2

1373 Words
"Mau Kinder Joy, Vero mau kinder Joy Mom." rengek Alvero saat Mellia tengah memilih sayuran segar di rak pendingin. "Wait ya Ver, Mommy mau beli sayur buat Vero dulu yah." bujuk Mell berjongkok menyamai sang putra yang tingginya tak sebanding dengannya itu. "No, Vero ambil sendiri ya Mom." pintanya pada sang Mami dengan mengalungkan lengannya dileher Mell. Mell mengganguk, "Kiss Mommy dulu dong." Cup... Mellia terkekeh mengacak rambut putra kesayangannya. "Oke, Vero ke sana dulu, tunggu Mommy di sana nanti kita bayar. Oke jagoan?" "Aye Mommy." serunya girang. Alvero setengah berlari menuju rak dimana ia bisa menemukan makanan kesukaannya. Langkahnya yang terburu-buru membuatnya terjerembab kelantai. "Hikss.. Mommy.. Hiks." isaknya karena merasa sakit di lututnya. Alvero memegangi lututnya yang memerah. "Hey, kamu kenapa?" tanya seseorang berjongkok mensejajarkan dirinya dengan Alvero. "Mommy." rengek Alvero, dengan isakkannya. "Kids, dimana Mommy kamu, om antar ya." tawar laki-laki itu. Alvero mengangguk, menerima rentangan laki-laki dewasa yang membawanya kedalam gendongannya. "Mommy." Nyawa Mell seakan dipaksa untuk tertarik dari jasadnya. Wajahnya memucat, melihat siapa laki-laki yang tengah menggendong sang putra. Jangan Tuhan, ku mohon. "Mellia." "Maaf, tolong berikan anak saya." rebutnya, membawa Alvero ke dalam gendongannya. Mellia berjalan cepat melupakan barang belanjaannya. Saat ini yang ia inginkan hanyalah pergi dari supermarket ini. Pergi dari hadapan laki-laki yang menggendong Veronya tadi. "Mell, please stop." teriak Ray memanggil Mellia. Ya, laki-laki yang membantu Alvaro tadi adalah Ray, Ray Husodo. Ayah biologis dari Alvaro. "Ge, tolong tahan Mellia." teriak Ray pada Kakaknya Geofany ketika Mellia hampir saja melewati kakak dari Ray tersebut. "tolong lepasin, saya nggak kenal kalian." ucap Mell menahan getaran disuarannya. "Mommy." isak Vero ketakutan. Vero memeluk Mellia dengan erat. Ia merasa tidak mengenali dua orang yang tengah menahan Maminya. "Mell, we need to talk, please." "Maaf saya nggak kenal kamu." balas Mell dengan nada datar. Tangannya memeluk erat Vero, seakan takut kehilangan satu-satunya yang tersisa dalam hidupnya. "Mommy." "Iya sayang, Vero jangan nangis lagi ada Mommy nak." ucapnya menenangkan Vero ditengah ketakutannya sendiri. "Mell, dia anakku?" tanya Ray memperhatikan anak dalam gendongan Mellia. Anak laki-laki yang juga tadi digendongnya. "Bukan, maaf saya harus pergi." "Mell." "Pergi." jerit Mellia. "Ge, ambil anak itu sekarang!" bentak Ray memaksa Geofany sang kakak untuk mengambil paksa tubuh Vero dalam dekapan Mellia. "Mommyyyyy, Mommmy." jerit Vero meronta dalam dekapan Geofany, sejujurnya Geofany tak tega, namun ia juga tidak akan sanggup melihat kemarahan sang adik. "Ray, b******k! Siniin anak gue." "Ikut gue." tarik Ray. Geofany mengikuti langkah Ray dibelakangnya dengan Vero yang masih berontak ingin terlepas. "Mommy, Vero mau Mommy." jeritnya membuat hati Mellia miris. "Ssstttt, baby boy. Jangan nangis, tante janji kamu pasti sama Mommy kamu sayang, sekarang kita ikutin Mommy kamu ya." rayu Geofany, namun tetap saja tak membuat rontaan dan isakan Vero mereda. Bruukkkkk.... "Jelasin ke gue, siapa anak itu Mell?" tanya Ray setelah melemparkan tubuh Mell diranjangnya. "Bukan urusan lo." jawab Mell dingin. Mell bisa mendengar putranya yang menangis diluar kamar. Putranya itu selalu memanggilnya. "Siapa anak itu?" bentak Ray, "atau gue perkosa lo lagi." peringat Ray mengancam Mellia. "Please Ray, anak gue nangis Ray." "Siapa dia? Dia anak gue?" Ray menahan segala amarah yang mengendap setelah penolakan yang dilakukan oleh Mellia di supermarket tadi "Ray, anak gue bisa sakit Ray." mohonnya pada Ray. "Dia anak gue? JAWAB!" "BUKAN." Entah mengapa ada rasa sakit saat Mellia mengatakan bukan. Ia pikir kemiripan dirinya dengan anak kecil itu adalah jawaban jika anak tersebut adalah putranya. "MOMMY." "Ray." "Mommy, it hurt Mommy." "Ray, anak ini kekurangan nafas Ray." teriak Geofany panik dari luar melihat anak Mellia memegangi dadanya. "Ray, anak kita kekurangan nafas Ray, Ray." teriak Mellia panik mendengar suara Vero yang mulai tersengal. Anak kita? Anak kita?? "Ray, Vero butuh inhaler Ray, RAY ANAK KITA bisa MATi. Rayy!" Braaakkk!!!! "Bertahan sayang, bertahan. Papa bawa kamu ke rumah sakit sayang. Please bertahan sayang." Vero kecil memegangi dadanya. Matanya menatap laki-laki yang membopong tubuhnya. Vero bisa melihat ketakutan dimata om itu. "No Mommy told thay my daddy died Om." Mellia mengikuti Ray dari belakang. Air matanya menetes begitu saja mendengar penuturan sang putra yang masih begitu kecil untuk tahu bagaimana ia bisa terlahir di dunia ini. ** "Bertahan sayang, bertahan. Papa bawa kamu ke rumah sakit sayang. Please bertahan sayang." Vero kecil memegangi dadanya. Matanya menatap laki-laki yang membopong tubuhnya. Vero bisa melihat ketakutan dimata om itu. "No, my daddy has died Om." Mellia mengikuti Ray dari belakang. Air matanya menetes begitu saja mendengar penuturan sang putra yang masih begitu kecil untuk tahu bagaimana ia bisa terlahir di dunia ini. Tangan Mellia bergetar hebat. Rasa takut menyeruak dalam hatinya mengingat ia yang telah mengatakan bahwa Papi dari Vero sudah meninggal. Ingin sekali rasanya Ray mencekik wanita dibelakangnya. Namun sepertinya ini bukan waktu yang tepat untuk menumpahkan kemarahannya pada ibu dari putranya. Dalam kondisi ini, putra dalam dekapannya lebih penting dari pada keinginannya untuk membunuh Mellia. "Pegang anak gue, usahain dia tetep terjaga." ucap Ray dengan nada dinginnya. Mellia mengangguk mendekap tubuh putranya. Tidak perlu Ray bilang, Mellia bahkan tahu apa yang harus ia lakukan. Tidak satu atau dua kali putranya mengalami hal ini. "Vero, please jangan bobo ya sayang. Vero denger Mommy kan?" tanya Mellia mengguncang tubuh kecil Vero. Vero membuka matanya. Tangannya terulur memeluk leher sang Mommy. Inilah yang sedar tadi ia inginkan. Mommynya, hanya Mommynya. Vero menyembunyikan wajahnya diceruk leher Mellia. Anak berusia lima tahun itu masih terisak dengan nafas yang tersengal. Ray melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Ia tidak ingin mengambil resiko terjadi sesuatu pada anak kandungnya. Sesekali ia mencuri pandangan pada putranya yang terus terisak mengatakan,"hurts Mommy. Its hurt." membuatnya tidak konsen untuk menyetir. "Bawa kesini anak gue." pinta Ray lalu mengambil paksa tubuh Vero dari pelukkan Mellia. Ray berlari tergesa menuju Unit Gawat Darurat. "Tolong, tolong anak saya." teriaknya membuat kerumunan suster berlari dan mengambil tubuh Vero untuk ditangani. Ray berjalan cepat menghampiri Mellia yang terisak. Wanita itu, wanita itu. Ray ingin sekali mencekiknya hingga mati. Wanita yang menyembunyikan anak kandungnya selama ini. PLAAKKK... Satu tamparan Ray layangkan dipipi Mell, hingga tubuh lemah wanita itu terhuyung kebelakang membentur tembok rumah sakit. "f*****g You, He is My Son. Dan gue nggak tahu gue punya anak?" bentak Ray tajam. Jari tengahnya terpampang tepat diwajah Mellia. Mellia menatap nyalang Ray. "And then, apa yang gue denger tadi? Anak gue bilang gue udah mati?" PLAAKKKK.... "What the hell you." umpatnya untuk kesekian kali pada wanita yang selama ini menyembunyikan putranya. "CUKUP RAY!" akhirnya Mellia berani mengeluarkan suaranya yang sempat tertahan. "ANAK LO?" tanya Mell sinis. "Sejak kapan lo jadi ayah anak gue? Sejak kapan?" "b******k!" maki Ray. "Bukan berarti karena lo yang kasih s****a lo bisa bilang lo bapaknya." desis Mell tajam, membuat Ray terbahak. "GUE EMANG BAPAKNYA BRENGSEK." "BUKAN!" Habis sudah kesabaran Mellia. Habis. Laki-laki didepannya ini apa saking tidak punya malunya? Apa dia lupa enam tahun lalu berkata apa pada Mellia dikafe saat pertemuan terakhirnya. "LO YANG SURUH GUE GURURIN KALAU SAMPE GUE HAMIL DARI PERBUATAN b***t LO!" "LO LUPA HAH?" "LO SURUH GUE GUGURIN BAHKAN SEBELUM DIA ADA." tunjuk Mellia pada pintu dimana anaknya ada didalamnya. "LO YANG BILANG, SAMPE NANTIPUN LO GAK BAKAL BISA TANGGUNG JAWAB KE GUE." "SO, remember when you SAID THAT THE s**t WORDS, RAY HUSODO?." "Mell." ucap Ray menurunkan emosinya. "Nggak usah sok baik lo, nggak usah ngomong baik-baik lagi sama gue." "ALVERO ANANTIO HARYO NGGAK PUNYA AYAH, AYAHNYA UDAH MATI SEBELUM GUE HAMIL DIA. PAHAM LO!! Go away from my life, go out from my son live..!" "Mell." "Sorry, sorry. Tolong maafin gue." ucapnya memeluk Mellia. Mellia mencoba meronta dalam dekapan Ray. Ia merasa jijik bersentuhan dengan Ray. "Maafin gue, please." "Maaf Bapak, Ibu.. Putra bapak dan ibu sudah dalam kondisi stabil. Bapak dan ibu bisa melihat kondisi putra anda sekarang." ucap suster yang ikut menangani Vero. Mellia melepas paksa tubuh Ray. Ia mendorong tubuh Ray agar menjauh darinya. Dengan langkah cepat ia menghampiri ruangan dimana putranya berada. Ray merogoh ponsel yang berada disakunya. Ia mendial nomor yang amat ia kenal beberapa tahun ini. Dengan cepat ia menekan tombol hijau untuk menghubungi pemilik nomer tersebut. "Mr. Haryo. Saya menemukan mereka. Tidak ada lagi alasan anda untuk memisahkan saya dan putra saya." ucap Ray dingin. Laki-laki diseberang sana tertawa hambar sarat akan kemaran. Namun semua itu tidak membuat nyali seorang Ray Husodo menciut. "Aku menemukanmu. Menemukanmu Mell."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD