Di sebuah apartemen yang terlihat cukup besar. Terlihat seorang gadis tergeletak di lantai keramik dalam keadaan kedua mata terpejam dan tentunya itu Layra sendiri, gadis itu tidak menyadari dirinya telah berada di tempat yang begitu asing karena kekuatan yang dimiliki monster akar membuat dirinya tertidur dengan sangat pulas di tempat yang begitu sepi. Layra yang merasa seluruh tubuh nya terasa begitu dingin, perlahan-lahan bangun dari tidurnya dan kedua kelopak mata cantiknya mencoba untuk melihat di sekitar sekeliling nya yang tampak sangat asing.
"Dimana ini?" Layra merasa kebingungan dengan dirinya, ia mencoba untuk bangkit berdiri tapi tiba-tiba kepalanya terasa begitu pusing dan hampir membuat kepalanya terbentur di dinding.
"Layra!" Suara seseorang seketika mengejutkan nya, lalu Layra dengan segera memandang ke arah suara itu walapun penglihatannya terasa sama-sama namun Layra masih bisa mengenal siapa orang yang memanggil namanya barusan.
"Me—Meira ... " Layra mencoba untuk bangkit berdiri kembali dan ia pun berhasil melakukannya, walapun tubuh belakang nya masih bersandar di dinding untuk menopang dirinya berdiri tapi setidaknya Layra tidak terjatuh.
"Layra! Ini ... ini benar-benar Layra, kan?" tanya Meira yang merasa seolah-olah sedang bermimpi saat ini karena ia masih belum percaya melihat kehadiran sahabat nya yang tiba-tiba saja berada di depan pintu apartemen nya.
"Meira, ini kamu?" tanya Layra dengan lemah, kepalanya terasa semakin pusing dan bahkan ia berulangkali merasa mual.
"Iya, ini aku Meira. Kamu .... kamu kemana saja selama ini?!" tanya Meira, ia masih belum menyadari apa yang sedang terjadi kepada Layra saat ini ia merasa sangat bahagia bisa bertemu kembali dengan sahabat nya yang benar-benar sangat ia rindukan itu.
Selama ini, Meira selalu menanti kabar dari Layra. Ia berulangkali pergi ke rumah kedua orangtua sahabat nya untuk menanyakan keberadaan Layra, tapi kedua orangtua Layra malah tidak ingin melayaninya sama sekali dan bahkan mengabaikan kehadirannya. Meira yang merasa sikap kedua orangtua sahabatnya seperti itu merasa curiga, bahwa mereka telah menyembunyikan sahabatnya itu selama ini. Apa lagi ia tahu sendiri ketika Layra kabur, mereka selalu berhasil menemukan keberadaan sahabatnya di manapun Layra bersembunyi.
"Meira, bisakah bawa aku pulang bersama mu ...."
"Ten—" ucap Meira terpotong. "Layra! Layra! Kamu kenapa?" tanya Meira yang sangat terkejut melihat keadaan sahabatnya tiba-tiba saja pingsan di pelukkan nya dan hampir membuat mereka berdua terjatuh, untungnya Meira cukup kuat untuk menopang tubuh Layra yang mungil itu.
Meira pun dengan segera membuka pintu apartemen nya dan membawa masuk Layra. Ia bingung kenapa Layra sampai tiba-tiba pingsan seperti itu, padahal banyak hal yang ingin Meira tanyakan kepada sahabatnya tentangnya yang selama ini tidak ada kabarnya sama sekali.
"Apa yang harus aku lakukan?!" Meira seketika panik saat melihat wajah pucat Layra, ia berusaha untuk tetap tenang dan mencoba untuk berpikir dengan baik.
"Sebaiknya, aku menelpon ambulan saja!" Meira segera mengambil ponselnya, tapi tiba-tiba terdengar suara bel pintu apartemen secara berulangkali hingga membuat Meira membatalkan niatnya untuk menelpon ambulan. Ia pun memilih membukakan pintu, berharap bisa membantu dirinya membopong tubuh Layra turun kebawah menuju ke mobil supaya segera pergi ke rumah sakit terdekat.
"Mei—"
"Dion! Kebetulan kamu berada disini! Tolong bantu aku membawa Layra ke rumah sakit dengan segera!"
Meira dengan segera menarik tangan Dion masuk kedalam apartemen nya, padahal laki-laki itu berniat ingin mengembalikan barang gadis itu yang tertinggal di rumahnya. Karena saat kejadian itu, Meira sempat tinggal di rumahnya selama 1 bulan lamanya dan itu semua atas permintaan kedua orangtua Dion sendiri. Mereka takut orang yang telah mengintai Meira akan menyakiti nya, bahkan menculiknya dan membunuh nya tapi selama Meira memutuskan untuk pindah apartemen. Sosok yang mengintai nya sudah tidak ada lagi, sehingga sekarang Meira sudah sedikit lebih tenang namun ia akan tetap waspada dengan keselamatan dirinya.
"Layra! Kenapa tiba-tiba sahabat mu berada disini dalam keadaan seperti ini? Bukankah kamu mengatakan bahwa dia .... "
Meira segera menghentikan ucapan Dion karena sekarang yang lebih penting adalah membawa Layra segera masuk ke rumah sakit sebelum semuanya terlambat. Masalah Layra, ia memang sudah mengatakan semuanya kepada Dion, maka dari situlah Dion bingung dengan kehadiran Layra yang tiba-tiba berada di apartemen Meira.
Sesampai di dalam mobil, Dion menghidupkan mobil miliknya dengan segera dan membawa kedua gadis yang sedang duduk di kursi bagian tengah untuk pergi ke rumah sakit. Kedua mata Dion terus fokus ke arah depan, supaya ia tidak menabrak kendaraan yang lain karena ia membawa mobil layaknya seperti sedang balapan saking merasa kasihan ketika melihat Layra yang sudah sangat mengkhawatirkan itu.
"Dion! Kenapa begitu lambat?!" tanya Meira, ia sudah tidak sabar lagi untuk sampai di rumah sakit dan memeriksa keadaan sahabatnya.
"Maaf ... ini sudah sangat cepat. Tenanglah, kita sudah hampir sampai," ucap Dion yang berusaha untuk menenangkan Meira, ia tahu gadis itu sudah hampir menangis melihat keadaan sahabatnya sampai seperti itu.
"Dion! Kau sudah melewati rumah sakitnya!" kesal Meira dan seketika mobil pun terhenti dengan sangat mendadak. Ia tidak menyangka dirinya bisa sampai bisa melewati nya, padahal ia sendiri yang mengatakan bahwa mereka sebentar lagi tiba di rumah sakit. Dion yang tidak ingin berlama-lama, langsung memundurkan mobilnya dan segera masuk kedalam halaman rumah sakit untuk memarkirkan mobilnya di depan supaya lebih mudah membawa Layra masuk kedalam.
Meira pun dengan segera mengambil kursi roda, lalu meminta pihak rumah sakit untuk segera menangani sahabatnya yang masih belum sadarkan diri itu.
Sekarang Layra sedang di periksa oleh dokter. Meira yang melihatnya begitu gelisah tidak karuan, rasanya ia sangat ingin Layra segera sadarkan diri secepatnya.
"Layra, segera sadarlah ...."
Dion terus menatap gadis yang berada di sampingnya. Ia tidak menyangka Meira sosok gadis yang begitu baik kepada Layra yang di anggap sahabatnya itu, ia mengira Meira tidak akan memperdulikan nya sama sekali justru Meira malah terlihat seperti seorang kakak kandung yang sedang mengkhawatirkan adiknya.
"Dia akan baik-baik saja, tenanglah sedikit," ucap Dion. Tapi, Meira tidak terlalu menghiraukan ucapan Dion karena ia lebih fokus melihat ke arah dokter yang sedang memeriksa keadaan sahabatnya.
"Ada apa dengannya, Dok?" tanya Meira.
"Kami akan melakukan tes darah terlebih dahulu untuk memastikan apa yang sedang terjadi kepada pasien dan sebaiknya Anda duduklah terlebih dahulu, sementara hasilnya sudah keluar," jelas dokter itu.
Meira hanya mengangukkan kepalanya saja mendengar ucapan dokter barusan. Ia berharap hasilnya bisa secepatnya keluar dan terutama Layra segera sadarkan diri, supaya ia lebih sedikit tenang karena dari tadi dirinya benar-benar bernafas tidak karuan akibat melihat keadaan sahabatnya yang sudah lama tidak bertemu dengannya.
"Dion, kenapa lama sekali?" tanya Meira.
"Bersabarlah, ini baru saja 5 menit lamanya."
"Bersabar sampai kapan?"
"Kau tidak perlu mengkhawatirkan hal itu, sebaiknya kamu berdoa saja supaya sahabat mu segera sadarkan diri!" Dion pun mengambil kursi untuk Meira duduk karena saat ini mereka masih berada di ruang IGD, jadi masih ada beberapa pasien yang sedang dirawat saat ini bersama di ruangan itu.
Namun, saat Dion sedang menatap ke arah ponsel nya melihat jam sudah pukul berapa. Tiba-tiba saja ia dikejutkan dengan sebuah tepukan yang berada di punggung nya, Dion yang terkejut hampir saja menjatuhkan ponselnya tapi untungnya ia dengan segera menangkap ponselnya dengan sangat erat hingga tidak jadi jatuh.
"Apa yang kalian berdua lakukan disini?" tanya orang itu.
"Pak Raksa, Anda berada disini juga? Apa Bapak sakit atau sedang terluka?" tanya Dion dengan antusias.
"Ada apa dengannya?" tanya Raksa yang seketika mengabaikan pertanyaan Dion yang bertubi-tubi itu, ia malah fokus ke arah Layra yang sedang terbaring lemah di atas kasur.
Dion pun menjelaskan nya dengan singkat namun secara detail kepada Raksa. Saat kedua laki-laki itu sedang asing berbincang, dokter pun akhirnya datang membawa hasil dari pemeriksaan darah barusan. Dokter pun menjelaskan kepada Meira, apa yang di alami oleh sahabatnya itu saat ini.
"Hamil, Dok?" tanya Meira kebingungan dan sekaligus merasa terkejut, tapi suaranya tidak begitu nyaring untuk mengatakan hal itu.
"Benar, tapi untuk memastikan nya lagi. Lebih baik melakukan USG saja," ucap dokter itu.
"Baik, Dok."
Setelah dokter itu menjelaskan semuanya kepada Meira, akhirnya gadis itu kembali duduk berada di samping Layra yang kini sudah terpasang impus di bagian tangan kanannya. Meira bingung dengan sahabatnya yang tiba-tiba saja hamil sejak lama tidak bertemu, padahal yang ia tahu Layra sama sekali tidak menikah dengan Bally dan bahkan Layra juga kabur dari pernikahan itu. Jadi, Meira merasa itu bukanlah anak darah daging Bally sendiri, terkecuali Bally berhasil menangkap Layra dan mengurung sahabatnya di tempat yang tidak orang ketahui sama sekali.
"Akh! Benar-benar memusingkan! Layra, segeralah sadar!" gumam Meira karena ia ingin sahabatnya itu menjelaskan kepada nya semua yang terjadi selama ini.
"Meira, bos kita berada disini. Kau tidak menyapanya?" tanya Dion.
"Benarkah? Dimana?" tanya Meira yang langsung saja bangkit berdiri. Dari tadi dirinya sampai tidak menyadari kehadiran bos nya itu, saking khawatir dan pusing memikirkan keadaan Layra. Ia bukan tidak bahagia, hanya saja Meira khawatir Layra kenapa-kenapa dan ia lebih takut lagi jika Bally yang selama ini tidak pernah Layra suka malah datang membawa sahabatnya itu.
"It—"
Dion seketika terhenti untuk berbicara karena ia tidak melihat lagi keberadaan bos nya itu saat ini. Padahal sebelumnya ia baru saja selesai berbicara dan kini malah tiba-tiba menghilang tanpa mengatakan apa-apa lagi padanya.
"Dimana, Dion. Bukannya kamu bilang pak Raksa berada disini juga? Lalu dimana dia sekarang?" tanya Meira.
"Mungkin sudah pulang," jawab Dion dengan singkat.
"Memangnya, apa yang dilakukan pak Raksa kemari? Apa dia sakit?"
"Entahlah, aku rasa tidak!"