Merasa Nyaman

1256 Words
Renata masih menatap Anggoro tanpa tahu harus berbuat apa. Dia bingung. Saat ini dia memang butuh teman untuk membangkitkan seleranya, tetapi Anggoro? Dia masih merasa tidak enak dengan apa yang telah terjadi di antara mereka. pertemuan-pertemuan mereka tidak pernah berakhir dengan baik. "Kok, bengong, Ren? Boleh aku duduk? Kakiku pegal, nih berdiri terus." "Aku lagi pengen sendirian," ucap Renata acuh sambil memainkan lagi cumi di piringnya. "Ya, ya, aku bisa lihat dari caramu mempermainkan cumi-cumi itu. Baiklah, kalau begitu. Aku juga mau makan sendirian saja." Anggoro bersiap pergi meninggalkannya. "Tunggu! Apa kamu mengikuti aku?" Kening Anggoro mengernyit mendengar pertanyaan Renata. "Maksudnya?" "Kenapa kita selalu kebetulan ketemu, sih? Memang nggak ada tempat makan lain yang bisa kamu singgahi apa?" Renata memandang sinis pada laki-laki yang menatapnya heran. Anggoro bukan laki-laki jelek dan memalukan. Hanya saja semasa SMA dia tidak kelihatan karena dulu dia pemuda ceking yang tidak punya rasa percaya diri. Sewaktu Renata tugas luar kota ke Jakarta, beberapa teman SMA-nya mengajak ketemuan. Reuni kecil-kecilan katanya. Salah satu undangan yang datang adalah Anggoro. Dia tentu saja sudah berbeda dari Anggoro yang dulu ceking. Kini badannya lebih berisi dan ketika Anggoro tanpa busana, Renata bisa merasakan tubuhnya yang berotot dan perutnya yang bergelombang. Pasti dia rajin fitness, pikir Renata. "Hah, ngikutin kamu? Seharusnya aku yang bertanya sama kamu, Ren. Ngapain kamu berada di teritorialku ini?" "Maksudnya? Aku, kan tinggal di Batam. Kamu yang ngapain nyasar ke sini, bukannya kamu kerja di Jakarta?" "Iya, betul. Tapi aku ada dinas di sini selama dua minggu. Dan hotelku ada di sekitar sini. Nggak percaya? Kamu boleh, kok ngecek ke hotelku." Mengingat hotel dan Anggoro bersamaan membuat pipinya merona. "Okelah, kalau aku nggak diizinkan gabung meja, aku cari meja yang lain saja." Renata merasa bersalah dengan tuduhannya tadi, dia pun memutuskan mengizinkan Anggoro bergabung dengannya. Lagi pula dia sedang tidak ingin sendirian. "Oke, oke, kamu boleh makan di sini." Dengan senyum mengembang, Anggoro menarik kursi di depan Renata dan duduk santai. Dia mengeluarkan rokok dan bersiap mengisapnya. Renata mengembangkan hidung, dia tidak suka laki-laki perokok. Vanno tidak merokok, juga tidak minum. "Kenapa? Kamu keberatan?" tanya Anggoro dengan rokok terselip di bibirnya dan siap menyalakan pemantik. Melihat gaya Anggoro yang ..., terlihat lebih macho dengan rokok di bibir, kemeja terbuka kancing atasnya dan lengannya digulung, juga cara duduknya yang menyandar santai dengan tatapan matanya mengarah ke laut. Berbeda dengan Vanno yang sedikit kaku dan selalu berpenampilan sopan. Anggoro terlihat cuek dan sedikit urakan. "Sebenarnya, ya. Tapi ini di tepi laut dan selama asapnya tidak mengarah padaku, aku bisa mentolerir." Anggoro mengangkat bahu. Dia mengisap lagi rokoknya. Diam-diam Renata mengamatinya. Rambut-rambut halus mulai tumbuh di dagu dan pipinya. Menambah kesan maskulin pada diri Anggoro. Renata merasa ada debar-debar aneh di dadanya. "Jangan menatapku diam-diam, Ren. Nanti kamu jatuh cinta." Anggoro berkata pada Renata tanpa menatapnya. Membuat Renata gelagapan dan menjatuhkan sendok. Belum sempat membalas ucapan Anggoro, pelayan sudah datang membawakan pesanannya. Aroma udah saus asam manis menyeruak dan membuat liur Renata terbit. "Ayok, Ren, kita makan sama-sama. Udangnya fresh, manis. Aku suka juga makan gonggong. Cuma kalau satu porsi sendirian, nggak kuat juga, sih. Tapi kalau udang, beuhhh ... doyan banget!" Anggoro bercerita sambil menyendoki udang ke piringnya yang berisi nasi. "Nggak usah. Nanti kalau aku minta, kamu kekurangan." "Yaelah, Ren. Tinggal pesen aja lagi. Jangan kayak orang susah, ah." Anggoro mengupas udang dan menyuapkan ke mulutnya. Rasanya Renata ingin mengelap saus di ujung bibir Anggoro. Ah, kenapa pikirannya jadi seperti ini, sih? Suasana pantai, rasa sepi, dan juga minuman kaleng ini mungkin sedikit mempengaruhi otaknya. Renata menggeleng-gelengkan kepalanya, sepertinya dia harus membasahi wajahnya dengan air dingin. "Aku ke toilet sebentar, ya." Anggoro hanya mengangguk sedikit, dia asyik menikmati udangnya. Di dalam toilet, Renata menciprati mukanya dengan air kran. Berdiri sambil menyandarkan perutnya ke wastafel. Dia menatap pantulan wajahnya di cermin. Apa yang sudah dia pikirkan tadi? Baru saja dia berjanji untuk tetap sejalan dengan Vanno dan membantunya sembuh, sekarang dia malah tertarik pada Anggoro. Apa? Tertarik? Sepertinya itu berlebihan. Apa karena minuman yang dia minum? Renata memang tidak tahan minum alkohol. Meski cuma sedikit dan kadarnya rendah, sudah bisa membuat pikirannya sedikit goyang. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya sekali lagi dan mulai memperbaiki riasan. Sekembalinya ke meja, Anggoro sudah selesai makan malam. Dia sedang meneguk minuman dari kaleng. "Kamu sudah selesai makan, Ren? Apa cuminya nggak enak?" Dia memandangi piring Renata yang masih penuh nasi dan cumi yang baru tersentuh sedikit. "Nggak napsu makan." "Aku pesankan menu lain mau? Atau kita pindah tempat, yuk. Ada kaki lima yang nasgornya enak, lho," ajak Anggoro. "Nggak usah, Ang. Aku mau di sini saja. Suasananya enak." "Nggak kedinginan? Anginnya kuat." "Sedikit." Anggoro bangkit dan berjalan ke arah Renata. Dia membawa jaket yang tadi disampirkan di kursi. "Nanti kamu masuk angin." Renata sedikit terkejut dengan tindakan Anggoro, tapi bahunya memang sedikit dingin. Dia tidak mengenakan blazer hari ini. Hanya kemeja lengan panjang dan rok. "Terima kasih. Kamu baik sekali." "Kamu baru tahu kalau aku baik? Ke mana aja selama ini?" tanyanya sambil tertawa. Renata tersenyum getir. Dia dan Anggoro tidak dekat selama SMA. Itu karena dulu Anggoro termasuk anak-anak nerd yang sering kena bully anak-anak populer. Sementara dia, termasuk gadis favorit di sekolahnya. "Santai saja, Ren. Masa lalu kita itu buat dikenang bukan untuk ditangisi. Hahaha. Aku senang kita bisa ketemu lagi seperti ini. Kalau dulu, ngedeketin kamu itu susah. Body guardnya banyak. Apa lagi pas sudah pacaran sama Vanno, kalian lengket banget." Mendengar penuturan Anggoro, Renata tersipu. Popularitasnya di sekolah menengah membuat dia selalu dikelilingi teman-teman yang ingin cari muka atau sekadar cari perhatian. "Masa lalu, Ang. Bukan hal yang membanggakan." "Toss! Untuk masa lalu." Anggoro mengangkat kaleng birnya, Renata melakukan hal yang sama, lalu mereka menenggak isi kaleng itu bersamaan. Suasana sedikit mencair beberapa saat sesudahnya. Renata lebih santai dan kini banyak tertawa mendengar lelucon Anggoro yang sebenarnya tidak lucu. Muka Renata juga lebih merona, tidak sesuram saat baru tiba di restoran. Setelah mengosongkan isi kalengnya, Renata merasa sedikit pening. Dia memandang kaleng di tangannya untuk memastikan kadar alkohol yang sudah dia minum. Namun pandangannya kabur, dia mengerjapkan mata berkali-kali. Keanehan Renata menarik perhatian Anggoro. "Kamu kenapa, Ren? Nggak biasa minum bir, ya?" Renata memegangi kepalanya dan berusaha tetap fokus. Kalau sudah begini, bagaiman dia bisa pulang? "Sepertinya aku sedikit mabuk." "Kamu nggak bisa pulang dalam keadaan seperti ini, Ren. Bahaya. Sini! Mana kunci mobilmu? Biar kuantar kamu pulang." Renata tidak punya pilihan. Dia mengaduk-aduk tasnya, berusaha mencari kunci mobil. Namun untuk tetap fokus rasanya sulit sekali. Kepalanya tidak mau berkompromi. Dia malah menjatuhkan tas sehingga isinya berserakan. Anggoro merasa iba melihat kondisi Renata. "Biar aku saja. Sandarkan tubuhmu di kursi." Dia mulai memasukkan barang-barang yang dijatuhkan Renata ke dalam tas lalu menyandang tas tersebut. Setelah meletakkan sejumlah uang di meja, dia mulai memapah Renata. Di tempat parkir, Anggoro membunyikan alarm. Setelah mencari-cari sejenak, dia membawa Renata ke mobilnya. Anggoro memasukkan Renata ke kursi penumpang dan memastikan seat beltnya terpasang dengan baik. Setelah itu dia memutari mobil dan duduk di kursi pengemudi. "Ren, Ren, kamu bisa sebutkan alamat rumahmu, nggak. Biar bisa kuantar pulang." Renata menggumam tak jelas. Sepertinya dia benar-benar mabuk. Anggoro menggeleng. Dia pun mengaduk isi tas Renata dan berdoa semoga saja ada alamat rumah Renata di dalamnya. Sayang KTP Renata masih KTP Jakarta. Anggoro menggigit bibir. Dia memeriksa lagi isi tas Renata. Ada kartu pegawainya, tapi jam segini kantor pasti sudah tutup, kan? Dia tidak mungkin menunggu sampai besok pagi untuk mengantar Renata. Dia tidak mungkin juga membiarkan Renata tidur di mobil. Akhirnya Anggoro memutuskan untuk mengendarai mobil Renata dan membawa Renata ke hotelnya.©
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD