"I love you." Renata mendaratkan ciuman di pipi kiri Revanno.
Meskipun bahagia, suaminya itu terlihat terkejut mendapat tindakan tiba-tiba seperti ini.
"Apa obrolan sama Mama menghasilkan sesuatu?" tanyanya sambil melirik sekilas sebelum membelokkan mobil keluar dari kompleks tempat tinggal orang tua Renata.
"Ngobrol sama Mama selalu bikin perasaanku enakan."
"Hmmm."
Vanno enggan membuka pembicaraan lebih lanjut. Semalam Renata sudah memutuskan untuk membicarakan masalah di pernikahan mereka ini kepada mamanya. Renata bilang, mereka butuh bantuan seseorang yang lebih berpengalaman, tidak bisa diselesaikan hanya berdua saja. Jika Vanno malu untuk membicarakannya dengan orang tuanya, maka Renata yang akan minta pendapat mamanya.
"Pendapat Mama sama seperti pendapatku. Kita, aku dan kamu, harus menemui seseorang dan konseling. Ini bukan tentang kamu saja, karena proses kesembuhanmu nanti juga akan melibatkan aku." Renata menyentuh tangan kiri Vanno. Namun Vanno menepiskannya.
Bagi Vanno, menemui dokter atau siapa pun itu sama artinya dengan membuka aib. Dia mengizinkan Renata membicarakan hal ini sama mamanya saja sudah merupakan pukulan besar untuk Vanno sebenarnya. Namun, mendengar Renata membicarakan soal anak semalam membuatnya tidak punya pilihan.
Dia ingin membahagiakan Renata, tidak ingin kehilangan dia, dan sebagai anak tunggal keluarga Renata pasti sangat mengharapkan keturunan. Namun bagaimana bisa memperoleh keturunan jika membuahi rahim Renata saja dia tidak sanggup?
"Aku belum siap kalau harus ketemu dokter. Mendengar Mama tahu tentang masalah ini saja sudah bikin aku malu."
"Mama nggak gitu, kok. Dia malahan ngasih nasihat kalau aku nggak boleh egois, karena kamu lebih tersiksa dari aku."
Lampu merah. Vanno menghentikan mobilnya dan menoleh ke arah Renata. Dia memandangi istri cantiknya itu berlama-lama. Ah, betapa sejak dulu dia sangat mengagumi sosok menawan yang berada di sampingnya ini. Renata yang cantik dan banyak digilai cowok-cowok satu sekolah, Renata yang baik dan periang. Sejak melihatnya menjadi murid baru di sekolah, dia sudah bertekad untuk mendapatkannya.
Meski sedih karena hubungan mereka hanya bertahan satu tahun saja, Vanno tidak pernah bisa melupakan Renata. Selama kuliah dia tidak pernah pacaran. Hubungan mereka awalnya bisa berlanjut meski Vanno sudah kuliah. Masih sering telponan dan setiap malam minggu Vanno datang ke rumah Renata. Namun semakin berjalannya waktu dan tugas-tugas kuliah menumpuk, Vanno mengabaikan Renata dan mereka menjauh begitu saja tanpa ada kata 'putus'.
Semesta sepertinya memang ingin menyatukan mereka kembali. Renata diterima bekerja di perusahaan tempat Vanno sudah bekerja selama dua tahun dan mereka satu divisi. Tidak perlu menunggu kode apa pun, karena Renata sepertinya juga belum bisa melupakan Vanno. Semua terjadi begitu saja, mereka kembali kencan, hingga akhirnya mereka menikah.
"Terus Mama bilang apa lagi?"
"Aku harus sabar sama kamu. Aku sayang banget sama kamu, Van dan aku mau nunggu sampai kamu siap. Aku janji nggak akan menuntut lagi. Pokoknya aku bakalan nunggu saja. Tapi kamu juga harus janji kalau bakal serius memikirkan hal ini." Renata menatap Vanno dengan manik matanya yang bulat dan bening. Ada ketulusan dan kesungguhan di sana.
Vanno mendesah. Dia tidak ingin berjanji, tapi dia harus melakukannya. Tiga tahun pernikahan mereka dan Renata tetap bertahan bersamanya adalah suatu keberuntungan yang luar biasa. Perempuan lain mungkin sudah ada yang meninggalkannya sejak malam pertama.
"Aku bakal berusaha. Kamu nggak akan ninggalin aku, kan?"
Renata meraih tangan Vanno dan menggenggamnya erat, dia menggeleng.
"I love you too, sweetheart. More and more every time." Vanno membalas genggaman erat Renata dan membawa tangan itu ke bibirnya. Mengecupnya lembut.
Suara klakson membuat Vanno harus melepaskan genggaman mereka. Lampu merah sudah berakhir dan mobil kembali merayap menembus kemacetan Jakarta.
"Kita makan malam dulu sebelum pulang, ya."
"Nggak makan di rumah saja? Nanti mamamu marah kalau kita nggak makan bareng mereka."
"Aku mau makan malam berdua kamu saja. Masa nggak boleh? Aku masih beberapa hari lagi lho di sini. Nggak akan ikut pulang bareng kamu besok. Mumpung kita lagi ketemu, masa mau berduaan saja susah."
Renata tersipu malu mendengar kata-kata Vanno.
"Eh, waktu aku telepon kamu nangis itu kenapa? Kamu ada masalah?"
Kembali Renata teringat malam pertemuannya dengan Anggoro. Rasa kesal melanda dadanya lagi, tapi dia tidak boleh memperlihatkan rasa itu dan membuat suasana yang sudah enak menjadi berantakan. Renata juga tidak mau pertemuannya dengan Anggoro diketahui Vanno.
"Sepertinya aku PMS. Kesal tiba-tiba waktu inget kamu dan harus makan malam sendirian."
Vanno meraih tangan Renata lagi dan meremasnya lembut. "Sabar, ya. Beberapa hari lagi aku pulang."
Mobil memasuki pelataran parkir sebuah restoran tradisional. Vanno memarkirkan mobilnya lalu mematikan mesin mobil. Dia melepas seat belt dan melihat Renata sedang melakukan hal yang sama.
"Ren," panggilnya lirih. Ketika Renata menoleh menanggapi panggilannya, sebuah ciuman manis mendarat di bibir Renata.
???
Renata kembali ke Batam pada Minggu sore. Vanno melepasnya di bandara dan berjanji untuk segera menyelesaikan pekerjaannya di Jakarta dan kembali ke Batam.
Sebagai perwakilan real estate ternama di Jakarta yang sedang melebarkan sayapnya ke luar Jawa, Vanno dibebani tugas yang tidak ringan. Boleh dibilang di pioner perusahaannya untuk membuka lahan baru di Batam. Berkat kerja kerasnya, beberapa urusan selesai lebih cepat.
Sebenarnya kerja keras adalah salah satu cara Vanno untuk mengalihkan perhatiannya dari urusan ranjang.
"Aku pergi dulu, cepat nyusul, ya." Renata berjinjit untuk mengecup bibir suaminya sekilas. Panggilan untuk segera masuk ke ruang tunggu seolah menyuruhnya untuk segera bergegas.
Vanno membalas dengan mencium pipi Renata lalu melambaikan tangan. Renata berjalan ke ruang tunggu dengan pikiran penuh. Hari-harinya tanpa Vanno akan membosankan dan dia juga akan kesepian. Renata mendesah, padahal kemarin-kemarin dia merasa senang tidak ada Vanno karena itu artinya dia bisa bebas pergi ke mana-mana dan mungkin saja bisa mendapatkan kencan singkat.
Namun, setelah bercerita pada Mama, dia merasa bersalah pada suaminya itu. Sebagai seorang istri, seharusnya dia membantu Vanno untuk sembuh bukan malah mencari cara instan dengan menggantikan Vanno dengan laki-laki lain yang memiliki fungsi lebih baik. Renata ingin berubah dan mencoba membendung hasratnya, mungkin dengan cara yang ditawarkan Vanno.
???
Semalam tanpa Vanno membuat Renata enggan pulang ke rumah. Dia memilih kluyuran di daerah Nagoya sampai lelah sebelum memutuskan pulang ke rumah dan tidur. Vanno juga tidak bisa dihubungi. Ponselnya di silent karena katanya dia ada meeting maha penting dengan orang nomor satu perusahaannya, Jagad Raya Land. Hasil meeting akan menentukan kapan dia akan pulang ke Batam.
Saat melewati warung tenda, Renata mencium aroma ikan bakar yang menggugah selera. Dia memutuskan untuk makan seafood dan mengarahkan kendaraannya ke arah Harbour Bay.
Di restoran tepi pantai ini, Renata merasakan angin malam menambah dingin suasana hatinya. Dia butuh sesuatu untuk menghangatkan suasana. Dipesannya satu minuman kaleng dengan kadar alkohol yang rendah. Dia menuang ke dalam gelas dan meneguk isinya. Menunggu sesaat sampai pesanannya datang.
Makan malam yang lezat, tapi sendirian. Ternyata tidak enak. Renata memainkan potongan-potongan cumi di piringnya dengan malas.
"Hai, boleh aku gabung?"
Renata mendongak untuk melihat siapa yang menyapa.
"Anggoro?" desisnya.
Dia memandang lelaki yang sedang tersenyum manis padanya. Lesung pipi di kedua sisi wajahnya terlihat menggemaskan.©