Bab 4 - Pertemuan Tak Terduga

1813 Words
        “Zoya sudah pulang, Tante?” tanya Leon.               “S-sudah, kok... Bukannya tadi pulangnya sama kamu?” tanya Yurike heran.               Pertanyaan Yurike membuat Leon langsung mengutuki kebodohannya.               “Eh, itu... tadi Zoya pulang pakai taksi, Tante. Saya ada urusan dadakan, jadi tidak bisa mengantar dia sampai di rumah.” Mendadak Leon merasa sangat bodoh sekali mendengar alasannya sendiri. Tapi ia sudah terlanjur tertangkap basah datang ke sini, tidak ada cara lain selain mengatakan dengan jujur bahwa Zoya pulang dengan menggunakan taksi.               “Oh, begitu rupanya.” Sekarang Yurike paham mengapa wajah putrinya tampak murung. “Tapi kalian nggak bertengkar kan?” tanyanya sambil menatap Leon penuh selidik.               “Oh, nggak kok, Tante,” jawab Leon sambil menggeleng. Ia cukup terkejut karena pertanyaan calon mertuanya itu.               “Ya sudah, sebentar Tante panggilin Zoya ya. Ayo masuk dulu.” Yurike mempersilakan Leon untuk masuk ke ruang tamu.               “Eh, nggak usah, Tante,” cegah Leon cepat. “Nggak apa-apa, saya pulang aja sekarang. Sudah malam, biar Zoya istirahat aja.”               “Tapi kamu sudah jauh-jauh ke sini lho,” kata Yurike yang mendadak merasa kasihan pada Leon.               “Nggak apa-apa, saya ke sini cuma mau mastiin aja kalau Zoya sudah pulang. Soalnya pas saya telepon, Zoya nggak angkat panggilan saya.”               “Oh, tadi katanya ponselnya ketinggalan di restoran.”               “Ah, iya. Pasti karena kami pergi dengan terburu-buru tadi,” ujar Leon semakin tidak nyaman. Semakin banyak ia bicara, semakin terlihat bodohlah dirinya. Ia sama sekali tidak ada persiapan untuk menjawab hal-hal seperti itu karena dirinya memang tidak akrab dengan Zoya. Ia bahkan tidak tahu kalau ponsel gadis itu masih tertinggal di tempatnya bekerja.               Leon merasa ia harus segera kabur. Melarikan diri secepatnya adalah solusi terbaik sebelum terjebak terlalu jauh dalam situasi ini.               “Kalau begitu, saya pulang dulu ya, Tante,” pamit Leon.               “Oh, iya. Hati-hati di jalan ya,” ujar Yurike.               Leon mengangguk. Ia segera berbalik dan melintasi pekarangan kecil rumah sederhana tersebut, lalu melangkah melalui jalan sempit menuju mobilnya yang terparkir di depan gang.               Yurike menutup dan mengunci pintu setelah Leon berada cukup jauh dari rumahnya. Saat ia berbalik dan hendak kembali ke kamarnya, Zoya muncul dari arah kamar mandi.               “Ada tamu ya, Bu?” tanya gadis itu.               “Lho, kamu belum tidur? Ibu kira tadi sudah tidur,” ujar ibunya.               “Belum, Bu. Zoya baru aja selesai cuci muka,” jawab Zoya.               “Itu tadi Leon.”               “Hah?” Zoya yang tidak mampu menutupi rasa terkejutnya langsung refleks menyuarakan hal tersebut. “Terus sekarang dia di mana?”               “Dia datang cuma buat mastiin kalau kamu sudah pulang. Habis itu dia langsung pulang biar nggak ganggu istirahat kamu. Manis banget ya,” puji ibunya tampak bangga akan calon menantunya itu.               “Oh, iya, Bu. Pasti karena ponsel Zoya ketinggalan, jadi dia nggak bisa nelepon.”               “Iya. Ibu jadi lega kalau begini. Ibu senang calon suami kamu adalah pria baik dan perhatian,” puji Yurike lagi.               Zoya memaksakan diri untuk tersenyum menanggapi ucapan ibunya. Meski dalam hati, ucapan tersebut perlahan menyayat hatinya. Jauh di lubuk hatinya, ia sadar bahwa sudah memberi harapan palsu pada sang ibu. Leon, tidak sebaik yang ibunya duga. *** Sialan.               Lagi-lagi Leon mencengkeram setir sambil menahan kesal. Ia benar-benar terlihat konyol tadi. Kalau bukan karena ibunya yang menelpon dan memintanya muncul di rumah Zoya, saat ini dirinya pasti sudah berbaring nyaman di kasurnya sendiri.               Tadi Lilia menelepon Leon untuk memastikan makan malam di rumah kakeknya berjalan lancar. Lalu saat Lilia menanyakan keberadaan Zoya dan Leon memberitahu bahwa gadis itu sudah pulang dengan taksi, ibunya malah marah padanya. Menurut Lilia, tindakan Leon tadi beresiko membongkar seluruh rencana mereka pada ibu Zoya. Pria gila macam apa yang membuat calon istrinya pulang sendirian malam-malam seperti ini? Karena itulah, ibunya memaksa Leon untuk menampakkan wajah di rumah Zoya malam ini. Untuk menghapus kecurigaan tersebut.               Benar-benar menyebalkan. Tidak hanya itu saja, sindiran kakeknya tadi juga masih terasa jelas dan menyakiti hatinya.               Kamu harusnya belajar dari Devon, meski jadi pewaris tunggal, dia masih bekerja keras sejak masih muda. Dia nggak hanya menunggu warisan jatuh ke tangannya. Lihat sekarang, perusahaan mereka berkembang sangat pesat saat berada di tangannya.               Leon tidak keberatan saat kakeknya mengomeli dirinya seperti itu. Namun, yang tidak bisa ia terima adalah ucapan itu dilontarkan sang kakek padanya di hadapan Kenzo. Ia tidak pernah suka kalah dari Kenzo, tapi ucapan kakeknya tadi membuat Leon kalah telak. Kakaknya itu sedang mengembangkan usahanya sendiri dan kini mulai tampak mandiri. Sementara bagi kakek dan neneknya, Leon masih main ke sana ke mari dan bersenang-senang menghamburkan uang.               Sejak kecil Lilia selalu membuat Leon bersaing dengan Kenzo. Ia sudah didoktrin harus bisa menang dari saudara beda ibunya itu. Kenyataan bahwa bukan hanya Leon satu-satunya anak Tandri Virendra membuat Lilia sangat murka. Jauh sebelum menikah dengan Lilia, Tandri ternyata menghamili seorang wanita dan menghasilkan anak dari hubungan tersebut. Bagi Lilia, itu merupakan pengkhianatan sekaligus luka yang tak termaafkan. Dulu saat Tandri melamar Lilia, pria itu bersikap seolah ia adalah pria baik tak berdosa. Tapi nyatanya...               Dan kini, anak haram dari hubungan terlarang yang dibuat ayahnya itu jauh lebih unggul dari Leon.               Leon bisa saja membela diri dengan menyebutkan bisnis propertinya di Bali berjalan dengan baik, dan ia juga mengurus jaringan hotel milik kakeknya dengan sangat baik pula. Namun tetap saja yang menjadi fokus kakeknya pasti adalah bisnis pribadi milik Leon. Dan itu memang belum sebanding dengan bisnis Kenzo yang berkembang pesat saat ini. Bisnis restorannya yang mengusung menu makanan sehat dengan bahan baku dari petani lokal mendadak jadi sangat populer belakangan ini. Cabangnya ada di hampir seluruh pelosok negeri, bahkan kini juga sudah ada di Malaysia dan Singapura.               Semua orang memuji Kenzo, dan menyebut Leon si manja yang hanya bisa menghamburkan uang dan bermain-main. Benar-benar tidak ada yang mengerti dan memahami dirinya. Ah, seharusnya ia tidak perlu mengeluh. Sejak dulu memang tidak ada satu orang pun yang benar-benar memahami dirinya. Ia hanyalah boneka yang harus patuh untuk memuaskan ego ibunya. Jadi kenapa sekarang harus merasa sakit hati? *** “Kamu harusnya sudah nggak boleh bekerja lagi, Zoya,” kata Lilia. “Kamu nggak boleh lelah. Pikirkan kandungan kamu.”               “Baik, Bu,” jawab Zoya pelan. Saat ini mereka sedang dalam perjalanan pulang dari dokter kandungan.               Tadi, saat ia baru tiba di restoran, bosnya kembali memanggil Zoya dengan mengatakan bahwa ia lagi-lagi mendapat tamu. Ternyata yang datang mengunjunginya kali ini bukan Leon, melainkan calon ibu mertuanya, Lilia. Wanita itu ternyata sudah menghubunginya sejak semalam untuk memberitahu rencana mereka ke dokter kandungan hari ini. Namun, karena ponsel Zoya tertinggal di tempat kerjanya, ia bahkan belum sempat memeriksa pesan Lilia, bahkan setelah wanita itu datang mengunjunginya.               “Sekarang kamu langsung pulang saja. Istirahat yang cukup. Biar saya yang urus pengunduran diri kamu,” kata Lilia. Seperti biasa, wanita ini selalu yang memegang kendali penuh atas semuanya.               “Tapi, Bu, saya harus bilang apa saat ibu saya bertanya nanti? Beliau pasti akan bertanya saat melihat saya hanya menghabiskan waktu sepanjang hari dengan beristirahat di kamar,” ujar Zoya. “Saya nggak mau ibu saya tahu kalau saya sedang hamil.”               Lilia diam. Keningnya berkerut memikirkan solusi terbaik untuk hal itu. Tak lama kemudian, ia pun mengeluarkan ponsel dan menelepon seseorang.               “Siapkan satu kamar khusus untuk tamu saya. Nanti saat tiba di hotel saya akan kenalkan ke kamu siapa yang akan menempati kamar itu,” ujar Lilia. “Ya, kami sedang dalam perjalanan menuju ke sana. Saya harap kamarnya sudah siap saat kami tiba nanti.”               Zoya menatap calon mertuanya dengan bingung.               “Kalau begitu kamu tidak perlu mengaku sudah berhenti bekerja pada ibumu,” ujar Lilia sambil menghadap Zoya. “Sebelum pernikahan kamu dan Leon berlangsung, kamu bisa beristirahat di hotel setiap hari dan pulang ke rumah di jam pulang kerja agar tidak membuat ibumu curiga. Kalau kamu pergi dari rumah setiap harinya, ibumu tidak akan curiga kan?”               Zoya mengangguk.               “Bagus,” Lilia mengangguk. “Kalau begitu kita lakukan rencananya seperti ini saja. Jadi setiap hari kamu bisa ke hotel seolah pergi bekerja. Penikahan kamu dan Leon akan berlangsung kurang dari dua minggu lagi. Itu tidak akan lama. Setelah itu kamu akan tinggal dengan Leon dan ibumu tidak perlu tahu kalau kamu sudah hamil lebih dulu.”               Zoya kembali hanya bisa mengangguk. Meski sebenarnya hatinya terasa sangat berat karena lagi-lagi harus membohongi ibunya. Tapi memangnya apa yang bisa ia perbuat? Ia hanyalah boneka yang harus patuh dalam permainan yang direncanakan Lilia.               Entah balasan apa yang nanti akan ia dapatkan karena lagi-lagi bersikap tidak baik seperti ini. Yang jelas, ketika karma tersebut datang padanya, Zoya harus siap menghadapi hal itu. *** “Antarkan dia ke kamarnya,” ujar Lilia saat mereka tiba di hotel yang Zoya tahu merupakan salah satu hotel bintang lima yang ada di ibu kota. “Layani dia dengan baik dan berikan apa pun yang dia minta.”                “Baik, Bu,” salah satu staf hotel yang di name tag-nya bernama Ridwan itu mengangguk patuh pada ucapan Lilia.               “Ridwan akan mengantar kamu ke kamar. Kalau perlu sesuatu, kamu bisa hubungi saya,” ujar Lilia pada Zoya.               “Terima kasih, Bu,” ujar Zoya.               Lilia mengangguk, lalu langsung berlalu dari sana. Sesuai rencana, wanita itu akan pergi ke restoran tempat Zoya bekerja, dan mengurus pengunduran diri gadis itu.               “Lewat sini, Mbak,” ujar Ridwan menunjukkan jalan pada Zoya.               Sebenarnya Zoya ingin ia sendiri yang mengurus pengunduran dirinya. Namun, Lilia berkeras bahwa Zoya harus istirahat. Zoya sama sekali tidak berani membantah, jadi ia hanya bisa pasrah menuruti perintah wanita itu.               Mereka menuju ke lantai empat puluh, dari total empat puluh lima lantai yang ada di hotel tersebut. Zoya yakin kamar yang akan ia tempati nanti pasti bukan tipe kamar biasa, mengingat posisi lantainya yang sudah hampir mencapai posisi tertinggi saat ini.               Lift mereka berhenti dan Zoya dan Ridwan pun keluar. Sayangnya, baru saja mereka melangkah keluar dari lift, langkah mereka terhenti ketika menemukan sepasang pria dan wanita yang sedang asik make out di lorong di hadapan mereka.               Zoya seketika salah tingkah dan tampak serba salah.               “Sudah biasa ini, Mbak,” bisik Ridwan sambil tersenyum tak enak pada Zoya. “Kita jalan saja. Kamarnya nggak akan melewati mereka kok. Jadi nggak akan mengganggu mereka.”               Zoya mengangguk dan mengikuti Ridwan yang melangkah mendahuluinya.               Saat tiba di depan kamar yang mereka tuju, Zoya yang penasaran kembali melirik ke pasangan tak tahu malu tersebut. Jarak mereka hanya selisih dua kamar. Namun, alangkah terkejutnya Zoya saat menyadari bahwa laki-laki yang sedang saling membelit dengan perempuan tersebut ternyata adalah calon suaminya.               Laki-laki itu adalah Leon!               Zoya sama sekali tidak akan mengenalinya tadi, kalau saja Leon juga tidak menatap ke arahnya seperti saat ini. Laki-laki itu kini menghentikan aksinya, sementara sang wanita masih tampak seperti ingin menelan Leon bulat-bulat ke dalam mulutnya. Perut Zoya seketika mulas.               Di sisi lainnya, tidak seperti Zoya yang terkejut saat melihatnya, Leon hanya menatap ke arah Zoya dengan wajah datar. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD