Bab 7 – Aku Bukan Seperti Yang Kamu Pikirkan

1651 Words
Suara tersebut membuat Leon melepaskan tautan bibir mereka dan menatap ke belakang Zoya, persis tepat ke arah pintu masuk ruang ganti. Zoya sendiri masih sibuk mengatur napas dan memulihkan diri dari sensasi aneh tersebut, lalu berusaha menginjakkan kakinya kembali ke lantai. Ketika Leon mengendurkan lengan di pinggang Zoya, tiba-tiba saja seseorang langsung menarik tubuhnya menjauh dari Leon. “Ini bukan tempat untuk bermesraan, Leon. Kami menunggu kalian di luar sana dan kamu malah berbuat seperti ini di sini.” Lilia memelototi putranya dengan wajah kesal. “Sabarlah, Leon. Tidak sampai dua minggu lagi kamu sudah punya ruang khusus untuk bermesraan bersama Zoya,” goda Isabela. Leon hanya tersenyum kecil menanggapi ucapan neneknya, dan berpura-pura tidak mendengar omelan ibunya. Matanya melirik Zoya yang menunduk malu dengan bibir yang membengkak. “Kenapa Mama dan Nenek sampai nyusul ke sini segala? Apa khawatir aku bakalan berbuat m***m di sini?” tanyanya dengan senyum menggoda. Lilia tampak ingin sekali mencubit putranya, sementara Zoya masih berdiri menahan malu di sana dengan muka memerah. “Nenek ingin mengajak kalian makan malam. Bersama Kenzo dan tunangannya juga,” ujar Isabela. “Ya, dan karena kalian tidak muncul-muncul jadi kami menyusul ke sini,” ujar Lilia. “Yang ingin ngajak aku makan malam kan Nenek, kenapa Mama juga ikutan ke sini?” tanya Leon. Laki-laki ini sepertinya sengaja memancing amarah ibunya. Zoya tak habis pikir, karena sebelumnya ia pikir Leon adalah tipikal anak laki-laki yang takut pada ibunya. Tapi kenapa sejak tadi ia malah terus-terusan menggoda ibunya, seolah ingin memancing amarah Lilia. “Karena Mama ada urusan, jadi Mama mau sekalian pamit duluan pulang,” jawab Lilia. “Oh, begitu,” ujar Leon dengan senyum menggoda, sementara Lilia memelototinya. “Zoya, kalau Leon merayu kamu, jangan terpancing,” ujar Lilia sambil menatap pada Zoya dengan ekspresi serius. Di sisi lainnya Leon berusaha menahan senyum. “Ya sudah, Mama duluan ya. Kamu jangan macam-macam.” Ia kemudian menatap Leon memperingatkan. “Saya duluan, Ma.” Lilia akhirnya pamit pada ibu mertuanya. Isabela mengangguk, lalu setelah Lilia menghilang dari balik tirai pintu ruang ganti, ia kembali menatap Zoya dan Leon. “Jadi gimana?” tanyanya lagi. “Sebenarnya Zoya agak kelelahan hari ini, Nek. Jadi aku rasa kami belum bisa ikut untuk kali ini. Ya kan, Sayang?” ujar Leon sambil menatap Zoya. Ditanya mendadak seperti itu seketika membuat Zoya mengangguk untuk menyetujui ucapan Leon. Lagi pula ia tidak sanggup lagi harus berada lebih lama bersama laki-laki ini. Apa yang terjadi barusan masih terasa memalukan untuknya. Ia merasa seperti sedang tertangkap basah telah berbuat m***m, meski sebenarnya hanya sekedar berciuman saja. Wajah Isabela tampak kecewa, tapi cucunya itu buru-buru membujuk neneknya. “Lain kali saja ya, Nek. Aku benar-benar menyesal kali ini tidak bisa ikut, tapi lain kali akan aku pastikan tidak terjadi seperti ini lagi,” bujuk Leon. Melihat bagaimana Leon meraih tangan sang nenek untuk membujuk beserta tatapan matanya yang seperti tak berdosa membuat Zoya mengeluh di dalam hati. Laki-laki ini benar-benar tahu bagaimana caranya merayu. “Kamu nggak bohong kan? Ini bukan karena kamu dan Zoya mau melanjutkan apa yang tadi kalian lakukan tanpa interupsi dari kami kan?” tanya Isabela dengan mata menyipit penuh selidik. “Eh, nggak, Nek.” Spontan, Zoya langsung menyambar memberi jawaban. Kini tatapan Leon dan Isabela jadi terpusat padanya. Seketika Zoya menyesali mulutnya yang bicara tanpa bisa dikendalikan. Harusnya tadi ia diam saja, makinya pada diri sendiri sambil menunduk. Ketika Zoya akhirnya kembali mengangkat pandangannya, matanya bertemu dengan mata Leon yang ternyata masih menatapnya. Laki-laki itu kini tengah tersenyum miring menertawakan dirinya. Sialan! “Ya sudahlah. Tampaknya memang masih sulit untuk mendamaikan kamu dan Ken,” ujar Isabela menyerah sambil menghela napas panjang. “Nenek kira setelah melihat kamu menggoda mamamu yang seperti ingin segera kabur tadi karena kamu sendiri sudah tidak ada masalah apa pun dengan Kenzo.” “Aku memang tidak ada masalah apa pun dengannya, Nek. Aku bahkan datang saat makan malam waktu itu kan. Tapi Mama dan Tante Layla yang… Ya, Nenek sendiri tahu,” ujar Leon sambil menaikkan alis. Isabela menghela napas. “Ya sudah, kali ini tidak apa-apa jika makan malamnya batal. Tapi lain kali pastikan kalau kamu dan Zoya benar-benar akan hadir ya.” “Iya, Nek.” Leon meraih lengan neneknya, lalu mengecup pipi wanita itu. “Aku janji akan ikut makan malam bersama lain kali.” Mereka kemudian keluar dari ruang ganti. Di sofa yang tadi mereka tempati sebelumnya, masih ada Kenzo, Natya, dan wanita yang bersama mereka. “Leon dan Zoya tidak bisa ikut karena Zoya sedang tidak enak badan,” ujar Isabela. “Ya, dia memang tampak sedikit kelelahan,” ujar wanita yang belum Zoya ketahui namanya itu. “Kalau begitu kami duluan ya, Nek,” ujar Leon, lalu langsung meraih tangan Zoya untuk pergi dari sana tanpa menoleh pada yang lainnya. Zoya menatap laki-laki itu dengan bingung karena Leon hanya pamit pada neneknya. Zoya lalu menoleh pada Isabela yang menggeleng menatap mereka, lalu pada Natya, Kenzo, dan wanita yang ia pikir adalah ibu Natya. Zoya memberikan senyum meminta maaf dan anggukan tanda pamit. Seperti sebelumnya, Kenzo membalasnya dengan memberikan senyum maklum pada Zoya, sementara Natya mengerutkan dahi. Isabela hanya menggeleng dan seperti sudah sangat maklum dengan sikap Leon, sementara wanita yang satu lagi tampak tak peduli dengan sikap Leon. Sebenarnya Zoya ingin sekali mengkritik sikap Leon yang tidak sopan, tapi ketika mereka hanya berdua di dalam mobil, benaknya kembali membayangkan ciuman Leon tadi. Mendadak ia jadi kehilangan kemampuan untuk berbicara. Ditambah lagi Leon belum menjalankan mobil dan masih berkutat dengan ponselnya. Zoya seketika menoleh ke arah jendela di sisi kiri untuk menyembunyikan wajahnya yang kembali bersemu akibat dari bayangan yang melintas dalam kepalanya yang kembali hadir dengan lancang. “Ini fitting terakhir kan, Ma?” ujar laki-laki itu. “Ya, aku tidak akan datang jika ada fitting berikutnya. Semuanya silakan Mama yang atur, aku tinggal menjalankannya saja.” Zoya tidak terlalu menyimak apa yang mereka bicarakan karena isi kepalanya masih membayangkan ciuman sebelumnya, tapi ia mendengar Leon berbicara beberapa hal lain tentang “Tante Layla” yang Zoya tidak tahu siapa, kemudian mengakhiri panggilannya dan mulai menjalankan mobil. *** Lagi-lagi dia hanya menatap ke jendela di sisi kiri. Apa lehernya tidak pegal? Ah, mungkin dia malu dengan apa yang sudah mereka berdua lakukan tadi. Leon menatap ke arah jalanan dengan senyum dikulum. Sikap malu-malu Zoya benar-benar lucu. Apa lagi saat Leon melepaskan ciumannya dan membuat gadis itu limbung sambil mengerjap bingung. Sejak tadi, tanpa sadar Leon terus memperhatikan Zoya sepanjang perjalanan. Rasa bibir gadis itu masih sangat terasa di bibirnya, lembut dan manis. Entah bagaimana itu membuat Leon seperti ingin merasakannya lagi. Ditambah pula dengan reaksi perempuan itu saat ia cium tadi, tampak kebingungan tapi juga bercampur dengan rasa ingin tahu. Selama ini Leon belum pernah mencium perempuan dengan sensasi seperti ini. Biasanya, partner-nya selalu membalas ciuman Leon dengan sama bergairahnya, dan hal tersebut lama-lama mulai terasa membosankan untuknya. Kini Leon lebih berminat pada ciuman tak berpengalaman Zoya yang membuat dirinya bersemangat untuk menggodanya. Ia suka melihat bagaimana wajah Zoya memerah karena malu dan bibirnya yang berwarna merah muda itu merekah dan membengkak. Lalu, Leon kembali membayangkan bagaimana wajah polos Zoya dan mata beningnya yang menutup saat Leon mengambil alih ciuman mereka. Ia juga masih bisa mendengar bagaimana Zoya terkesiap, lalu melenguh pelan ketika ia memperdalam ciumannya. Ia juga masih ingat bagaimana rasanya tubuh Zoya yang semula kaku, lalu perlahan merileks dalam pelukannya. Dan ia juga ingat bagaimana tubuh mereka berkeringat dan saling menyentuh malam itu. Sial! Kini Leon benar-benar kembali ingat dengan apa yang mereka lakukan malam itu. Harusnya tadi ia tidak coba-coba mencium Zoya. Sekarang lihat akibatnya, ia jadi benar-benar kembali berhasrat pada perempuan ini. Sialan! Seharusnya tadi ia tidak perlu mencium Zoya hanya karena ingin menutupi tuduhan neneknya. Ini semua gara-gara kehadiran Kenzo di sana. Ia tidak suka dibandingkan dengan laki-laki itu. Hingga pada akhirnya ia malah berbuat bodoh seperti ini dan berakhir dengan hasrat yang mulai bangkit dan butuh untuk dipuaskan. Ketika mereka akhirnya hampir tiba di kediaman Zoya, Leon yang merasa butuh penyalur hasrat akhirnya mengutarakan keinginannya pada perempuan itu. “Tarifmu masih sama seperti waktu itu?” tanya Leon. Untuk pertama kalinya sejak mereka berada di dalam mobil, Zoya pun akhirnya menoleh padanya. “Tarif?” tanya perempuan itu. “Ya. Per jam?” tanya laki-laki itu lagi. Semula Zoya yang masih bingung mengerutkan dahi. Tapi ketika ia akhirnya mengerti apa yang laki-laki itu katakan, matanya melebar dan bibirnya seketika membuka. “Meski sekarang kamu sudah tidak perawan, aku akan bayar kamu sama seperti kemarin asal kamu mau menemaniku malam ini,” sambung Leon. Bibir Zoya bergetar, dan ia membuka dan menutup mulutnya karena terkejut. Leon menepikan mobilnya karena di sinilah ia parkir saat terakhir kali ke rumah Zoya. Rumah perempuan ini berada di gang sempit yang tidak bisa menampung mobil untuk parkir di depannya. “Kamu pikir aku pela...cur?” tanya Zoya dengan suara bergetar. Ekspresi tersinggung gadis itu membuat Leon menaikkan alis menatapnya. “Lho, memangnya bukan?” tanyanya heran. Ada percikan amarah di mata Zoya yang membuat Leon makin bingung, tapi kemudian mata itu berubah sendu dan akhirnya Zoya memalingkan wajah ke arah lain. Leon diam sambil menunggu apa yang akan Zoya katakan lagi, tapi ternyata perempuan itu tetap diam dan langsung melepas seatbelt-nya. “Terima kasih sudah mengantarku pulang,” ucap Zoya lirih, lalu tiba-tiba saja langsung membuka pintu mobil. “Hey, terus gimana dengan penawaranku tadi?” tanya Leon. Zoya hanya menggeleng untuk menjawabnya, lalu gadis itu langsung keluar dari mobil dan menutup pintunya cukup keras. Leon mengerjap karena terkejut dengan tindakan yang tiba-tiba tersebut, lalu melihat punggung Zoya yang menjauh sambil melangkah tergesa memasuki gang sempit rumahnya. “Apa dia sedang sok jual mahal?” gumam Leon pada dirinya sendiri. “Padahal ini adalah kali terakhir aku memberi penawaran padanya. Setelah kami menikah nanti, tentu saja aku bisa mendapatkannya dengan cuma-cuma tanpa harus membayar, bukan?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD