Bab 6 - Laki-Laki Pencuri Ciuman

1990 Words
Sepanjang perjalanan menuju rumah Zoya, keduanya tidak lagi berbicara. Bagi Leon, ini adalah saat-saat yang paling menyiksa dalam hidupnya. Terjebak macet bersama gadis menyebalkan yang sebentar lagi akan membuat hidupnya semakin sengsara sambil mencoba bersabar dan menahan diri meski rasa jengkel dan amarah yang bercokol di dadanya menggedor-gedor untuk minta dilepaskan. Tatapan Leon lurus ke depan. Ia berusaha keras berkonsentrasi pada jalan di depan mereka meski sejak tadi mobilnya hanya bergerak pelan dan lebih banyak berhenti. Lagu slow rock dari era tahun sembilan puluhan yang melantun indah dari audio mobil juga tidak bisa mengalihkan pikirannya dari mengutuki Zoya yang duduk di sampingnya. Gadis di sebelahnya ini tadi hendak duduk di kursi penumpang belakang. Enak saja, belum apa-apa sudah berlagak seperti bos besar. Dia pikir Leon adalah supir pribadinya apa? Mentang-mentang hari ini perintah untuk mengantar gadis ini memang atas perintah langsung dari ibunya, bukan berarti Zoya bisa memperlakukan Leon seperti sopir pribadi. Untungnya saat Leon meminta Zoya untuk duduk di depan, gadis itu tidak menjawab apa pun lagi dan langsung patuh begitu saja. Jika saja Zoya sampai menjawab dan membuatnya jengkel, Leon benar-benar akan kembali menurunkannya di tengah jalan seperti kemarin. Tapi meski masih sangat kesal, Leon benci pada matanya yang melirik penasaran pada Zoya yang sejak tadi duduk sambil menoleh ke arah luar jendela yang ada di sisi kirinya. Apa leher perempuan ini tidak terasa sakit? Sudah hampir satu jam mereka seperti ini dan Zoya tidak menunjukkan tanda-tanda ingin mengganti posisi agar lehernya tidak kaku. Ah, tapi itu bukan urusannya bukan? Mungkin karena terlalu bosan, Leon jadi merasa perlu untuk peduli pada hal tersebut. Tidak. Tidak perlu repot-repot untuk peduli. Biarkan saja perempuan itu mau menoleh ke arah kiri sampai kiamat pun tidak masalah. Itu jelas bukan urusannya. Beberapa puluh menit kemudian mereka akhirnya mendekati tempat tinggal Zoya yang berada di pinggir kota. Kediaman gadis itu berada di area padat penduduk yang cukup ramai sore harinya di hari kerja seperti saat ini. Menatap betapa ramainya kendaraan di sekitar mereka membuat Leon langsung berencana untuk menurunkan Zoya begitu saja di tepi jalan. Akan tetapi, ketika ia baru saja hendak menjalankan niatnya, ponselnya tiba-tiba berbunyi. Panggilan tersebut adalah dari ibunya. Leon segera memasang ear piece dan menerima panggilan tersebut. “Halo, Ma,” ujar laki-laki itu. “Leon, kamu di mana?” tanya ibunya. “Lagi di jalan ngantar menantu idaman Mama pulang,” jawab Leon setengah menyindir. Sementara Zoya di sebelahnya masih tampak tidak memberikan reaksi apa pun. Tapi meski begitu Leon tahu kalau perempuan itu mendengar setiap ucapannya. “Jangan antar Zoya pulang dulu. Ayo sekarang kamu sama dia susul Mama ke butik. Kalian harus fitting pakaian pengantin sekarang juga.” “Apa? Harus banget sekarang, Ma?” tanya Leon keberatan. “Iya, memangnya mau kapan lagi? Nggak sampai sepuluh hari lagi resepsi pernikahan kalian akan dilangsungkan.” Leon menghela napas panjang. “Kalau aku nggak fitting bisa kan? Toh mereka juga sudah tahu ukuran pakaianku.” “Nggak bisa. Kali ini kamu juga harus datang. Kenzo dan calon istrinya ada di sini, mereka baru saja hendak menyiapkan gaun pengantin.” Leon terdiam. Jawaban ibunya barusan sudah memberitahunya dengan jelas apa yang menjadi tujuan ibunya agar mereka pergi ke sana sekarang. Tentu saja tidak lain dan tidak bukan adalah karena ibunya ingin ia mengalahkan Kenzo. Leon yakin di sana pasti juga ada ibunya Kenzo hingga membuat ibu Leon merasa perlu untuk melakukan kompetisi. “Oke, aku ke sana sekarang,” jawab Leon. “Mama tunggu ya,” ujar Lilia, kemudian mengakhiri panggilan. Leon menghela napas, lalu tanpa memberitahu Zoya, ia langsung melajukan mobilnya melewati gang rumah perempuan itu dan langsung menuju butik yang disebutkan oleh sang mama di telepon tadi. *** Zoya konsisten untuk mengunci mulutnya sejak tadi. Sejujurnya ia sangat malas untuk bicara dengan Leon. Untungnya ia sempat mencuri dengar obrolan laki-laki itu sebelumnya, jadi ia tidak perlu membuka mulut untuk bertanya ketika Leon melewati rumahnya begitu saja tadi. Ia sudah tahu akan dibawa ke mana, jadi tidak perlu repot-repot untuk bertanya. Empat puluh menit kemudian, mereka akhirnya tiba di butik yang dimaksud oleh ibu Leon. Leon memarkirkan mobilnya, lalu turun tanpa mengucapkan apa pun padanya. Zoya pun akhirnya langsung turun dan mengikuti laki-laki itu menuju pintu masuk butik. Ia sudah pernah datang ke sini sebelumnya bersama Lilia, jadi sudah tidak asing dengan tempat ini. Di sana, mereka disambut oleh seorang petugas, persis seperti saat Leon membawanya ke sebuah butik sebelum makan malam di rumah kakeknya kemarin. Namun, kali ini petugas tersebut langsung mengantarkan mereka ke sebuah ruangan untuk mencoba pakaian yang sudah disiapkan. Ketika mereka tiba di ruangan untuk mencoba pakaian pengantin mereka, Zoya dibuat terkejut karena kali ini cukup ramai, tidak seperti saat ia datang bersama Lilia sebelumnya. Selain desainer dan asistennya, di sana juga ada Isabela dan Lilia. Sementara di sisi dekat pintu masuk, tampak Kenzo, Natya, dan seorang wanita yang tampak seumuran Lilia. Zoya tebak wanita itu adalah orangtua Natya. “Nah, ini dia, akhirnya mereka datang juga,” seru Lilia dari tempat ia duduk. Isabela yang duduk di sebelahnya juga melemparkan senyum pada Zoya. Zoya balas tersenyum, lalu mengarahkan kakinya untuk mendekati perempuan itu. Lalu, saat ia melewati Kenzo dan Natya, Zoya mendengar namanya dipanggil. “Kak Zoya…” Zoya menoleh dan melihat Natya yang tersenyum sambil melambaikan tangan padanya. Seorang petugas sedang mengukur tubuhnya. Zoya balas tersenyum dan hendak membalas untuk melambaikan tangan, tapi tiba-tiba saja pinggangnya dirangkul oleh seseorang dan ia dibawa menjauh dari sana. Zoya menoleh dan melihat Leon yang melakukan hal tersebut padanya. “Ayo, Sayang, kita coba dulu gaun kamu. Kita nggak punya cukup banyak waktu untuk berbasa-basi, kamu belum makan malam.” Zoya yang masih bingung dengan sikap Leon seketika menoleh ke belakang ke arah Natya dan Kenzo yang ternyata masih menatap ke arah mereka. Barusan Leon sedang akting sok mesra di depan mereka kah? “Halo, Zoya.” Sapaan itu membuat Zoya yang masih bingung kembali menatap ke depan. “Oh, halo, Mbak Sofi,” sapa Zoya pada desainer gaun pengantinnya. Sebelumnya mereka sudah pernah berkenalan, jadi kali ini sudah terbiasa pada satu sama lain. “Gaun kamu sudah selesai. Ayo kita coba dulu,” ujar wanita itu. “Ayo dicoba, Zoya. Nenek mau lihat,” ujar Isabela dari sofa tempat ia duduk. Rangkulan Leon di pinggang Zoya akhirnya lepas saat Sofi menarik Zoya menuju kamar ganti. Di sana, dibantu dua orang asisten, Zoya mengenakan gaun putih dengan ekor cukup panjang yang tampak cantik dan pas di tubuhnya. Setelah selesai membantunya mengenakan gaun, mereka juga menyiapkan sepatu putih dengan hak setinggi tujuh centimeter. Kemudian, salah satu asisten Sofi tiba-tiba menggelung rambut Zoya yang terurai. “Cantik banget,” puji perempuan itu. Zoya menatap pantulan bayangannya di cermin dan terpana pada dirinya sendiri. Dengan rambut digelung seperti ini, ia tampak seperti putri dalam buku dongeng yang sering ia baca saat masih kecil dahulu. “Ditambah polesan make up, pasti nanti pengantin pria nggak akan bisa berpaling,” ujar Sofi menimpali. Ia mengamati Zoya selama beberapa saat, memutar tubuhnya untuk memeriksa apakah ada detail yang terlewat, lalu setelahnya tersenyum puas. “Ayo, kita bawa calon pengantin kita ini ke luar.” Dua orang asisten Sofi mengangkat ekor gaun Zoya yang panjang, sementara Sofi membantu Zoya berjalan keluar dari ruang ganti. Ia lalu dibawa berdiri di lantai yang posisinya agak tinggi dan persisi berada di depan sofa yang tadi ditempati Lilia dan Isabela. “Sempurna,” puji Isabela saat melihat Zoya yang berdiri canggung di depan mereka. Kini tidak hanya ada Isabela dan Lilia di sofa panjang yang disusun melengkung tersebut. Leon, Kenzo, Natya, dan juga wanita yang Zoya pikir ibu Natya pun sudah bergabung di sana. Kini, Zoya benar-benar jadi tontonan mereka. “Ayo, calon pengantin pria juga harus mencoba pakaiannya juga,” ujar Sofi. Kini giliran Leon yang diminta untuk berganti pakaian. Sementara menunggu Leon selesai mengganti pakaiannya, Lilia dan Isabela mendekati Zoya yang masih berdiri dengan canggung di hadapan mereka. Dua wanita itu memeriksa gaun Zoya, lalu mengamatinya dari ujung kepala sampai kaki. “Sepertinya memang paling pas dengan rambut yang digelung begini ya, Ma,” ujar Lilia pada ibu mertuanya. Isabela mengangguk setuju. “Ya, ditambah hiasan rambut, Zoya akan jadi pengantin paling cantik nantinya.” Zoya membiarkan mereka mendiskusikan dirinya tanpa berniat terlibat sedikit pun. Tak lama kemudian Leon pun muncul dengan setelah putih yang tampak senada dengan gaun pengantin Zoya. Lilia dan Isabela segera menyingkir dan kembali duduk di sofa ketika Leon mengambil tempat untuk berdiri di samping Zoya. “Wah, serasi sekali,” puji Natya sambil mengatupkan tangan saat melihat Zoya dan Leon berdiri bersisian. “Natya nanti mau gaun pengantin seperti apa?” tanya Isabela. “Yang bagian bawahnya seperti ekor mermaid, Nek,” jawab gadis itu. “Sudah selesai kan nontonnya? Kami mau ganti baju,” ujar Leon. Zoya menoleh sekilas pada laki-laki itu. Tampaknya sama seperti yang Zoya rasakan, Leon juga tidak nyaman untuk menjadi tontonan orang-orang. “Apa semuanya sudah cukup nyaman dipakai? Atau masih ada yang perlu diperbaiki?” tanya Sofi yang berdiri di sisi kanan ruangan bersama asistennya. “Aku sudah oke,” jawab Leon malas-malasan. “Aku juga sudah, Mbak,” jawab Zoya. “Ya sudah, kalau begitu kalian boleh ganti baju,” ujar Sofi. Dua asistennya dengan sigap meraih ekor gaun Zoya yang panjang dan membantunya kembali ke kamar ganti. Zoya melihat Leon mengekor di belakang mereka, lalu menghilang ke sisi lain ruangan dengan bilik lainnya. Setelah Zoya selesai berganti pakaian, ia lebih dulu hendak keluar untuk bergabung dengan Lilia dan yang lainnya. Akan tetapi, suara obrolan di luar sana menghentikan langkah kakinya. “Ya, biasalah Leon. Dia memang seperti itu.” Itu suara Lilia. “Tapi harusnya dia bisa lebih manis seperti Ken yang selalu penuh perhatian dan lembut saat berbicara. Anak itu kenapa seperti penggerutu sih?” Kali ini suara Isabela. “Mungkin Leon tidak nyaman karena mendadak jadi tontonan kita seperti ini, Nek,” ujar Kenzo. “Ya kita kan bertemu di sini secara kebetulan. Harusnya dia tidak perlu memasang wajah cemberut seperti itu,” ujar Isabela lagi. “Apa kamu nggak lihat tadi, mereka berdua berdiri dengan canggung seperti itu. Zoya pasti tidak nyaman dengan suasana hati Leon yang buruk. Kamu harus mengajari adikmu itu bagaimana harus bersikap pada perempuan, supaya dia tidak bersikap seenaknya terus begitu. Orang lain akan beranggapan kalau Leon seperti dipaksa untuk menikahi Zoya. Itu kan bisa menimbulkan gosip yang tidak menyenangkan.” Zoya benar-benar segan untuk muncul di sana sekarang. Mereka kini jelas tengah membicarakan Leon. Mungkin sebaiknya Zoya keluar melalui pintu khusus yang dilalui asisten Sofi tadi saja, jadi ia tidak perlu muncul dan mengejutkan mereka yang tengah membicarakan Leon. Akan tetapi, baru saja Zoya membalik badan, tubuhnya hampir saja menabrak tubuh Leon di depannya. Zoya mundur selangkah untuk menghindar, akan tetapi Leon malah bergerak maju dan meraih pinggangnya. Zoya sudah akan membuka mulut untuk bertanya apa yang laki-laki itu lakukan, tapi tiba-tiba saja Leon membungkam bibirnya dengan bibir laki-laki itu sendiri. Zoya terkesiap, tapi Leon malah makin memperdalam ciumannya. Sensasi asing mulai merambat naik ke tubuh Zoya saat lidah Leon bertemu dengan lidahnya. Ia ingat dengan ciuman ini. Ia ingat dengan sensasi asing ini. Rengkuhan Leon di pinggangnya semakin erat, membuat tubuh mereka semakin menempel. Kaki Zoya mendadak terasa seperti tak bertulang. Untung saja Leon menahan tubuhnya, jika tidak mungkin ia sudah jatuh merosot ke lantai. Kenapa laki-laki ini tiba-tiba menciumnya? Apa yang Leon lakukan barusan bisa disebut mencuri ciuman darinya kan? Satu sisi waras dalam diri Zoya mulai mempertanyakan hal ini, meski ia sendiri diam saja dan membiarkan Leon menciumnya. Tapi beberapa saat setelah itu, Zoya tidak lagi mampu berpikir ketika sekitarnya terasa hening. Seolah yang ada di sana hanyalah dirinya dan Leon saja. Ia mulai terhanyut dalam ciuman Leon yang memabukkan. Laki-laki pemarah ini benar-benar pencium yang handal. “ASTAGA!” “Apa yang kalian berdua lakukan?!” Suara dari arah pintu masuk ruang ganti tiba-tiba membuat Zoya tersentak dan tersadar dari apa yang telah ia dan Leon lakukan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD