Love Is Sinta Bab 15 - Making Love

2017 Words
Sinta hanya diam dan melirik Agus yang sedang fokus menyetir. Sinta mematikan ponselnya, dia tidak ingin di ganggu Rangga, dan Rangga pun tidak akan menghubunginya, karena sudah mendapat uang dari Sinta. Jadi, menurut Sinta tidak ada gunanya mengaktifkan telfonnya. Sinta menikmati perjalanan menuju ke perkebunan teh milik eyangnya. Dia sangat merindukan pepohonan hijau, segarnya udara pegunungan, dan banyak lagi suasana yang Sinta Rindukan saat berada di kebun teh milik opanya. ^^^ Agus memarkirkan mobilnya di tempat parkir yang berada di dekat area perkebunan teh milik Eyang Hadi. Sinta sudah berjalan lebih dulu menuju perkebunan teh. Hamparan hijau daun teh yang segar sedikit mengubah suasana hati Sinta menjadi lebih fresh lagi. Dia berjalan di tengah-tengah hamparan hijau daun teh. Agus hanya melihat istrinya dari kejauhan yang sedang menikmati segarnya udara di sore ini. Agus mengambil ponselnya dan mengambil gambar Sinta. Sinta tahu kalau dirinya sedang di foto Agus, dia bergaya di depan kamera seperti sedang melakukan foto model. “Gus, kamu tidak ke sini?!” seru Sinta. “Aku tidak mau mengganggu kamu!” seru Agus. “Ah, gak asik kamu!” ucap Sinta dengan sedikit kesal. Agus tidak tahu, Sinta sedang tidak baik-baik hatinya. Dia mungkin butuh teman untuk cerita. Agus turun ke bawah mendekati Sinta yang sedang berjalan di tengah hamparan kebun teh. “Awww....” Sinta terjatuh karena kakinya terpeleset. “Sinta, hati-hati, dong!” ucap Agus dengan menangkap tubuh Sinta yang mau jatuh. Sinta menatap wajah Agus yang berjarak dekat sekali dengan wajahnya. Sinta merasa seperti deja vu, dia pernah mengalami hal semacam ini, entah di mana Sinta lupa. “Gus, kakiku sakit,” ringis Sinta. “Bisa jalan?” tanya Agus. “Enggak...,” jawabnya dengan manja. “Sinta, andai kamu tahu dan ingat, aku pertama kali melihatmu dan jatuh cinta padamu dengan cara seperti ini. Dan ini terulang lagi, aku menggendong kamu, karena kamu terpeleset,” gumam Agus dengan menggendong Sinta. Agus membawa Sinta kemabali ke mobil. Dia mendudukan Sinta dan melihiat kaki Sinta yang terkilir. “Aku urut sebentar, ya?” ucap Agus. “Tapi jangan sakit-sakit,” ucap Sinta. “Enggak, sakit sedikit saja, kok,” ucap Agus. Agus mengambil minyak urut di kotak obat yang ia sediakan di mobilnya. Agus menyentuh kaki Sinta dan mengurutnya. Ini kedua kalinya Agus seperti ini. “Kamu kebiasaan, ya? Sering terpeleset?” ucap Agus dengan lirih. “Maksud kamu?” tanya Sinta. “Ehm... enggak ada maksud,” jawab Agus dengan gugup. “Aku kira,” ucap Sinta. “Kenapa? Kamu pernah jatuh, terpeleset, sampai terkilir?” tanya Agus. “Pernah ini kedua kalinya aku seperti ini, dan aku tadi sempat merasa kejadian waktu itu aku terpeleset terulang lagi,” jawab Sinta. “Perasaan kamu saja mungkin, atau memang kejadian lagi,” ujar Agus. “Enggak tahu juga, sih?” jawab Sinta. “Sudah selesai belum?” tanya Sinta. “Belum, aku lurusin uratnya sebentar, biar tidak terlalu sakit. Jangan teriak, ya? Ini agak sakit sedikit,” ucap Agus. “Awww.... Agus, sakit sekali!” Sinta menjerit kesakitan dan menjambak rambut Agus. “Sinta, sakit ini, udah selesai, jangan dijambak rambutku,” ucap Agus. “Maaf, Gus,” ucap Sinta. “Gus, aku mau menginap di Vila eyang, kamu mau, kan?” tanya Sinta. “Maulah, sama istri masa enggak mau,” jawab Agus dengan semangat. “Tapi jangan macem-macem,” ucap Sinta. “Iya, enggak,” jawab Agus. Sinta mengajak ke Vila eyangnya. Mereka di sambut penjaga Vila. Vila yang sangat klasik dan luas itu, membuat Agus jatuh cinta denga desainnya. “Non Sinta, maaf, kamar satunya sedang dalam perbaikan, adanya Cuma satu kamar saja,” ucap Pelayan yang menyiapkan kamar untuk Sinta. “Ehm... tidak apa-apa, Mbak. Saya bisa tidur di sofa,” ucp Agus. “Di sini dingin sekali kalau malam, Tuan,” ucap Pelayan tersebut. “Ada selimut, kan? Nanti saya minta selimut dan bantal saja, Mbak,” ucap Agus. “Baik, Tuan,” ucap Pelayan. Agus mendekati jendela, dia melihat keluar jendala, meliihat kabut yang sudah mulai turun menutup pepohonan hijau yang rindang. Sinta melihat Agus yang sedang berdiri di dekat jendela, dan mendekatinya. “Gus, kamu tidur di kamar saja, masa iya di sofa, dingin Gus,” ucap Sinta. “Tidak apa-apa, aku di sofa saja,” ucap Agus. “Masih sakit kakinya?” tanya Agus. “Sudah sedikit tidak sakit, terima kasih, ya?” ucap Sinta. “Iya, sama-sama. Kamu mau istirahat di kamar? Ayo aku gendong,” ucap Agus. “Aku bisa jalan sendiri, Gus. Tapi, minta tolong papah aku, ya?” ucap Sinta. “Iya, ayo.” Agus mengantar Sinta masuk ke kamarnya. Sinta merindukan kamar yang selalu ia gunakan saat dia butuh ketenangan, dan melepas lelah, saat penat melanda. “Gus, ada Sofa di sini, kamu tidur di sofa sini saja, di luar dingin,” ucap Sinta. “Iya itu bisa diatur. Aku mau sholat dulu, kamu tidak sholat?” tanya Agus. “Ehm....” Sinta memang tidak pernah sholat, dia bingung mau menjawab apa, karena dia tidak sedang datang bulan. “Kenapa, kamu sedang datang bulan?” tanya Agus. “Aku tidak bawa mukenah, Gus,” jawab Sinta. “Oh, ya sudah, kamu tunggu sini, aku mau keluar dulu.” Agus keluar mengambil mukenah yang ada di mobilnya. Mukenah milik Adena yang kemarin ketinggalan saat dia menghadiri meeting bersama di luar kota. Agus membawa mukenah ke dalam kamar Sinta. Sinta sedang berada di kamar mandi, mungkin sedang mandi atau sedang cuci muka, Agus tidak tahu. Sinta keluar dari kamar mandi, dan melihat Agus sedang berdiri menata sajadah dan menaruh mukenah milik Adena di atas tempat tidur. “Gus, kok ada dua sajadah?” tanya Sinta. “Sholat, ya? Ada mukenah itu,” ucap Agus. “Mukenah siapa, Gus?” tanya Sinta. “Punya Adena, kemarin waktu meeting dia lupa membawa lagi ke dalam kantor, dia langsung pulang karena sudah di jemput kakaknya,” jawab Agus. “Oh, tapi a--aku, tidak bisa sholat, Gus,” ucap Sinta dengan gugup dan malu. “Aku ajari, ayo ambil air wudhu,” ucap Agus dan mengajak Sinta mengambil air wudhu. Baru pertama kalinya dia menemui laki-laki seperti ini. Dia pun baru pertama kalinya berwudhu. Dari kecil Sinta tidak pernah diajari sholat dan mengaji sama sekali, hingga sekarang dia buta soal agama. Yang Sinta tahu hanya kehidupan glamor, dan dunia malam. Agus membimbing Sinta untuk berwudhu. Setelah selesai Sinta memakai mukenah milik Adena. “Apa Adena selalu bawa mukenah kalau ke mana-mana?” tanya Sinta. “Iya, karena dia tahu, kewajiban seorang muslim, meski saat perjalanan jauh mau meeting, dia selalu berhenti untuk Sholat, jika sudah waktu sholat,” jawab Agus. “Sudah, sekarang aku ajari tata cara dan niatnya,” ucap Agus. Agus mengajari tata cara sholat dan bacaannya. Sinta memang tahu, bacaan dan surat pendek, tapi dia tidak pernah sholat sama sekali. “Sudah bisa?” tanya Agus. “Sudah,” jawab Sinta. “Aku mulai, ya?” ucap Agus. Agus memulai sholatnya. Sinta tidak mengerti mengapa dia tidak menolak saat Agus mengajak sholat. Padahal dia selalu menolak kalau di rumah, saat Agus mengajaknya sholat. Demi apapun, hati Sinta sedikit tersentuh dengan apa yang Agus lakukan hari ini pada Sinta. Seusai Sholat, Agus mengajak Sinta untuk bersalaman. Sinta mencium tangan Agus, dan Agus mengecup kening Sinta. Sinta merasakan jantungnya berdegub sangat kencang, saat Agus mengecup keningnya. “Kenapa pipinya memerah? Aku hanya mencium keningmu saja, aku tidak akan macam-macam, kalau kamu belum mau melakukannya,” ucap Agus. “Iya, aku tahu. Masa iya pipiku merah?” tanya Sinta. “Lihat saja di kaca. Sudah aku mau ke belakang, mau bikin kopi, kamu mau kopi?” tanya Agus. “Minta Bibi saja suruh buatkan teh hangan untukku, aku kangen rasanya teh khas sini, Gus,” ucap Sinta. “Oke, aku kebelakang,” ucap Agus. Sinta masih tercenung dengan apa yang baru saja terjadi. Dia Sholat dengan imamnya. Ya, dia baru pertama kali Sholat, dan langsung dengan imam yang sah sudah menjadi suaminya. Ini suatu pengalaman Sinta yang mungkin membuat hati Sinta sedikit terbuka. Sinta melihat mukena milik Adena. Dia melipatnya kembali dan memasukannya kembali ke dalam tasnya. “Sedekat itukah Agus dengan Sekretarisnya?” gumam Sinta. “Ah, apa urusanku, biarkan saja, mau dia dekat dengan siapapun,” ucap Sinta dengan lirih. Namun, setelah mengucapkan kata itu, hatinya seakan ada yang mengganjal, seolah-olah tak rela Agus dekat dengan Adena. ^^^ Malam ini mungkin malam yang bersejarah dalam hidup Sinta. Di waktu Maghrib dan Isya, dia kembali sholat berjamaah dengan Agus. Seusai makan malam, mereka duduk di ruang tengah. Sinta duduk di depan Agus dengan menikmati cemilan yang tadi Agus beli di mini market. “Gus, aku mau tanya, tapi jawab jujur,” ucap Sinta memecah keheningan mereka, karena Agus dari tadi sedikit sibuk menyiapkan bahan untuk meeting besok pagi. “Mau tanya apa?” tanya Agus. “Gus, apa kalau pertama melakukan hubungan suami istri sakit, ya? Ehm... maksudku, pihak yang cewek yang sakit,” ucap Sinta. “Kamu kok lucu tanyanya, Sin?” jawab Agus dengan tersenyum dan menghentikan pekerjaannya. “Kok lucu? Aku tanya serius, Agus!” ucap Sinta dengan kesal. “Gimana jelasinnya, ya?” ucap Agus dengan bingung. “Kamu memang belum pernah? Maaf, kamu sebulan ini banyak menginap dengan Rangga lho, apa kamu tidak melakukannya?” tanya Agus. “Gus, sudah deh, jangan bahas Rangga, masa iya aku melakukan itu? Aku saja sedang sebal dengan dia!” ucap Sinta. “Kenapa sebel? Dia meminta kamu melayaninya?” tanya Agus. “Itu yang membuat aku takut, masa iya, dia minta aku melakukan itu? Kata Devi sama Manda sakit, Gus, kalau habis ehhmm... ML, katanya,” ucap Sinta dengan kepolosannya. Agus tersenyum melihat Sinta yang benar-benar ingin tahu soal itu. Wajah polosnya membuat Agus semakin gemas sekali. “Sinta... Sinta... aku baru menemukan wanita unik seperti kamu. Biasanya wanita yang berprofesi seperti kamu, rela melakukan hal seperti itu, apalagi memiliki pacar seperti Rangga, tapi kamu ketakutan saat mendengar hal soal Making Love,” gumam Agus. “Gus... Malah diam! Jawab Agus!” ucap Sinta dengan kesal dan melempar bantal sofa ke wajah Agus. “Jadi gini, Sin, kamu pernah mengalami tertusuk sesuatu?” tanya Agus. “Enggaklah!” jawab Sinta. “Masa di tusuk?!” tukas Sinta. “Gimana jelasinnya, ya? Ya, memang sih sakit, dan pasti berdarah kalau pertama melakukannya. Terus, ada yang tidak bisa jalan, karena selaput dara sobek, dan kadang juga ada yang berhari-hari sakitnya. Bahkan kadang ada perempuan yang setelah melakukan itu, sakit, badannya pegal, meriang, demam, lalu terjadi peradangan di oragan intimnya. Setahuku seperti itu,” jelas Agus. “Itu aku tahu dari buku, bukan dari orang,” imbuh Agus. “Kok ngeri, Gus?” ucap Sinta dengan wajah yang panik dan ketakutan. “Iya memang seperti itu, Sinta. Benar kata Devi dan Manda, pertama kali melakukan sakit,” ucap Agus. “Iya, Devi juga sampai pendarahan, dan sakit selama tiga hari,” ucap Sinta dengan wajah yang bertambah takut. “Rangga mengajak kamu Making Love?” tanya Agus. “I--Iya,” jawabnya polos. “Kamu mau?” tanya Agus. “Aku kabur, dan sekarang juga aku tidak berani mengaktifkan ponselku,” jawab Sinta. “Bagus deh, moga saja kamu tetap seperti ini, Sin. Kamu takut, saat akan melakukannya dengan Rangga. Dan, aku harus semakin ketat mengawasi kamu ke mana pun kamu pergi,” gumam Agus. “Sudah malam, ayo tidur, besok pagi-pagi kita harus kembali, aku ada meeting,” ucap Agus. “Boleh aku ikut?” pinta Sinta. “Iya, boleh,” jawab Agus. “Ayo sekarang tidur, biar besok bisa bangun pagi,” ajak Agus untuk ke kamar. Sinta merebahkan dirinya di tempat tidur. Agus mengambil selimut dan bantal untuk tidur di sofa yang ada di kamarnya. “Selamat tidur,” ucap Agus. “Selamat tidur juga, Gus,” ucap Sinta. Sinta masih belum bisa tidur juga. Dia masih mencari posisi yang enak untuk tidur, karena pikirannya terganggu oleh sosok Rangga. Sinta masih kepikiran apa yang Agus katakan tadi soal pertama kali melakukan hubungan intim dengan pria. Dia semakin ketakutan, dan entah ketakutan itu akan selamanya, atau Sinta akan terbuai dan terlena dengan bujukan Rangga selanjutnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD