Bab 5 – Laki-Laki Pemarah

1634 Words
“Sorry, Babe, kita lanjut besok aja ya,” kata Leon seraya mendorong perempuan yang bersamanya itu menjauh. “Kenapa?” tanya perempuan itu dengan nada manja. “Nggak mungkin karena kehadiran orang-orang tadi kan? Perempuan norak itu, kamu kenal dia?” “Aku akan hubungi kamu lagi besok,” kata Leon sambil menjauhkan diri. Matanya menatap pintu kamar tempat Zoya tadi menghilang. Setelah mata mereka bertemu tadi, gadis itu langsung memalingkan wajah dan berpura-pura tidak melihat apa pun. Sikap Zoya itu tiba-tiba saja membuat Leont jengkel. “Leon, kita baru aja mulai,” rengek perempuan yang masih bergelayut padanya itu. “Melanie, please, sebaiknya kamu pulang. Besok kamu ada pemotretan kan?” bujuk Leon mencoba bersabar. Hasratnya sudah padam sejak matanya bertemu dengan mata Zoya tadi. Entah bagaimana tatapan gadis itu bagai air yang memadamkan api gairahnya. Leon seketika kehilangan minat pada perempuan yang bersamanya ini. Perempuan itu memasang wajah cemberut. Leon pun mengusap pipinya dengan lembut. “Jangan cemberut. Kamu bikin aku merasa bersalah,” ujar Leon dengan tatapan memohon yang dibuat-buat. Melanie menyentuh dagu Leon dengan jemarinya yang bercat kuku merah. “Kamu berhutang padaku besok,” bisiknya lalu mencium sudut bibir Leon. “Oke,” ujar Leon tersenyum. Melanie kembali mengusap dagu Leon sekilas, kemudian langsung berbalik dan melangkah menuju lift. Leon mengamati langkahnya hingga perempuan itu menghilang ke dalam lift. Setelahnya, ia pun segera melangkahkan kaki menuju kamar Zoya. Leon menekan bel di kamar Zoya. Tak lama kemudian, pintu kamar tersebut pun membuka. “Ada apa?” tanya Zoya yang muncul di balik pintu. Gadis itu tadi telah lebih dulu mengintip Leon dari lubang yang ada di pintu, jadi eskpresinya saat membuka pintu sama sekali tidak tampak terkejut dengan kehadiran laki-laki itu di sana. “Sedang menunggu pelanggan?” Leon balas bertanya sambil tersenyum meledek. Pertanyaan itu membuat Zoya menarik napas dalam-dalam. Jadi ini yang dipikirkan Leon saat melihatnya tadi? “Berapa tarifmu untuk jam seperti ini?” tanya laki-laki itu lagi. Ucapan Leon barusan sangat menyakiti Zoya. Ya, siapa yang tidak sakit hati jika dianggap sedang menjual diri? Tapi ia segera menepis rasa sakit itu dan memilih untuk mengabaikannya saja. “Sepertinya jawaban apa pun yang akan aku berikan nggak bakalan bikin kamu percaya. Jadi silakan saja percaya pada apa yang ada di pikiran kamu,” kata Zoya sambil menghela napas lelah. Leon menaikkan alisnya. Tapi Zoya memang sedang tidak berminat bicara basa-basi atau menjelaskan apa pun lagi. Karena itu ia pun memutuskan untuk mengakhiri pembicaraan mereka. “Selamat siang,” ujar Zoya, lalu perlahan kembali menutup daun pintu. Leon mengerjap ketika pintu di hadapannya kembali tertutup. Gadis ini menutup pintu di depan hidungnya? Berani sekali dia! Baru kali ini ia menemukan orang yang bersikap kurang ajar seperti ini padanya. Gadis ini benar-benar tidak sopan! *** Setelah menutup pintu, Zoya menghela napas panjang sambil bersandar ke daun pintu. Setelahnya, ia pun menarik beberapa napas, kemudian melangkah menuju sofa. Hatinya masih jengkel atas tuduhan sepihak yang diberikan Leon tadi. Jadi sekarang Leon menuduhnya sedang menjual diri ya? Apa pria itu pikir Zoya cukup bodoh dengan melakukannya di hotel milik pria itu? Lagi pula, apa dengan penampilannya seperti ini, Zoya terlihat seperti ingin menjual diri? Zoya menunduk sambil memperhatikan pakaiannya. Kemeja putih dan celana kain berwarna hitam. Ini pakaian kerjanya di restoran. Saat ini ia lebih mirip kotoran cicak daripada seorang perempuan yang ingin menjual diri. Biasalah, Mbak. Cucu pemilik hotel memang suka bawa perempuan ke sini. Lantai ini privasinya juga terjaga, sama seperti lantai lainnya. Tapi Tuan Leon memang nggak pernah bawa pacarnya ke kamar di lantai lebih atas lagi, soalnya kamar yang di atas jauh lebih mahal dari yang ada di lantai ini. Dia bilang masih ingin main-main sama banyak perempuan, jadi nggak mau ngasih kamar yang bagus-bagus amat. Ada-ada aja ya, Mbak. Zoya kembali ingat dengan ucapan Ridwan tadi. Ia membuang napas dengan kasar sambil menyandarkan punggung ke sofa. Leon memang b******k. Sudah sejak awal ia tahu itu. Lalu kenapa pula Zoya harus merasa tersinggung dengan ucapan laki-laki itu tadi? Terserah saja jika dia beranggapan saat ini Zoya sedang menunggu pelanggan. Itu artinya Leon yang cukup bodoh karena tidak menyadari detail penting lainnya dan hanya memandang buruk pada Zoya. Sambil kembali menarik napas dalam-dalam, Zoya berusaha membujuk dirinya sendiri. Leon bukanlah orang yang ada di circle terdekat Zoya. Jadi apa pun yang pria itu katakan dan lakukan tidak akan menyakiti hatinya lagi. Apa yang Zoya lakukan hanyalah untuk melindungi ibu dan adiknya. Hanya untuk mereka berdua. Jadi ia harus kuat dan tidak membiarkan hal-hal yang tidak penting menyakiti hati dan merusak rencananya. *** “Kamu jemput Zoya di hotel dan antar dia pulang,” ucap Lilia dari seberang telepon sore harinya. “Hah? Mama minta aku jemput dia setelah dia menjual diri?” tanya Leon tak percaya. Ia menyandarkan punggung ke kursi kerja sambil memijat pangkal hidungnya. “Jual diri apanya?” tanya Lilia tak mengerti. “Aku lihat tadi dia ke hotel. Sudah aku bilang ke Mama sebelumnya kan, gadis itu sering menjual diri.” “Mama yang minta dia berada di sana,” kata Lilia. “Apa? Mama yang minta? Mama mau dia mata-matain aku?” tanya Leon tak terima. “Siapa yang minta dia mata-matain kamu?” tanya Lilia balik. “Mama minta dia ke sana karena sekarang dia sudah Mama suruh berhenti dari pekerjaannya. Dia hamil dan nggak boleh kelelahan.” “Terus kenapa dia nggak pulang ke rumahnya aja?” tanya Leon yang masih tidak terima. Tangannya yang tidak memegang ponsel melepas dasi dengan asal-asalan. “Karena dia nggak mau ibunya tahu kalau dia sudah berhenti kerja. Dia juga nggak mau bikin ibunya curiga dan tahu kalau saat ini dia tengah hamil anak kamu.” “Belum tentu anakku, Ma,” koreksi Leon. “Itu anak kamu. Mama tahu,” balas Lilia. “Memangnya Mama Tuhan? Kenapa Mama bisa tahu lebih dulu sebelum kami melakukan tes DNA?” tanya Leon jengkel. Hal ini selalu berhasil membuat Leon kesal setengah mati. Bagaimana mungkin ibunya bisa sangat yakin jika janin yang ada dalam kandungan Zoya itu adalah anaknya? “Karena Mama adalah Mama kamu. Jadi sekarang jangan membantah. Jemput Zoya dan antar dia pulang. Bikin ibunya terkesan sama kamu. Dan ingat, jangan bersikap bodoh.” Setelah mengatakan itu, panggilan telepon mereka pun terputus. Ibunya mematikan telepon secara sepihak, bahkan sebelum Leon memberikan jawaban. Leon menghela napas kasar sambil menatap ponselnya dengan kesal. Kali ini, lagi-lagi ia harus mengikuti permainan ibunya. *** Zoya benar-benar kebingungan. Seharian tadi ia hanya makan dan bermalas-malasan. Ini bukan sesuatu yang biasa ia lakukan sebagai perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga. Tubuhnya tidak terbiasa bersantai. Maka, sore hari ketika waktu sudah menunjukkan jam pulang kerjanya, ia akhirnya bisa bernapas lega. Zoya mematikan televisi, lalu bangkit dari sofa. Ia merapikan pakaiannya dan bersiap untuk menunggu orang suruhan Lilia yang akan menjemputnya di tempat ini untuk mengantarnya pulang. Sebenarnya Zoya ingin pulang sendiri tadi. Tapi Lilia memintanya menunggu. Setelah dipikir-pikir tidak ada salahnya menggunakan layanan yang diberikan wanita itu, hitung-hitung Zoya juga jadi bisa berhemat karena tidak perlu mengeluarkan ongkos untuk pulang. Tak lama kemudian, bel kamarnya kembali berbunyi. Zoya segera menghampiri pintu. Tapi kali ini ia lupa untuk mengintip siapa yang menekan bel di kamarnya, hingga pada saat pintu kamar tersebut membuka, Zoya membelalakkan mata ketika melihat Leon kembali muncul di sana. “Ayo pulang,” ujar laki-laki itu tanpa basa-basi. “Pulang?” tanya Zoya bingung. “Ya, memangnya mau ke mana lagi?” tanya laki-laki itu jengkel. Suasana hatinya jelas tampak lebih buruk dari siang tadi. “Tapi tadi Bu Lilia bilang aku harus menunggu orang suruhannya yang datang untuk mengantarku pu… lang.” Di akhir kalimatnya, Zoya perlahan mulai menyadari hal lainnya. Jangan-jangan orang yang dimaksud Lilia tadi adalah Leon. “Orang suruhan ya?” Leon mendengkus sambil berkacak pinggang. “Apa kamu yang diminta mengantarku pulang?” tanya Zoya hati-hati untuk memastikan. “Menurutmu?” tanya Leon kesal. Julukan “orang suruhan” menyinggung harga dirinya, seolah ia adalah laki-laki bayaran yang bisa disuruh-suruh semaunya. “Maaf. Kalau begitu aku pulang sendiri saja,” kata Zoya sambil melangkah mundur untuk menutup kembali pintu kamarnya. “Oh, begitu maumu?” Leon menatapnya jengkel. “Kamu berencana membuat mamaku mengomel dan menjadikanku repot berkali-kali lipat ya? Nggak akan aku biarkan.” “Tenang saja, aku akan bilang kalau kamu yang mengantarku pulang,” ujar Zoya. “Ya, kamu pikir mamaku bisa dibohongi begitu saja?” Zoya diam. Ia tidak tahu persisnya seperti apa Lilia Virendra itu. Tapi dari cara bicara Leon, sepertinya wanita itu memang tidak bisa dibohongi dengan hal seperti yang ia rencanakan tadi. “Ayo cepat. Lebih mudah jika aku yang mengantar kamu pulang.” Tapi Zoya masih mematung di depan pintu. Sejujurnya ia tidak ingin dekat-dekat dengan Leon, jadi isi kepalanya masih berusaha membuat rencana penolakan. “Lama.” Tiba-tiba saja laki-laki itu menarik tangannya hingga Zoya melangkah keluar dari kamar. “Eh… Tapi… Tapi…” “Nggak ada tapi. Tutup mulutmu dan ikut saja denganku.” “Tapi tasku masih di kamar itu,” ujar Zoya sambil berusaha menarik tangannya. Leon menghentikan langkah, lalu menatap Zoya jengkel. “Sepertinya kamu punya kebiasaan meninggalkan barang-barangmu tiap kali harus pergi ya,” ujar laki-laki itu sinis. “Nggak,” bantah Zoya sambil menggeleng. Kali ini ia sedang tidak ingin diam saja. Ia ingin membalas Leon. “Hal itu cuma terjadi tiap kali harus pergi dengan kamu.” “Aku?” tanya Leon sambil menaikkan alis. “Ya, kamu. Laki-laki pemarah, tukang atur, egois, dan tak berperasaan,” kata Zoya. “Aku laki-laki pemarah?” ulang Leon. “Kamu sebut aku laki-laki pemarah?” ulangnya dengan menatap Zoya sambil mengetatkan rahang. Perempuan ini selain murahan, ternyata juga punya mulut yang sangat menyebalkan. Tapi perempuan ini pula yang akan jadi istrinya. Leon merasa hidupnya benar-benar dalam bencana. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD