Flo mencoba menawarkan bantuan. “Boleh, kalau kamu menawarkan.” Gina membuka sepatunya dan melihat jari kelingkingnya sudah luka karena sepatu yang sempit. “Sepertinya ukuran kaki kita sama.” “Ibu Gina mau tunggu di mana biar saya ambilkan dulu di loker?” “Saya tunggu di lobi, bagaimana? Kalau saya tunggu di ruangan anak saya, takutnya dia marah karna saya pinjam sepatu dari karyawannya,” ujar Gina sambil tersenyum kecil. “Baik Bu, saya ambilkan dulu. Saya tidak akan lama-lama.” “Baik, terima kasih ya.” Dalam perjalanan menuju loker yang ada di ruangan divisi marketing, Flo berusaha memikirkan kembali apa yang sudah ia lakukan. Harusnya ia tidak menawarkan bantuan atau harusnya ia tidak menyapa istri dari pemilik Graha Food. Meski tanggapan Gina sangat ramah, tapi apa kata karyawan lain jika tahu apa yang sudah ia lakukan. Pasti ada sebagian yang akan berpikir bahwa ia sedang mencari muka. Flo benar-benar pusing memikirkan tindakan sembrononya sendiri. “Semoga urusannya nggak jadi panjang. Semoga Bu Gina nggak nanya nama dan di divisi apa aku bekerja. Ya Tuhan, niatku Cuma mau bantu bukan mau cari masalah,” gumam Flo dalam hati. Flo meletakkan kopi yang dibeli di atas meja kerja. Saat Mirah bertanya akan pergi ke mana, Flo tidak menjawab. Ia segera pergi untuk menghampiri Gina karena takut membuat wanita itu menunggu terlalu lama. “Maaf Ibu Gina kalau saya terlalu lama,” ucap Flo dengan napas sedikit tersengal. Gina menggeleng sambil tersenyum. “Tidak apa-apa.” “Ini Bu sepatunya dan semoga cukup.” Flo menyerahkan paper bag berisi sepatu hadiah dari Mirah ketika pertama kali ia resmi bekerja di Graha Food. “Terima kasih ya. Biar saya coba dulu.” Pandangan mata Flo menyapu ke sekitar. Sudah bisa ditebak, kini beberapa orang sedang melirik ke arahnya karena berinteraksi dengan wanita penting di perusahaan ini. Flo benar-benar malu dan tidak enak, berharap mereka tidak salah paham atau menganggapnya sengaja mencari perhatian Gina. “Wah, pas sekali. Rasanya nyaman dan kelingking kaki saya tidak sakit.” ucap Gina senang. Flo tersenyum lega sekaligus sedikit canggung. “Syukurlah kalau cukup.” Gina mendekati Flo lalu menyentuh lengannya dengan lembut. “Terima kasih atas bantuannya ya. Jarang ada yang punya sikap tulus dan peduli seperti kamu. Semoga kebaikan kamu di balas oleh Tuhan.” “Amin, sama-sama Bu Gina.” “Sepatunya akan saya kembalikan segera. Tidak apa-apa kan sepatu barunya saya yang pakai lebih dulu?” Flo menggeleng cepat. “Tidak apa-apa, Bu.” “Ya sudah, saya permisi dulu ya. Saya harus ke ruangan anak saya.” “Baik Bu, silakan.” Seketika Flo bernapas lega karena Gina tidak menanyakan namanya. Untung saja ia segera mengantongi id card sebelum membawa sepatu untuk wanita itu. Sambil menatap Gina yang mulai menjauh, akhirnya Flo bisa terbebas dari rasa takutnya. Namun, dugaan Flo meleset karena Gina menghentikan langkah, kemudian perlahan memutar badan dan menatap Flo. Wajah Flo kembali tegang, menduga-duga apa yang ingin Gina lakukan. Flo melihat Gina melambaikan tangan, memberi isyarat agar ia mendekat. Tanpa menunggu lama, Flo berjalan menghampiri wanita itu. “Kenapa Bu?” “Saya lupa, siapa nama kamu?” “A-aa nama saya Florensia,” jawab Flo terbata-bata. “Florensia? Baiklah, biar nanti saya mudah mengembalikan sepatu milik kamu.” Flo mengangguk kaku sambil berdoa semoga ia tidak mendapat masalah. “Baik Bu Gina.” Begitu sampai di ruang marketing, Flo menjatuhkan tubuhnya yang lemas. Niat hati sudah senang, apa daya semuanya malah berubah. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. “Flo, lo dari mana sih? Ditanya malah langsung pergi?” tanya Mirah. Lagi-lagi Flo menghela napas panjang. “Pokoknya niat berbuat baik malah bikin susah diri sendiri.” “Maksud loh?” Flo memberi isyarat agar Mirah mendekat dan mendengar bisikannya. “Gue abis ketemu sama Ibu Gina di lobi.” “Hah?” suara Mirah yang keras menarik perhatian rekannya yang lain. Dengan cepat tangan Flo membekap mulut sahabatnya agar tidak bereaksi berlebihan. “Kalau elo heboh, mending gue nggak jadi cerita.” “Oke maaf, gue pasti diem.” Sambil berbisik dan hati-hati, Flo mencoba menceritakan apa yang sudah ia alami barusan. Mungkin terkesan berlebihan bagi yang tidak mengalami tapi Flo memang merasa tidak nyaman setelah kejadian tersebut. “Lo nyesel bantuin Bu Gina?” tanya Mirah hati-hati. Flo mengangkat bahunya pelan. “Bukan nyesel bantu sih tepatnya, tapi gue nyesel nyapa. Tau deh, gue pusing mikirin hal yang selalu saja berhubungan sama Bian.” “Gue makin yakin kalau elo dan dia berjodoh.” Flo langsung mendelik Mirah atas ucapan ngawur sahabatnya. “Jangan mulai atau gue nggak akan pernah cerita lagi sama elo soal apa pun.” “Oke-oke, gue bercanda. Udah jangan dipikirin, nasihat yang sama akan selalu gue katakan saat elo galau. Ingat, di perusahaan ini ada banyak karyawan dan gue yakin ada yang namanya sama dengan elo. Dia nggak tau elo dari divisi marketing kan jadi gue yakin Ibu Gina nggak akan inget sama elo. Percaya sama gue karna nyokap gue punya sifat pelupa saat seumuran dengan Bu Gina.” “Elo yakin?” tanya Flo ragu. Mirah mengangguk semangat. “Gue yakin dan lo harus yakin, oke?” Flo menyesap ice coffee yang tadi ia beli. Rasanya sudah hambar karena bercampur dengan es yang mencair. “Kali ini gue percaya sama lo, Mir.” “Udah santai aja. Buruan lanjut kerja karna nanti malam kita kudu lembur.” “Iya-iya.” Di sebuah ruangan yang memiliki desain minimalis namun tetap modern, sedang duduk Bian yang menyambut kedatangan ibunya. Pria itu mendengarkan cerita Gina mengenai karyawan yang berbaik hati meminjamkan sepatu kepada wanita itu. Awalnya Bian hanya menanggapi biasa saja, tapi saat Gina menyebut nama Flo, rasa penasaran Bian langsung muncul. “Mama tau Flo itu siapa?” tanya Bian setelah sang ibu menyelesaikan ceritanya. “Siapa Bian?” “Flo adalah kakak dari Arga, Ma. Mama ingat Arga kan adik kelasku waktu kuliah, sempat bertemu dengan Mama juga.” Wajah Gina menampakkan raut terkejut sekaligus tidak percaya. “Ya Tuhan, jadi Florensia adalah kakak kembarnya Arga?” Bian mengangguk. “Benar Ma.” “Pantas saja rasanya Mama tidak asing liat wajahnya. Dia anaknya baik dan sangat sopan.” “Mama benar. Meski besar tanpa kasih sayang dari ayahnya dan hanya tinggal dengan ibunya, mereka benar-benar tumbuh jadi orang yang baik, rendah hati dan sangat sopan. Makanya aku cukup awet temenan sama dia. Arga sudah aku anggap adikku sendiri.” “Lain kali undang keluarga Flo untuk makan malam di rumah. Sekalian sebagai ucapan terima kasih Mama kepada Flo,” ucapnya. “Baik Ma, tunggu kerjaanku agak berkurang dulu,” sahut Bian. Begitu berkas terakhir selesai ia periksa, kini Bian tengah berjalan melihat ruangan beberapa divisi yang lampunya masih menyala terang. Tanpa ditemani Martin karena pria itu sedang menyelesaikan tugasnya, Bian berjalan dengan santainya. Pandangan matanya tertuju pada ruangan yang masih terang, yang ia tau itu adalah ruangan milik divisi marketing. Bian penasaran, siapa yang sedang lembur sampai jam 9 malam. “Selamat malam Pak Bian.” Sapa Dante yang terkejut dengan kemunculan bosnya. Flo yang kaget ikut mendongak dan mulutnya langsung terbuka karena kedatangan Bian. Wanita itu mencoba menyembunyikan diri di balik kubikel, berharap Bian tidak melihatnya. “Flo?” gumam Mirah yang juga terkejut. Flo meletakkan telunjuknya di depan bibir, memberi tanda agar diam. “Jangan ribut.” Bian mengangguk sambil tersenyum kepada karyawannya. “Kalian masih lembur?” “Sudah hampir selesai, Pak.” Jawab Niar. “Pak Bian butuh sesuatu?” kini Inka yang bertanya dengan wajah dibuat semanis mungkin. Pria itu menggeleng pelan. “Tidak, kebetulan saya juga baru selesai lembur dan iseng melihat ke ruangan lain. Ternyata beberapa divisi juga sedang lembur. Termasuk divisi marketing,” jawabnya. “Siapa saja yang lembur?” “Ada saya, Dante, Niar, Mirah, dan Flo. Dua orang baru saja pulang karna lebih dulu selesai,” jawab Inka. Mendengar namanya disebut membuat Flo mati kutu. Mau tidak mau ia mencul ke permukaan dan menyapa Bian agar tidak dipandang sebagai karyawan yang kurang ajar. “Selamat malam Pak Bian,” sapa Flo dengan ragu. Bertemu dalam situasi yang formal dan merasa Flo sengaja bersembunyi membuat Bian ingin memberi sedikit pelajaran kepada Flo. Ia ingin memancing emosi wanita itu. “Saya kira tidak ada orang di kubikel itu?” “Maaf Pak, tadi saya tidak sadar kalau ada Pak Bian karna pakai earphone,” jawabnya Flo dusta. “Oh begitu. Pekerjaan kamu masih banyak?” Flo menggeleng pelan. “Sudah selesai kok, Pak. Sebentar lagi saya mau pulang.” Bian mengangguk namun terlihat sedang berpikir. “Kalau begitu ikut saya sebentar.” Semua karyawan yang ada di sana mendadak diam dan saling lirik. Tentu saja mereka penasaran kenapa Flo dan Bian terlihat sudah saling mengenal bahkan pria itu memintanya untuk ikut pergi. “Ikut ke mana, Pak?” tanya Flo ragu. Bian yang memasukkan satu tangannya ke saku, mengangkat bahu dengan santainya. “Ikut saya keluar karna ada yang ingin saya bicarakan dengan kamu. Atau kita bicara di sini saja?” “Tidak!” seru Flo tanpa sadar. Sedetik kemudian matanya membola dan rasa malu langsung memenuhi perasaannya. Kini semua mata tertuju kepadanya, menatap dengan tanda tanya besar. Flo merasa hari ini adalah hari yang sangat menguji emosinya. Semua rekan kerjanya penasaran, hal apa yang ingin Bian bicarakan dengan Flo karena memilih untuk pergi berdua saja yang artinya orang lain tidak ada yang boleh tahu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD