Agus masih berpikir, bagaimana caranya agar semua yang di titipkan Eyang Hadi tidak jatuh ke tangan Sinta semua. Dia berniat memberikan seperempat dari apa yang eyangnya berikan. Itu pun dia akan terus mengawasi Sinta, untuk apa dia meminta semuanya.
“Iya, aku harus berbicara dengan pengacara eyang yang akan mengurus semua ini, kalau Sinta akan mendapat seperempat dari apa yang eyang berikan padaku, toh itu semua nanti akan menjadi milik Sinta. Aku harus bisa membuktikan pada Sinta, kalau Rangga laki-laki yang b******k, dan hanya memanfaatkannya. Aku juga harus menyampaikan ini semua pada Eyang,” gumam Agus.
Agus membicarakan semua ini pada Eyangnya lewat telepon, itu semua Agus lakukan untuk memancing Rangga dan Sinta akan seperti apa reaksinya saat mendapatkan bagian dari eyangnya hanya seperempat saja. Eyang hadi menyetujuinya, karena beliau juga ingin Sinta tahu siapa Rangga sebenarnya.
^^^
Sinta sudah berada di apartemen Rangga. Sinta semakin nekat menentang suami dan eyangnya. Otaknya seperti sudah di cuci oleh Rangga. Apapun yang Rangga katakan pasti dia menurutinya, entah itu meminta uang atau hal apapun, kecuali melakukan hubungan intim dengan Rangga. Sinta masih menjaga seutuhnya, dia memang mencintai Rangga, tapi dia masih bisa mengendalikan diri jika Rangga sudah mulai dalam menyentuhnya.
“Sayang, kamu harus melakukan sesuatu, agar eyang memberikan hak mu kembali,” ucap Rangga.
“Aku tidak peduli itu, Sayang, yang penting aku masih bersama kamu, tidak peduli eyang yang menyerahkan semuanya untuk Agus. Yang aku inginkan hanya bersama kamu. Aku masih bisa bekerja, aku tidak akan kekurangan materi, jika semua fasilitas dari eyang di cabut semua,” ujar Sinta.
“Tidak seperti itu caranya, dong! Agus orang lain, sedangkan kamu cucunya, Sinta!” Rangga sedikit kesal dengan ucapan Sinta tadi, karena yang ia inginkan adalah harta eyangnya, bukan Sinta. Itu mengapa Rangga bisa menahan tidak menyentuh Sinta.
“Yang aku mau kamu, Rangga. Bukan fasilitas dari eyang, bukan harta dari eyang, aku ingin kita bersama,” ucap Sinta.
“Iya, tapi kamu cucunya, Sinta!” tukas Agus yang semakin marah.
“Kok kamu sewot? Aku seperti ini juga demi kamu, Rangga! Aku rela meninggalkan semua yang eyang berikan, hanya demi kamu!” ucap Sinta.
“Iya, aku tahu, Sayang. Jangan nangis dong,” ucap Rangga dengan memeluk Sinta.
“Sialan...! Yang aku butuhkan harta dan perusahaan Hadiwidjaja, bukan kamu, Sinta!” umpat Rangga dalam hatinya.
Ada dendam di antara ayahnya Rangga dan Eyangnya Sinta yang terpendam, dan Rangga ingin membalas semua itu dengan cara mendekati Sinta dan membujuknya, agar semua kekayaan Hadiwidjaja di limpahkan pada Sinta, cucu semata wayangnya. Namun, Eyang Hadi mengetahui kelicikan Rangga terlebih dulu, dan mengambil tindakan dengan cara menikahkan Sinta dengan Agus.
“Kita masih bisa cari uang sendiri, Rangga, tanpa uang dari Eyang aku pun bisa, aku hanya ingin kita bersama,” ucap Sinta.
“Ya, aku tahu itu, sudah jangan menangis,” ucap Rangga dengan mengusap kepala Sinta.
Rangga masih berpikir bagaimana caranya agar semua harta kekayaan Hadiwidjaja jatuh ke tangan Sinta, bukan Agus.
“Kamu mau kita bersama, dan kamu meninggalkan Agus?” tanya Rangga.
“Iya, aku mau itu,” jawab Sinta.
“Kamu harus hamil denganku, Sinta. Itu jalan satu-satunya,” ucap Rangga.
“Maksud kamu? Aku harus hamil di luar nikah dengan kamu, kita melakukan itu sebelum menikah?” tanya Sinta.
“Iya, seperti itu, kalau kamu hamil, eyang kamu menyuruhku tanggung jawab, dan kamu ceraikan Agus,” jelas Rangga.
“A--aku, belum siap untuk itu, aku akan memikirkannya lagi. Aku mau tidur,” ucap Sinta dengan meninggalkan Rangga ke kamarnya.
Rangga tersenyum licik setelah Sinta pergi ke kamarnya. Rangga tidak bisa membayangkan jika bisa bersama Sinta tapi sama saja tidak memiliki apapun dari eyangnya.
“Jalan satu-satunya, aku harus menghabisi Hadiwidjaja, setelah aku berhasil membuat Sinta jatuh di pelukanku,” gumam Rangga.
^^^
Sinta masih berpikir soal ucapan Rangga tadi. Dia tidak mengerti mengapa Rangga bisa berpikiran seperti itu. Meski kadang ia menginginkan lebih dari di sentuh oleh Rangga, tapi dia takut, karena semua temannya yang melakukan hal itu pertama kali akan terasa sakit. Ya, ketakutan itu semakin merasuki dirinya, saat dia melihat temannya seusai check-in dengan kekasihnya tidak bisa berjalan karena menahan sakit.
“Aku tidak mau, aku tidak ingin seperti itu,” ucap Sinta dengan lirih.
Pikiran Sinta masih sedikit was-was berada di apartemen Rangga. Dia takut Rangga akan nekat memangsanya karena tadi Rangga benar-benar serius menginginkan hal itu agar dirinya hamil.
“Aku harus pulang, aku harus cari alasan untuk pulang,” ucap Sinta dengan mengambil cardigan dan tasnya.
Sinta keluar dari kamarnya, dia melihat Rangga masih duduk di sofa sambil mengisap sebatang rokok. Rangga melirik Sinta yang sudah ada di sampingnya, dia meletakan rokoknya di asbak.
“Mau ke mana?” tanya Rangga.
“Aku harus ke salon, tadi karyawanku menelfonku, dan menyuruhku ke sana,” jawab Sinta dengan alasan ingin ke salonnya.
“Mau aku antar?” tanya Rangga.
“Enggak usah, aku pakai taksi saja,” jawab Sinta.
Sinta langsung pergi dari apartemen Rangga. Dia sedikit ketakutan kalau Rangga akan melakukan hal yang tadi ia bicarakan pada Sinta. Sinta berjalan lebih cepat lagi untuk sampai ke depan. Dia benar-benar ketakutan mengingat ucapan Rangga tadi.
“Enggak, aku enggak mau, aku tidak ingin melakukannya. Rangga benar-benar gila! Memang tidak ada cara lain selain itu, apa?!” umpat Sinta.
“Cara apalagi, Sinta?” tanya Agus yang ada di belakangnya.
“Ngapain kamu di Sini?!” tanya Sinta denga ketus.
“Lagi cari istriku yang kabur dengan laki-laki hidung belang,” jawab Agus dengan tersenyum pada Sinta.
“Gila! Aku mau pulang,” ucap Sinta.
“Ayo sama aku, kamu belum makan, kan? Kita makan siang yuk?” ajak Agus.
“Oke, mumpung aku sedang lapar.” Sinta mengiyakan ajakan Agus untuk makan siang.
“Dari pagi kamu di apartemen Rangga di anggurin? Enggak di kasih makan?” tanya Agus.
“Emang aku piaraan? Di kasih makan!” tukas Sinta. “Ayo katanya mau traktir aku makan?” ajak Sinta dengan menarik tangan Agus.
“Iya sabar! Sudah lapar sekali rupanya, makanya kalau mau pergi sarapan dulu,” ucap Agus.
Sinta berjalan mendahului Agus dengan kesal. Agus hanya tersenyum melihat tingkah Sinta yang menurut Agus sangat lucu dan menggemaskan. Agus menebak Sinta tadi takut karena Rangga mengajak melakukan hubungan intim dengannya.
“Mau makan di mana?” tanya Agus.
“Terserah yang penting enak,” jawab Sinta.
“Ya sudah di rumah saja, sudah pasti enak,” ujar Agus.
“Enggak ada romantis-romantisnya banget jadi laki-laki! Masa ngajak makan siang di rumah!” tukas Sinta dengan kesal.
“Apa kamu pikir Rangga romantis?” tanya Agus.
“Jangan bahas dia dulu!” jawabnya dengan kesal.
“Kenapa? Rangga minta uang? Atau minta kamu melayaninya seperti para wanita malam itu?” tanya Agus.
“Agus! Jangan bahas itu! kamu tahu aku lapar?!” seru Sinta dengan penuh amarah.
“Iya, kamu resek kalau lagi lapar!” tukas Agus.
“Nah, itu tahu, makanya buruan!” ucap Sinta.
Sinta sedikit lega karena dia bertemu dengan Agus, coba kalau tidak bertemu, tidak tahu nasibnya yang kelaparan dan ketakutan.
Mereka sampai di restoran, Sinta dan Agus langsung turun dan masuk ke dalam. Agus mengajak Sinta duduk di tempat yang dekat dengan jendela dan view nya bagus, karena bisa melihat pemandangan yang cukup segar dipandang, di belakang restoran.
“Kamu mau makan apa?” tanya Agus.
“Sebentar aku akan pilih menunya,” jawab Sinta.
Sinta sibuk memilih beberapa menu untuk dirinya. Seperti ini Sinta kalau sedang ketakutan dan sedikit emosi, nafsu makannya bertambah.
“Kamu tidak salah pesan makanan sebanyak itu?” tanya Agus.
“Enggak, aku memang ingin makan semua yang aku pesan,” jawab Sinta.
“Gak takut gendut?” tanya Agus.
“Enggak, aku bisa diet lagi,” jawab Sinta.
“Bagus gemukan, kan chubby,” ucap Agus.
“Sudah jangan banyak bicara, kamu mau pesan makanan tidak?” tanya Sinta.
“Iya, masa kamu saja yang makan,” jawab Agus.
Sinta diam dengan tatapan kosong dan menatap ke arah jendela. Agus mengerti kalau Sinta sedang ada masalah dengan Rangga. Bisa jadi Rangga meminta uang Sinta lagi, atau Rangga meminta Sinta melayaninya.
“Sin, jangan melamun,” ucap Agus dengan mengagetkan Sinta yang memang sedang melamun memikirkan ucapan Rangga tadi.
“Eng--enggak, siapa yang melamun?” ucap Sinta.
“Sedang ada masalah dengan Rangga?” tanya Agus.
“Hmmm... enggak ada, sudah jangan bahas dia, aku mau makan, lapar. Makanan kita sudah datang,” ucap Sinta dengan langsung mengambil makanan yang ia pesan dan menikmatinya.
“Oke, kalau tidak mau cerita sama aku,” ucap Agus.
Sinta menghabiskan makanan yang ia pesan tadi. Entah mengapa dia sangat lapar sekali saat ini, hingga dia menghabiskan makanannya dengan cepat.
Agus melihat Sinta mengambil ponselnya yang berbunyi, tapi Sinta langsung mereject panggilan di ponselnya.
“Kenapa tidak diangkat?” tanya Agus.
“Tidak penting,” jawabnya. “Kita pulang yuk? Sudah selesai, kan?” ajak Sinta.
“Iya sudah, kita langsung pulang atau kamu mau mampir ke mana?” tanya Agus.
“Sepertinya aku butuh beberapa cemilan, tapi aku malas mau belinya,” jawab Sinta.
“Iya, nanti aku belikan, aku bayar dulu,” ucap Agus.
Sinta melihat ponselnya lagi, Rangga mengirim dia pesan, dan lagi-lagi Rangga meminta uang pada Sinta. Dia tidak menjawab apapun pesan dari Rangga, tapi dia langsung mengirim uang yang Rangga minta.
^^^
Agus membelokan mobilnya ke arah mini market, Sinta tidak mau turun dan menunggu di mobil. Agus masuk ke dalam mini market dan membelikan beberapa cemilan untuk Sinta. Agus melihat ada keanehan pada diri Sinta, tapi Agus tidak peduli itu, yang terpenting istrinya pulang ke rumah.
Agus tahu Sinta ada di apartement Rangga karena Heri mengawasinya dan beberapa orang lagi yang mengawasinya. Beruntung tadi Agus langsung melihat istrinya keluar dari apartement, dan dia langsung menghampiri istrinya yang terlihat sedang panik dan ketakutan.
Agus keluar dari mini market dengan membawakan dua katung plastik besar berjalan ke arah mobil. Sinta melihat Agus yang berjalan menuju mobilnya.
“Memang pantas aku jadikan kacung,” ucap Sinta dengan lirih.
Agus menaruh dua kantung plastik berukuran besar ke jok belakang, karena Sinta hanya meminta es krimnya saja. Sinta seperti anak kecil, dia kegirangan sekali dibelikan es krim oleh Agus. Dia memang jarang makan yang manis-manis dan sudah lama sekali dia tidak makan es krim.
“Jangan belepotan makannya, seperti anak kecil saja,” ucap Agus dengan menyeka sudut bibir Sinta yang belepotan karena Es Krim.
Sinta tercenung menatap Agus yang sedang mengusap bibirnya dengan jarinya, tanpa menggunakan tissue.
“Sudah bersih, makannya hati-hati,” ucap Agus.
“Ah... iya. Es krim nya enak sekali, aku sudah lama tidak makan es krim. Makasih, ya?” ucap Sinta dengan gugup dan jantungnya berdetak tidak beraturan.
“Iya, tidak usah merah gitu wajahnya,” ucap Agus dengan mengurai senyumnya.
Sinta langsung melihat kaca spion, memastikan wajahnya memerah atau tidak. Ya, memang sedikit merona.
“Mungkin wajar, diperlakukan agak manis oleh si kacung, jadi seperti ini,” gumam Sinta.
“Sin, ini mau pulang, atau kamu ingin ke mana lagi?” tanya Agus.
“Memang mau ke mana? Kamu ingin ke mana?” Sinta balik tanya pada Agus.
“Kali aja kamu ingin ke pantai, atau kita ke daerah pegunungan, lihat yang segar-segar, mumpung masih belum sore,” jawab Agus.
“Ke kebun teh milik Eyang, ya? lama tidak ke sana, ya kalau kemalaman kita bisa ke Vila eyang, kamu tidak ada kerjaan, kan?” tanya Sinta.
“Boleh, kamu mau ke sana?” tanya Agus memastikan lagi.
“Iya, kita ke sana,” jawab Sinta.
“Oke, kita berangkat sekarang,” ucap Agus.
Ponsel Agus berdering, ada seseorang yang memanggilnya. Sekretaris pribadinya menelepon Agus, dan Agus langsung mengangkatnya.
“Hallo, Adena, ada apa?” tanya Agus.
“Pak, saya mau mengingatkan, besok ada meeting dengan Pak Wildan, jam sepuluh pagi,” jawab Adena.
“Saya tidak lupa itu, Adena. Mungkin saya datang agak terlambat, saya sedang berada di luar kota dengan istriku,” ucap Agus.
“Ba--baik, Pak,” jawab Adena dengan sedikit terbata-bata.
Agus mengakhiri panggilannya, dan menyuruh Sinta menaruh ponselnya di tas Sinta.
“Siapa, Gus?” tanya Sinta.
“Adena, sekretaris baru, ya baru satu bulan, sih. Dia mengingatkan aku besok ada meeting jam sepuluh. Padahal aku sudah ingat itu, tapi dia selalu begitu, mengingatkan terus,” jelas Agus dengan mengemudikan mobilnya.
“Mungkin suka sama kamu,” ucap Sinta.
“Mana mungkin wanita menyukai suami orang, ada-ada saja kamu,” ucap Agus dengan mengusap kepala Sinta.
Sinta hanya diam dan melirik Agus yang sedang fokus menyetir. Sinta mematikan ponselnya, dia tidak ingin di ganggu Rangga, dan Rangga pun tidak akan menghubunginya, karena sudah mendapat uang dari Sinta. Jadi, menurut Sinta tidak ada gunanya mengaktifkan telfonnya.