Bab 3 : Istri Yang Sempurna 1

1447 Words
# Ariana menatap wajah pucat ibunya yang terbaring lemah di atas tempat tidur. Ada perban yang melingkar di pergelangan tangan wanita itu. “Kenapa Mama melakukan ini? Kenapa?” Tanyanya dengan suara gemetar, ia bahkan belum sempat mengganti baju seragam sekolahnya yang ternoda oleh darah ibunya. Wanita itu berpaling menatap Ariana dengan wajah sendu. Kecantikannya yang sempat memukau banyak orang pada masanya kini tampak memudar dan tenggelam oleh kesedihan. Matanya tidak lagi berbinar seperti dulu. “Kenapa kau menyelamatkan Mama? Seharusnya kau biarkan saja Mama mati. Tempat ini adalah penjara…berapa lama lagi kau ingin Mama menderita di penjara ini sementara si b******k itu bersenang-senang di luar sana?” Tanyanya. Ariana menangis. “Si b******k itu, adalah Papaku. Kenapa Mama menikah dengan Papa kalau Mama tidak mencintai Papa? Kenapa Mama tidak pergi dari sini dibandingkan melakukan semua ini?” Ucap Ariana sambil terisak pelan. Ibunya tertawa. “Ariana….kau…masih terlalu kecil untuk paham. Orang yang kau panggil Papa, adalah pria paling b******k di dunia ini yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apapun yang di inginkannya. Mama…tidak pernah menikah dengannya…Tidak pernah…” Kalimat ibunya membuat Ariana terpaku diam. Saat itu usianya baru empat belas tahun dan ia sama sekali tidak paham maksud yang terkandung dari kalimat ibunya. Ia tidak mengerti. Akan tetapi, setelah tahun-tahun berlalu dan ia beranjak dewasa, Ariana mulai mengerti dan memahami segalanya dengan lebih baik. Sekarang ia tahu kalau ibunya tidak pernah berbohong….ayahnya adalah pria paling b******k di dunia ini yang pernah ia kenal. # Damian menatap Ariana yang berbaring disampingnya. Wanita itu terlihat gelisah dalam tidurnya. “Hnghh….” Ariana bergumam pelan. Dahinya berkerut seakan ia tengah berpikir keras tentang sesuatu yang sangat sulit untuk ia pahami dalam tidurnya. “Apa kau selalu tidur sambil berpikir seperti ini?” Ucap Damian. Perlahan ia mengulurkan jarinya dan menyentuh kerutan di antara kedua alis Ariana, mengusapnya dengan hati-hati agar tidak mengganggu kenyamanan tidur sang pemilik. “Nah…begini lebih baik.” Ucap Damian  sambil tersenyum mengamati wajah cantik istrinya. Tapi perlahan ada titik air mata yang mengalir di pipi Ariana, meluncur turun dengan perlahan bagai butir permata yang berkilau di atas kulitnya yang sehalus mutiara. Damian mengerutkan dahinya. “Kau bercanda bukan? Tadi kau tidak menangis dan sekarang kau baru menangis?” Ucap Damian. Perlahan Damian kembali mengulurkan jemarinya dan menghapus air mata di pipi Ariana. “Kau benar-benar punya kebiasaan tidur yang unik.” Ucap Damian lagi. “Jangan…pergi….” Ariana berucap pelan. “Jangan….Mama….” Kalimat itu kembali terucap dan air mata itu kembali mengalir di pipinya. Damian menarik napas panjang. “Sulit dipercaya, malam pertama kita dan orang yang kau panggil adalah Mamamu dan bukan aku…suamimu.” Ucap Damian. Ia kembali menghapus air mata Ariana dan menariknya ke dalam dekapannya “Ssstt….tidurlah. Kau pasti bermimpi buruk.” Ia membelai rambut panjang Ariana dengan lembut. Saat Damian kecil, ia juga seringkali bermimpi buruk dan terbangun di tengah malam dan ibunya sering sekali mendekapnya seperti ini serta membelainya lembut. Itu membuatnya merasa tenang. Ia tidak pernah melakukan hal ini pada orang lain. Ia bahkan tidak tahu kenapa ia melakukan ini pada wanita yang hanya akan menjadi istrinya selama dua tahun. Apa dia sudah gila? Ia bahkan yakin kalau teman-temannya akan menganggapnya gila kalau mereka sampai mengetahui hal ini. “Aku melakukannya karena kau tidak menjadi wanita yang membosankan di tempat tidur.Oke? Jangan berharap banyak.” Ucap Damian. Ariana mendengkur pelan dalam dekapan Damian, namun pria itu merasa keberatan untuk melepaskan dekapannya. Ada perang batin yang bergejolak dalam dirinya kini, antara kembali menerkam istrinya yang baru saja tertidur lelap dan sudah pasti baru akan bermimpi indah setelah tadi tampak bermimpi buruk yang parah atau menahan hasratnya dengan susah payah dan menunggu hari esok. “Ah sialan…..sadarlah Damian, kau manusia dan bukan binatang. Ini pertama kali untuknya, dia belum benar-benar menyesuaikan diri. Biarkan dia beristirahat, dia tidak akan kemana-mana dua tahun ini. Waktu yang panjang untuk meraih kepuasan dan kebosanan”,  Damian membatin. Akhirnya ia hanya bisa menarik napas panjang dan kemudian menyandarkan dagunya di puncak kepala Ariana sambil menghirup harum aroma istrinya. “Lain kali, jangan harap kau bisa tidur dengan tenang sampai pagi.” Ucapnya sambil ikut memejamkan mata. # Ariana mengerjap pelan saat sinar matahari perlahan menerobos masuk lewat tirai kamar yang terbuka tertiup angin. Ia mencoba merenggangkan tubuhnya dan gerakannya terhenti karena rasa sakit yang menderanya dengan tiba-tiba. Seketika ingatan akan kejadian kemarin berputar kembali di dalam otaknya bagaikan rol film lama yang bergerak perlahan, jelas dan detail. Dari ruang makan, kamar mandi, hingga tempat tidur, pria itu sama sekali tidak menyisakan waktu dan tenaga untuknya hingga ia berakhir tertidur kelelahan. Kedua bola mata bening Ariana berkaca-kaca, perasaannya kini hampa, beginikah rasanya kehilangan sesuatu yang berharga di dalam dirinya? Kosong tapi menyakitkan? Perlahan ia menggigit bibirnya. Syukurlah Damian sudah tidak ada dikamar saat ini. Ini lebih baik untuknya. Ia ingin segera membersihkan diri dan sebisa mungkin menghapus bekas pria itu dari setiap inchi tubuhnya. Ia muak dan jijik dengan dirinya sendiri. Dengan kenyataan kalau sekarang dirinya bukan lagi gadis lugu yang hanya memahami hubungan suami istri dari kisah-kisah romantis di film dan cerita novel. Perlahan Ariana menurunkan kakinya dan mencoba berdiri. Rasa nyeri langsung menyerang inti tubuhnya dan ia hanya bisa memejamkan mata menahan sensasi itu sambil melangkah perlahan menuju kamar mandi. Cermin di dalam kamar mandi memamerkan semua tanda yang ditinggalkan Damian di atas kulitnya sementara Ariana hanya bisa memandangi pantulan bayangan tubuhnya dengan tangan terkepal. “Pria b******k…..” Ucapnya pelan. Ada kilat kemarahan di matanya. Ketenangan di wajahnya luntur oleh ekspresi penuh kebencian. Ariana bergegas menyalakan shower dan membasuh tubuhnya. Menggosokkan sabun ke tubuhnya sebanyak mungkin, berkali-kali hingga kulitnya terasa perih seakan hendak terkelupas. “Bertahanlah….ini baru satu hari…dan ini kemungkinan besar tidak hanya akan terjadi sekali. Kau harus bertahan…bertahanlah.” Ucapnya pada dirinya sendiri. Air mata mengalir membasahi pipinya bercampur dengan air shower yang mengguyur tubuhnya. Suaranya tenggelam oleh suara air, sama seperti air mata kesedihannya. Dia tidak punya pilihan. Sehancur apapun dirinya, ia tidak bisa berpaling atau melarikan diri. Rencananya tidak boleh gagal, sesakit apapun yang harus ia terima dari pernikahan ini. Sebesar apapun penghinaan yang harus ia jalani. Dia tidak ingin berakhir seperti ibunya, gagal dan menderita sendiri bagai orang gila, dia punya tujuan dan tidak ada yang akan bisa menghalanginya untuk mencapai apa yang ia inginkan, bahkan dirinya sendiri. Ini satu-satunya hal yang ia warisi dari Gumelar Pradipta, ayahnya yang b******k itu. Kemauan kuat untuk mendapatkan apapun yang di inginkan, tidak perduli, bagaimanapun cara yang harus ia tempuh untuk mewujudkannya. # Damian menata makanan yang ia pesan di atas meja. Suasana hatinya sedang baik dan ia berencana untuk mengajak Ariana ke pantai setelah makan. Setidaknya dengan cara itu ia bisa menghalangi dirinya sendiri untuk menerkam istrinya kembali seperti kemarin tanpa melepaskannya dan membuat wanita itu trauma pada dirinya. Tidak…tidak. Dia mungkin bukan pria yang sepenuhnya baik tapi dia juga bukan binatang yang otaknya hanya dipenuhi dengan hal-hal seperti itu. Lagipula, alasan dia memilih tempat liburan jauh-jauh ke Saint Lucia adalah untuk benar-benar bersenang-senang meski tadinya ia tidak menyangka kalau dia akan benar-benar bersenang-senang dengan istrinya. Pintu kamar terbuka perlahan dan sosok Ariana keluar dari dalam kamar dengan rambut yang masih sedikit basah. Ia hanya mengenakan gaun simple berwarna putih panjang hingga kemata kaki dengan belahan yang pas hingga ke lututnya. Pakaiannya tidak ketat ataupun longgar namun jatuh dengan sempurna di setiap lekukkan tubuhnya dan membentuk siluetnya dengan indah tanpa ia sadari. Untuk beberapa saat lamanya Damian terpaku namun ia menyembunyikan rasa terpesonanya dengan meraih anggur di atas meja dan memakannya. “Kau bangun sangat telat, ayo makan, setelah ini kita akan ke pantai dan bersenang-senang.” Ucap Damian Ariana menatap meja makan untuk sesaat lamanya, bayangan tentang apa yang mereka lakukan kemarin sudah cukup membuatnya kehilangan selera makan seketika. Perlahan ia mendekati meja makan dan berdiri kaku di samping kursi di depan Damian. “Duduklah dan makan.” Ucap Damian acuh. Ia sudah akan menyendok makanan untuk dirinya sendiri ketika Ariana bersuara. “Akan kuambilkan.” Ucap Ariana lembut. Sorot matanya yang tenang terkesan tidak perduli tapi ada semburat merah di pipinya yang sekilas terlihat. Damian tertawa. “Apa di keluarga Pradipta, semua wanita harus bersikap dan berlaku seperti dirimu? Kalian di didik seperti ini hanya untuk menjadi istri yang sempurna bagi seorang pria?” Tanya Damian. Ariana menurunkan pandangannya, menyembunyikan rasa kesal karena ucapan Damian yang entah karena apa begitu mengganggunya. “Ya.” Jawabnya pendek dan ia bisa mendengar Damian tertawa terpingkal-pingkal. Bersambung……  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD