#
Ariana membersihkan dirinya di pancuran dekat kolam renang yang lebih tertutup. Ia kesal dan benci saat menyadari Damian tengah menatapnya dengan tatapan m***m yang menjijikkan itu.
Ingin rasanya ia menangis tapi ia menahan air matanya sekuat tenaga. Dia harus bertahan, keberhasilan rencananya selama ini tergantung dari kemampuannya untuk mengatasi Damian selama mereka menjalankan pernikahan dalam dua tahun ini.
Perlahan Ariana mencoba menstabilkan emosinya. Menekan harga diri dan kesadarannya akan perasaan apapun yang sempat menguasainya beberapa saat yang lalu hingga serendah mungkin. Dia tidak boleh merasakan apa-apa. Dia tidak bisa merelakan semua rencana yang sudah disusunnya dengan hati-hati berakhir begitu saja hanya karena perasaan tidak berarti yang membuatnya merasa terhina di bawah tatapan pria b******k seperti Damian tadi.
Dalam sekejap, raut wajahnya kembali datar dan tenang tanpa emosi. Ia menghentikan kegiatannya membilas tubuhnya dan meraih baju mandi untuk menutupi tubuhnya yang terekspos sebelumnya. Kemudian ia melangkah masuk ke dalam rumah.
Damian duduk didekat mini bar sambil memperhatikan langkah Ariana yang tampak tidak perduli dengan kehadirannya.
"Berhenti..." Ucap Damian.
Ariana menghentikan langkahnya dan berpaling menatap Damian.
Damian masih mengamati istrinya dalam diam.
Beberapa saat tadi, di kolam renang, ia jelas bisa melihat sorot tidak suka dari mata istrinya. Ia tidak mungkin salah menilai ekspresi terkejut sekaligus tidak nyaman yang tergambar jelas di wajah Ariana beberapa saat yang lalu. Kemana perginya semua itu?
Yang ada di hadapan Damian kini hanyalah seorang wanita dengan wajah datar dan sikap yang terlampau tenang untuk seorang istri yang selaput daranya masih utuh di hari ketiga pernikahan mereka.
Damian melangkah mendekati istrinya dan mengamati wajah sempurna di depannya itu saat ini. Perlahan tangannya terulur dan menarik ujung pengikat baju yang dikenakan oleh Ariana.
"Kau memiliki tubuh yang indah." Ucap Damian.
Ariana menahan tangan Damian.
"Kau mau apa?" Tanya Ariana. Nada suaranya sama sekali tidak berubah, tetap terdengar tenang.
Damian tertawa, menampilkan deretan gigi putih yang rapi di wajah tampannya. Wajah yang berhasil membuat banyak wanita bersemu merah setiap kali berhadapan dengannya tapi sayangnya tidak untuk wanita yang dinikahinya ini. Hal itu justru membuatnya merasa semakin tertantang.
"Mau apa? Melakukan kewajibanku sebagai seorang suami tentu saja. Kau tidak berpikir kalau kita akan melalui masa dua tahun yang panjang dengan membosankan tanpa melakukan apa-apa bukan? Aku tidak sekejam itu." Ucap Damian.
Saat itu, meski sekejap, Damian bisa melihat kilat panik di kedua bola mata jernih Ariana. Entah kenapa, hal itu justru membuatnya merasa semakin tertarik.
Ariana mundur beberapa langkah.
"Itu tidak ada dalam perjanjian...." Ia masih berusaha mempertahankan ekspresi tenangnya namun nada suaranya sedikit bergetar.
"Kau tidak membaca isi perjanjiannya? Kita akan hidup sebagai suami istri dan melakukan apa yang seharusnya dilakukan suami dan istri pada umumnya hingga masa dua tahun, baik pihak pertama yaitu aku dan pihak kedua, yaitu dirimu sama sekali tidak boleh menghindari kewajiban sebagai suami istri hingga akhirnya perceraian kita disetujui di pengadilan dan kita resmi tidak terikat lagi sebagai suami istri. Itu ada di dalam bab tambahan di halaman selanjutnya Ariana, jangan bilang kau benar-benar tidak membaca semua isinya dengan seksama dan langsung menandatanganinya." Ucap Damian sambil terus maju.
Ariana terdiam. Dalam hati ia menyesali kebodohannya yang tidak melakukan tawar menawar terlebih dahulu dan tidak membaca isi perjanjiannya dengan benar sebelum menandatanganinya. Ia terlalu bahagia saat mengetahui kalau Damian sungguh-sungguh serius saat mengatakan kalau mereka hanya akan menikah selama dua tahun. Ia ceroboh.
"Aku memang tidak membaca seluruh isi perjanjiannya." Ucap Ariana jujur.
"Kau ingin mundur sekarang? Aku tidak keberatan tapi itu artinya semua kesepakatan bisnis yang sudah disetujui dengan perusahaan keluargamu juga...berakhir." Ucap Damian memberi penekanan pada akhir kalimatnya.
Iris mata Ariana terlihat bergetar, perlahan ia melepaskan pegangan tangannya.
"Jangan lakukan itu. Papaku sangat mengharapkan kerjasama dengan perusahaanmu." Ucap Ariana.
"Kau akan terus maju? Bagus. Aku menjamin untuk memberimu pengalaman pertama yang tidak akan bisa kau lupakan seumur hidupmu." Ucap Damian.
"Dengan satu syarat...." Ucap Ariana, kali ini suaranya terdengar gugup dan kedua iris matanya terlihat berkaca-kaca.
"Katakan..." Ucap Damian. Tangannya mulai menyusup kedalam pakaian Ariana dan merasakan sensasi lembut kulit Ariana di indera perasanya.
"Aku...tidak menginginkan seorang anak darimu, jadi pakailah pengaman dan kita hanya melakukannya kalau aku juga menginginkannya. Kau tidak akan pernah memaksaku kalau aku menolak di kemudian hari." Ucap Ariana, tubuhnya mulai merasakan sensasi aneh ketika Damian mulai mendaratkan ciuman-ciuman ringan di perpotongan lehernya.
"Anak, pengaman dan keinginanmu. Itu tiga syarat dan bukan satu Ariana...kau terlalu percaya diri. Aku juga tidak menginginkan anak yang terlahir tanpa cinta kedua orang tuanya, jadi aku setuju. Pengaman? Tidak, aku tidak ingin menggunakan pengaman saat bercinta dengan istriku sendiri, jangan khawatir, aku tahu bagaimana cara untuk melakukannya dengan aman dan jika kau masih takut, aku akan menyuruh asisten pribadiku untuk menyiapkan pil bagimu secara rahasia, jangan pernah berpikir untuk menggunakan KB suntik atau sejenisnya yang memerlukan dokter, Rumah Sakit, atau perawat, ayahku akan langsung mengetahuinya dan kesepakatan kita akan hancur sebelum dua tahun, terakhir keinginanmu, aku setuju selama itu tidak merugikanku. Ada lagi?" Damian menatap kedua bola mata Ariana lekat-lekat, pertanda kalau ia serius dengan apa yang dikatakannya.
"Lakukanlah dengan lembut. Aku....belum berpengalaman seperti dirimu." Ucap Ariana sambil berpaling menghindari kontak mata lebih lama dengan Damian.
Dalam hatinya, ia menjerit. Tidak seharusnya ia berenang tadi. Ia tidak mengira kalau Damian akan bangun. Dua hari sebelumnya Damian selalu saja tidur dan tidak memperdulikan dirinya. Ia menyalahkan dirinya sendiri yang tanpa sadar dan tidak disengaja mungkin telah memprovokasi pria ini. Seharusnya ia lebih berhati-hati.
"Kita lihat saja nanti." Ucap Damian dan ia mengangkat tubuh Ariana ke atas meja makan, menyingkirkan semua penghalang di atas meja itu dan mulai melakukan aksinya.
"Disini?" Ariana tampak terkejut. Siang hari, di ruang makan pula, apa pria ini benar-benar telah kehilangan kewarasannya?
"Kita kemari untuk berbulan madu, tidak ada seorangpun yang akan mengganggu, jadi tenanglah dan nikmati saja." Ucap Damian tidak sabar. Ia semakin terobsesi untuk menggali semua yang disembunyikan oleh wanita ini.
Dimata Damian, wajah panik dan gelisah Ariana sekarang adalah sebuah hiburan tersendiri setelah ia menyadari kalau wanita yang sudah dinikahinya tersebut ternyata memiliki ekspresi lain selain ketenangannya yang luar biasa selama ini.
Selain itu, ia tidak menyangka, tidak ada satu tetespun air mata yang membasahi wajah cantik istrinya ketika ia akhirnya berhasil menyatukan mereka berdua dengan susah payah.
Wanita itu hanya memekik tertahan dan memeluknya erat menyalurkan rasa sakit yang sudah pasti baru pertama kali ia rasakan. Seumur hidupnya inilah pertama kalinya ia menyentuh wanita yang masih murni dan ia sama sekali tidak menyangka kalau tubuh istrinya akan membuatnya begitu terikat hingga ia hampir tidak bisa berhenti untuk menyentuhnya lagi dan lagi kalau saja ia tidak ingat bahwa ini adalah pertama kalinya bagi wanita itu.
Di sisi Ariana yang baru pertama kali melakukan hubungan seperti ini dengan seorang pria, terlebih lagi dengan pria yang ia benci. Jelas ini bukan sesuatu yang menyenangkan. Ia hanya berusaha sekuat tenaga untuk mengimbangi Damian dan mengesampingkan perasaannya yang hancur. Hanya dirinya yang tahu sehancur apa dirinya sekarang. Saat rasa sakit menderanya didalam pelukan Damian yang tampak semakin bersemangat meraup kenikmatan dari tubuhnya, wajah pria itu kembali melintas di dalam ingatan Ariana.
Sekarang, ia tidak memiliki sesuatu yang layak untuk ia berikan pada pria itu. Tidak juga harga dirinya. Ia telah menggadaikan harga diri dan kehormatannya demi membayar kebebasannya. Ya, dia tidak memiliki apa-apa lagi di dalam dirinya yang layak untuk dibanggakan ketika semua ini berakhir. Apakah ini semua layak untuk apa yang ia perjuangkan?
Kemudian, wajah ibu dan adiknya membayang dalam pikirannya bersamaan dengan bisikkan Damian di telinganya.
"Hari ini bukan masa suburmu kan Ariana?" Tanya Damian sambil mencumbunya dengan napas tersengal-sengal.
Tidak berbeda jauh dengan Damian, Ariana tampak berusaha keras meraup sebanyak mungkin oksigen di sela-sela ciuman mereka.
"Hngh...." Ariana bergumam. Ia mengangguk pelan.
Damian tersenyum dan meraup bibirnya sekali lagi, kemudian menggeram tertahan. Untuk pertama kalinya ia menumpahkan benihnya ke dalam rahim seorang wanita.
Sekarang ia paham untungnya memiliki seorang istri. Dia tidak perlu menggunakan pengaman dalam berhubungan. Apa ini sebabnya semua teman-temannya, sebrengsek apapun mereka selalu saja memilih untuk menikah? Meskipun pada kenyataannya mereka bisa mendapatkan wanita cantik seperti apapun dan kapanpun mereka butuh?
Bersambung.....