Bab 3 - Makan Malam Keluarga

2384 Words
“Bau apa ini?” Leon mengerutkan hidung saat mereka sudah berada di dalam mobil milik laki-laki itu.               Mendengar ucapan Leon, Zoya pun juga ikut mengendus sekitar untuk mencari bau apa yang dimaksud laki-laki itu. Sepenciumannya, yang terendus hidungnya saat ini adalah wangi parfum mobil dan juga parfumnya sendiri. Samar-samar ia juga mencium wangi parfum Leon yang cukup dikenalnya karena mereka pernah menghabiskan malam bersama.               “Ah, ini bau parfum kamu. Ya ampun, bikin pusing saja. Kamu pakai parfum apa sih?” gerutu laki-laki itu seraya menjalankan mobil.               Zoya pun kembali mengendus tubuhnya karena gerutuan Leon. Jadi pria itu protes dengan wangi parfumnya?               “Mmm... Ini parfum biasa. Yang harganya tidak sampai lima puluh ribu di supermarket,” jawab Zoya jujur.               “Astaga...” Leon menghela napas panjang. “Pantas saja.”               Reaksi laki-laki itu sedikit mencubit Zoya. Ia agak merasa terhina mendengar kalimat terakhir Leon. Ucapan laki-laki itu membuat ia merasa tidak pantas duduk di jok mobil mahal ini. Ya, gadis miskin seperti dirinya mana bisa menjajari gaya hidup seorang Leonard Virendra.               Zoya duduk diam seperti patung. Ia tidak berani melakukan apa pun, bahkan mau bernapas saja rasanya sungkan. Takut suara tarikan napas ala orang miskinnya terdengar di telinga kaya Leon, atau mungkin saja Leon tidak ingin berbagi udara bersama gadis miskin seperti dirinya. Namun, meski merasa seperti itu, ada dorongan lain dalam diri Zoya untuk melirik ke arah laki-laki tampan di sampingnya ini. Sambil takut-takut, ia pun akhirnya berusaha mencuri pandang ke arah Leon yang tengah menyetir di sebelahnya. Laki-laki itu tampak masih mengenakan setelan kerja tanpa jas dan dasi, hanya atasan kemeja berwarna biru langit dan celana hitam. Lengan kemejanya dilipat sampai bawah siku, sementara di pergelangan tangan kiri Leon melingkar sebuah jam tangan mahal yang Zoya yakini lebih mahal dari harga diri Zoya sendiri.               Zoya pun melirik penampilannya sendiri sebagai perbandingan. Ia hanya mengenakan rok hitam selutut, sepatu flat berwarna hitam yang tampak usang, kemeja putih, dan sebuah rompi hitam. Rambutnya yang hitam lurus sepanjang bahu ia kuncir kuda, dan di pergelangan tangannya melingkar jam tangan seharga seratus ribu yang sudah lusuh.               Selagi Zoya sibuk menilai penampilannya sendiri, tanpa ia sadari ternyata mobil sudah berbelok ke sebuah butik. Ketika mobil akhirnya berhenti, Zoya dengan bingung memandangi sekitar.               “Ayo turun,” kata Leon sambil mematikan mesin.               Tanpa menunggu Zoya, laki-laki itu seketika turun lebih dulu. Zoya pun langsung buru-buru menyusulnya karena tidak ingin ditinggal.                  Ketika mereka tiba di pintu masuk butik, seorang perempuan berusia akhir tiga puluhan langsung menyambut kedatangan mereka. “Hei, Leon. Sudah lama banget nggak ke sini.”               “Pilihkan gaun untuk acara makan malam yang cocok untuknya. Jangan lupa, sekalian lakukan sesuatu pada wajahnya supaya kelihatan lebih fresh dan tidak seperti orang sekarat,” kata Leon pada perempuan yang menyambut mereka tadi. Ia sengaja membawa Zoya ke tempat ini karena di sini ia bisa langsung meminta mereka me-make over Zoya.               Makan malam?               Zoya memandang Leon dengan tatapan bertanya-tanya.               “Sana cepat ganti bajumu, aku nggak suka telat,” usir pria itu sambil menatap jengkel pada Zoya yang tengah menatapnya dengan dahi berkerut.               “Kamu memang nggak ada basa-basinya ya,” ujar perempuan yang menyambut mereka tadi sambil berdecak. “Ayo, Dear, ikut aku,” ujarnya sambil mengamit lengan Zoya. “Baik, Mbak,” ujar Zoya. “Namaku Tati, kamu bisa panggil aku Tati saja,” ujar perempuan itu. “Baik, Tati,” ujar Zoya pelan.               Tati membawa Zoya ke rak yang berisi barisan gaun-gaun cantik. Perempuan itu dengan cekatan memilih gaun-gaun yang tepat untuk Zoya. Hingga beberapa puluh menit berikutnya mereka habiskan dengan mencoba beberapa pakaian, dan diakhiri dengan memberikan sentuhan make up agar penampilan Zoya tampak segar. Zoya melirik dirinya sendiri. Kini pakaiannya sudah diganti dengan terusan selutut tanpa lengan berwarna salem, dan sepatunya pun diganti dengan heels setinggi lima sentimeter yang tampak sangat cantik dan pas di kakinya.               Leon menunggu dengan sabar, dan ketika Zoya akhirnya keluar untuk menemuinya lagi, laki-laki itu menatapnya sekilas, lalu langsung berdiri dan melangkah keluar menuju mobil. Sementara Zoya yang mengekorinya hanya bisa pasrah dengan hati bertanya-tanya. ***        Rumah yang mereka datangi ini sangat besar. Halamannya sangat luas. Barisan mobil mewah terpakir di sebuah bangunan beratap yang ada di sisi lain rumah. Dua pilar besar yang mencapai langit-langit menyambut mereka di teras, membuat Zoya semakin merasa terintimidasi karena jiwa miskinnya berteriak ingin kabur.               “Ini rumah kakek dan nenekku,” tiba-tiba saja Leon berdiri di sampingnya sambil berbicara. “Kita akan makan malam di sini. Jadi… bersikap baiklah.” Laki-laki itu tiba-tiba saja merunduk dan berbisik di telinga Zoya.               Zoya mengangguk kaku. Ia masih merasa cemas, bahkan semakin cemas. Tapi ia juga harus mampu menghalau rasa cemas itu. Kakek dan nenek Leon tidak tahu rencana yang mereka buat. Tentu saja mereka tidak akan tahu. Jadi, Zoya tidak boleh sampai salah bersikap dan membongkar semua rencana tersebut.               Leon mengulurkan tangan dan meraih tangan Zoya. Karena itu adalah tindakan yang tiba-tiba, sontak saja Zoya cukup terkejut dan hampir menarik tangannya jika saja matanya tidak bertemu dengan iris coklat laki-laki itu. Tatapan Leon padanya merupakan isyarat, yang pada akhirnya langsung membuat Zoya sadar bahwa inilah saatnya untuk memulai permainan mereka.               Leon menuntun Zoya memasuki rumah besar tersebut. “Maaf kami agak terlambat,” ujarnya saat mereka mencapai tengah rumah.               Di sana, di salah satu sisi ruangan yang terdiri dari satu set sofa dan sebuah coffee table, seorang pria dan wanita yang rambutnya sudah sebagian memutih tengah duduk santai.               “Makan malamnya belum dimulai kok,” ujar wanita tua itu sambil memperhatikan langkah Leon dan Zoya yang mendekat. Matanya menatap Zoya dengan tertarik.               “Ini kakek dan nenekku,” ujar Leon, mengenalkan kakek dan neneknya pada Zoya.               Zoya tersenyum, lalu menyalami keduanya. “Salam kenal, Kek, Nek. Saya Zoya.”               Seulas senyum tipis muncul di bibir sang nenek, sementara sang kakek di sebelahnya menatap Zoya dengan muka irit ekspresi. Meski masih cemas dengan reaksi keduanya, Zoya menatap mereka dengan kagum karena meski sudah mendapat julukan kakek dan nenek, keduanya masih tegap dan rambutnya bahkan belum memutih seluruhnya. Mereka adalah pasangan lansia yang sehat dan awet muda, pikir Zoya.               “Salam kenal Zoya. Aku Isabela, neneknya bocah keras kepala bernama Leon ini. Lalu ini suamiku, Bernard,” jawab sang nenek.               Zoya tersenyum sopan, dan Leon pun mengajaknya duduk.               “Jadi setelah satu bulan pacaran, kalian memutuskan menikah?” tanya Isabela. Sementara suaminya menatap Leon dan Zoya penuh selidik.               Tatapan mereka membuat Zoya benar-benar gugup. Namun, ia berusaha menguatkan diri dan mengangguk.               “Wah, jampi-jampi apa yang kamu pakai sampai membuat cucu kami yang keras kepala ini bertobat? Dia bahkan pernah bilang tidak ingin menikah karena terlalu mencintai diri sendiri.”               Zoya gelagapan. Ia sama sekali tidak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti ini.               “Dia gadis yang baik, Nek,” ujar Leon menyelamatkan Zoya dari pertanyaan menyiksa tersebut. “Aku suka dengan kepribadiannya yang berbeda dengan gadis-gadis yang biasa aku kencani. Dan setelah menjalin hubungan selama sebulan, aku pikir aku nggak mau main-main lagi. Jadi aku memutuskan kalau lebih baik kami menikah saja.”               “Ini bukan karena Nenek dan Kakek yang memaksa kamu dan Kenzo harus menikah dalam waktu dekat kan? Kalian tentunya pasti akan merasa harus berkompetisi dalam hal ini,” ujar Bernard yang akhirnya buka suara.               Bernard benar, ujar Zoya dalam hati. Melihat betapa dalam sorot mata pria tua itu, Zoya yakin akan sulit sekali menipunya.               “Sebenarnya itu juga jadi salah satu pemicunya,” ujar Leon tenang. “Aku nggak akan menyangkal kalau pernyataan tersebut memang menjadi pemicuku untuk memikirkan lagi soal pernikahan. Akan tetapi, aku tentu saja tidak akan menikah dengan perempuan yang kupilih secara acak. Aku kenal Zoya, aku menyukainya, dan aku menginginkan dirinya. Aku merasa kami cocok dan nyaman satu sama lain, jadi kupikir aku akan dengan senang hati membangun rumah tangga bersamanya. Nggak ada alasan lain untuk menunda hal itu lagi. Benar kan?”               Bernard dan Isabela memandangi Leon dan Zoya lekat-lekat. Ya Tuhan, Zoya benar-benar gugup. Mendadak, ia jadi merasa mual. Akting Leon sungguh sempurna, tapi Zoya khawatir justru dirinyalah yang mengacaukan semuanya.               Tapi, tiba-tiba saja Leon meraih tangan Zoya dan menggenggamnya. Tangan Leon terasa hangat. Seketika Zoya merasakan ketenangan dari energi yang disampaikan melalui genggaman tangan tersebut. Rasa gugupnya sirna. Seolah genggaman tangan itu benar-benar menjanjikan perlindungan untuknya dan mengatakan bahwa semua baik-baik saja.               “Berhentilah memelototi Zoya, Kek,” kata Leon jengkel. “Aku yakin Kakek pasti sadar kalau sudah membuatnya takut.”               Bernard langsung terkekeh mendengar protes yang dilontarkan cucunya. “Kalian berdua sangat menggemaskan.”               “Ya, mereka berdua lucu sekali,” sahut Isabela sambil tersenyum.               Mendengar kekehan Bernard, Zoya langsung mengembuskan napas lega. Apa mereka sekarang sudah selamat? Sekarang sudah boleh merasa aman bukan?               “Selamat malam, Kek, Nek. Hai, Leon.”               Pandangan semua orang tiba-tiba beralih ke sumber suara yang menginterupsi mereka. Seorang laki-laki tampan dan seorang gadis yang tampak lebih muda dari Zoya melangkah mendekati mereka.               “Ah, Ken, akhirnya kamu datang,” ujar Isabela sambil mengatupkan kedua tangannya senang.               Di sisinya, Bernard juga tersenyum ramah pada laki-laki itu.               “Sepertinya kami terlambat,” ujar Kenzo.               “Kakek dan Nenek ngundang dia juga?” tanya Leon kesal.               “Ini pacarmu?” tanya Isabela pada Kenzo, mengabaikan protes Leon.               “Iya, Nek. Kenalkan, ini Natya,” ujar Kenzo sambil menghela kekasihanya mendekati sang nenek dan kakek.               Sikap Kenzo pada pacarnya sangat berbeda dengan sikap Leon pada Zoya tadi. Namun, Zoya berharap Isabela dan Bernard sama sekali tidak menyadari perbedaan itu.               Gadis bernama Natya itu kemudian mendekati Isabela dan Bernard sambil tersenyum dan membungkukkan badannya untuk memberi salam.               “Serius itu pacar lo?” kata Leon. “Nggak nyangka ternyata selera lo bocah yang seperti itu.”               Zoya menoleh pada Leon karena terkejut. Gadis yang dibawa Kenzo itu memang tampak lebih muda darinya. Namun, ia tak menyangka kalau Leon sampai berani menyebutnya bocah dengan nada mengejek secara terang-terangan seperti itu.               Zoya memandang wajah Kenzo, Natya, serta Isabela dan Bernard secara bergantian. Kenzo hanya tersenyum santai menanggapi ledekan adiknya, sementara Isabela dan Bernard tampak jengkel pada Leon. Tatapan Zoya kemudian kembali ke Natya. Wajah gadis itu juga terlihat biasa saja, sama sekali tampak tidak tersinggung karena ucapan Leon barusan.               “Hai, aku Natya,” ujar gadis itu dengan percaya diri. Tanpa disadari, kini ia telah berdiri di hadapan Zoya sambil mengulurkan tangan.               “Salam kenal, aku Zoya,” balas Zoya sambil menjabat uluran tangan Natya dengan senyum tulus. *** Leon kesal. Zoya dan kekasih Kenzo itu malah jadi berbincang akrab. Akibatnya, suasana makan malam mereka berubah menjadi lebih hangat. Dan yang paling menyebalkan lagi, Zoya, gadis bernama Natya itu, Kenzo, nenek, dan juga kakeknya malah terus-terusan berbincang dengan hangat di depan mukanya tanpa memperhatikan seberapa jengkel wajah Leon saat ini.               Mereka mengobrol dengan nyaman dan seolah mampu membicarakan apa saja. Neneknya jelas tampak sangat menyukai Zoya dan Natya. Dan Kenzo sendiri tampak sangat lega dengan kondisi tersebut.               Leon bahkan mengumpat di dalam hati saat melihat Zoya dan kekasih Kenzo terkekeh pelan dalam obrolan mereka yang entah apa itu. Makhluk norak memang akan satu frekuensi, jadi selera mereka pasti sama, yaitu hal-hal murahan.               Leon tidak berhenti menggerutu di dalam hati melihat Zoya, Natya, dan Kenzo yang mendadak seperti satu tim karena bisa mengobrol dengan santai. Itu benar-benar menjengkelkan bagi Leon. Kenapa pula perempuan yang menjadi calon istrinya itu harus akrab dengan Kenzo si anak haram?               Makan malam kali ini benar-benar bencana!               Leon mencengkeram setir dengan erat. Membayangkan apa yang terjadi tadi membuatnya semakin kesal. Saat ini mereka sedang dalam perjalanan pulang, tapi suasana hatinya bahkan semakin memburuk dari saat mereka makan malam sebelumnya.               “Rumahmu jauh. Kamu pulang naik taksi aja ya.” Leon tiba-tiba menepikan mobil.               Zoya jelas sangat terkejut mendengar ucapan tiba-tiba laki-laki itu. Apa Leon serius dengan ucapannya? “Aku nggak bisa mengantar kamu sampai rumahmu,” kata Leon lagi. Zoya mengerjap. Malam-malam begini ternyata Leon bisa jadi sangat tega dengan menurunkannya di jalanan dan memintanya pulang dengan taksi. Apa pria ini tidak punya hati?               Tanpa mememdulikan reaksi Zoya, Leon mengeluarkan dompet dan menyerahkan beberapa lembar uang ratusan ribu ke Zoya. “Untungnya ada beberapa lembar uang cash di dompetku. Nih, untuk ongkos taksi kamu.”               Hati Zoya terasa nyeri. Saat ini ia pasti terlihat sama sekali tidak punya harga diri hingga Leon bisa memperlakukannya seperti ini. Namun, Zoya ingat dengan apa yang telah ia lakukan. Seketika ia sadar diri. Memangnya ia punya pilihan lain? Ia memang sudah tidak punya harga diri sejak menyerahkan diri kepada Leon malam itu.               Dengan mata berkaca-kaca, Zoya menerima lembaran uang yang diberikan Leon. Ia pun meraih paper bag yang berisi pakaian kerjanya saat mengganti pakaian di butik tadi.               “Baik. Selamat malam,” ujar Zoya tanpa memandang wajah Leon, lalu segera membuka pintu mobil dan turun.               *** Zoya melangkah gontai memasuki rumahnya. Tadi Leon benar-benar meninggalkannya begitu saja. Pria itu bahkan tidak mau repot-repot menungguinya mendapatkan taksi lebih dulu. Untungnya Zoya bisa segera mendapatkan taksi tadi. Ia cukup beruntung karena tidak perlu menunggu lama.               “Kamu kok baru pulang, Nak?” tanya ibu Zoya yang membukakan pintu. “Telepon Ibu juga nggak diangkat.” Ibunya memandangi penampilan Zoya dari ujung kepala sampai ujung kaki.               “Kamu dari mana?” tanya ibunya lagi.               “Eh, iya, Bu. Tadi Leon datang ke restoran, terus ngajakin makan malam ke rumah kakek dan neneknya. Ponsel, dompet, dan kunci rumah cadangan punya Zoya tertinggal di loker restoran.”               “Kok bisa?” tanya ibunya seraya membuntuti Zoya masuk.               Sial. Zoya kelepasan bicara. Kalau sampai semua benda-benda itu tertinggal di restoran, itu artinya ia pergi dengan terburu-buru kan?               “Ehm, tadi perginya buru-buru, Bu. Kakek dan neneknya Leon udah nungguin. Jadi Zoya lupa ambil barang-barang di loker.”               “Terus Leonnya mana? Nggak kamu ajak mampir dulu?” tanya ibunya lagi.               “Oh, dia harus pulang. Tadi harus buru-buru karena ada kerjaan katanya,” Zoya beralasan.               Untungnya, Yurike hanya mengangguk maklum dengan alasan putrinya.               “Zoya ke kamar dulu ya, Bu. Mau bersihin riasan dan ganti baju,” kata Zoya.               Yurike mengangguk dan membiarkan putrinya berlalu dari hadapannya. Meski sebenarnya hatinya bertanya-tanya mengapa wajah putrinya tampak begitu murung.               Akan tetapi, setengah jam kemudian pintu rumah mereka kembali diketuk. Yurike yang masih duduk di ruang keluarga, kembali ke depan untuk membukakan pintu.               Di depan pintu rumahnya, berdiri calon menantunya yang tampak salah tingkah.               “Oh, Nak Leon,” ujar Yurike terkejut.               “Malam, Tante,” sapa laki-laki itu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD