Renata terbangun dengan kepala sedikit pusing dan tubuhnya kedinginan. Matanya mengerjap, mencoba membiasakan diri dengan cahaya temaram di kamarnya. Setelah terbiasa, dia buru-buru bangun karena menyadari di mana dia berada. Diperiksanya pakaiannya, masih lengkap. Tasnya tergeletak di nakas samping tempat tidur. Tubuhnya tertutup selimut sebagian. Pantas saja dia kedinginan karena kakinya tidak diselimuti.
Dengan sempoyongan dia berusaha berdiri dan berjalan ke arah jendela kamar. Dia berada di sebuah hotel dengan bangunan yang cukup tinggi dan di bawah sana, kelap-kelip lampu menandakan kalau jam malam belum berakhir.
Bodohnya aku, pikir Renata. Kenapa bisa sampai mabuk? Padahal yang dia minum kadar alkoholnya cukup ringan. Namun pikirannya tidak sempat menganalisa lebih lanjut. Dia teringat suaminya, Vanno. Buru-buru dicarinya ponsel. Ada satu panggilan tak terjawab. Dimasukkannya pola kunci pada ponselnya. Pesan WA dari Vanno bertubi-tubi datang.
[Aku ketiduran]
Renata mengetik untuk membalas pesan Vanno. Tak disangka langsung dibaca dan Vanno sedang mengetik.
[Aku pikir terjadi sesuatu sama kamu.]
[Ada kabar baik]
[Aku pulang hari ini. Pesawat paling pagi.]
Hari ini? Dilihatnya jam pada ponselnya. 2.30.
Sial! Artinya dalam beberapa jam lagi dia harus menjemput Vanno di bandara.
[Nggak sabar buat menjemput kamu. Love.]
[I love you, Ren]
[Tidurlah]
[Nggak bisa tidur. Pengen cepet-cepet peluk kamu. Kangen]
Renata tersenyum membaca balasan suaminya. Dia juga merasakan hal yang sama.
[Aku harus tidur, supaya besok nggak ada mata panda.]
[Ok.Ok. Sampai ketemu besok]
Vanno tidak boleh tahu kalau Renata tidak sedang berada di rumah. Jika dia tidak cepat mengakhiri percakapan, bisa-bisa Vanno minta video call. Kalau itu terjadi bisa ketahuan kalau renata tidak sedang berada di rumah.
Renata bergegas membereskan barang-barangnya dan keluar kamar. Mencoba membiasakan diri lagi dengan keadaan sekeliling dan mencari di mana letak lift.
Setelah tiba di depan resepsionis yang bertugas, dia mengeluarkan kartu kredit karena tidak yakin jika uang cashnya cukup untuk membayar harga kamar bintang empat.
"Sudah dibayar, Bu."
"Oh, ya. Sama siapa?"
"Kamar atas nama Anggoro Satriaji."
Renata mendesah. Dia harus berterima kasih pada Anggoro, entah bagaimana caranya.
"Titip pesan boleh? Buat Pak Anggoro?"
Resepsionis mengangguk dan memberikan selembar kertas dengan banner hotel. Renata menuliskan ucapan terima kasih dan meninggalkan nomor ponselnya. Dia tidak mau berhutang budi pada Anggoro, jadi mereka harus bertemu sekali lagi karena Renata ingin mengganti uang Anggoro yang sudah dikeluarkan untuk membayar kamar dan ... makanannya tentu saja. Dia pasti belum membayar makanannya kemarin.
Setibanya di rumah Renata langsung ke kamar mandi, mengganti pakaian dan menyegarkan badan. Ada sedikit keanehan ketika dia berkemih. Gumpalan kental kekuningan keluar bersama air seninya. Sesuatu yang tidak pernah terjadi. Ah, mungkin ini karena dia stres atau kelelahan, pikirnya. Kata orang biasanya begitu. Renata tidak ambil pusing dan cepat-cepat membasuh diri. Dia ingin bertemu Vanno dalam keadaan segar dan cantik.
Pukul 08.00 Renata sudah menunggu di bandara. Pesawat Vanno akan landing sebentar lagi. Renata menunggu di kafetaria sambil menikmati segelas kopi s**u dan roti. Dia memeriksa riasan sekali lagi. Tadi dia sudah menghubungi Gina dan memberitahunya kalau dia izin sebentar untuk menjemput suaminya.
Suara gemuruh pesawat terdengar, sepertinya pesawat Vanno sudah tiba. Benar saja, tak berapa lama ada WA masuk kalau suaminya itu sudah mendarat dan sedang bersiap keluar dari pesawat. Renata menghirup kopinya, masih cukup lama sampai Vanno benar-benar keluar dari ruang kedatangan.
Setelah kopinya habis, Renata berjalan ke arah pintu keluar ruang kedatangan. Menghubungi Vanno dan mengatakan kalau dia sudah menunggu. Dering telepon berbunyi kemudian, Vanno yang menelepon.
"Hai, Sayang, aku pulang."
Di pintu kedatangan dia melihat suaminya keluar dan senyumnya terkembang sehangat matahari pagi. Renata merasa seperti anak sekolahan yang sedang jatuh cinta dan ingin menghambur ke pelukan Vanno secepatnya. Ketika mereka bertemu, Renata mengulurkan tangan dan mereka bergandengan hingga ke tempat parkir.
Di dalam mobil Renata tak bisa lagi menyembunyikan kerinduannya. Dia mengulurkan kepala dan mencari bibir Vanno untuk dicium. Suaminya menyambutnya dengan gairah dan mereka tenggelam sesaat sebelum Vanno tiba-tiba menarik diri.
"Ups. Maaf. Aku tidak bisa menguasai diri," kata Renata. Vanno memandangnya dengan perasaan bersalah.
"It's oke. Aku bisa belajar. Kita sama-sama berusaha. Aku berusaha mengerem, kamu berusaha mengatasi sisanya." Renata menggenggam tangan suaminya untuk memberi pengertian.
"Maaf, ya, Ren. Aku pasti berusaha untuk membahagiakanmu. Sabar, ya." Vanno mengeratkan genggamannya, Renata mengangguk.
Jika Vanno normal, saat ini dia sangat ingin mengajak suaminya itu ke tempat tidur. Tubuh Vanno bagus, wajahnya tampan dan bersih. Aroma tubuh Vanno menyenangkan dan membuatnya gila. Jika Vanno normal, mungkin dia akan sedikit liar dan mengajak Vanno berfantasi untuk memuaskan hasratnya. Namun untuk saat ini dia harus bersabar. Bersabar sebentar untuk sesuatu yang lebih indah nantinya. Itu harapannya.
"Mau pulang dulu atau langsung kerja?" tanya Renata ketika mereka berdua sudah berkendara di jalanan Batam.
"Kamu?"
"Aku izin sebentar saja. Jadi antar langsung ke kantor."
"Di rumah nggak ada kamu membosankan. Aku juga langsung kerja saja. Mau makan siang bareng nanti?"
"Why not? Jemput, ya?"
"Siap, Tuan Putri!"
Renata tergelak mendengar gurauan Vanno. Mobil melaju ke arah Cammo Industrial Park, tempat kantor Renata berada. Sedikit berlawanan arah dengan kantor Vanno yang berada di kawasan Batam Centre.
Pada saat jam makan siang, Renata sedang bersiap untuk menemui Vanno ketika ada WA masuk dari nomor tak dikenal.
[Hallo, Ren, ini aku, Anggoro.]
[Bisa ketemu siang ini?]
Anggoro? Oh, Renata ingat kalau dia punya hutang padanya.
[Jangan hari ini, Ang. Aku sudah ada janji.]
[Oke. Aku akan menghubungimu lagi nanti.]
Renata memberi emoticon jempol. Dia harus menemui Anggoro segera untuk menyelesaikan hutangnya. Semakin cepat semakin baik sebenarnya. Namun dia tidak punya waktu saat ini, dia sudah ada janji dengan Vanno.
Telepon dari Vanno datang ketika Renta sedang menuruni tangga untuk menunggu Vanno di bawah.
"Ren, sorry, kayaknya aku nggak bisa makan siang sama kamu sekarang. Harus meeting sama tim segera. Nggak papa, kan, ya? Nanti malam kita, kan bisa ketemu. Kamu bisa makan siang bareng Gina, kan?"
Gina sudah pergi duluan karena tahu dia akan dijemput Vanno. Namun dia tidak ingin membuat suaminya khawatir. Renata mengatakan kalau dia akan bergabung dengan Gina untuk makan siang di kantin. Setelah mengucapkan salam perpisahan dan berjanji akan bertemu nanti sepulang kerja, Renata menutup telepon lalu menghubungi Anggoro. Rasanya ini saat yang tepat untuk menemuinya dan menyelesaikan urusan mereka.
Anggoro mengatakan dia akan menjemput Renata, tetapi Renata keberatan karena pasti akan lama. Keburu jam makan siangnya habis. Dia memutuskan untuk naik taksi dan bertemu Anggoro di sebuah restoran di kawasan Batam Centre. Anggoro menyetujuinya dan dia bilang akan datang secepatnya. Renata disuruh memesan duluan saja.
Renata sudah tiba duluan di restoran dan memesan dua porsi makan siang untuk mereka berdua, ketika Anggoro datang dengan senyum semringahnya.
"Hai, Ren. Sorry, ya harus nunggu?"
"Nggak juga. Pas, kok. Masakannya juga baru datang. Yuk, langsung makan. Aku yang traktir, ya. Sebagai ganti tadi malam."
"Nggak masalah." Anggoro mengisi piringnya dengan nasi dan udang. Mereka pun menikmati makan siang tanpa banyak bicara.
Selesai makan siang, Renata langsung mengatakan maksudnya. Dia bilang ingin membayar uang hotel yang sudah dikeluarkan Anggoro semalam.
"Nggak usah, Ren. Nggak papa, kok."
"Jangan gitu, Ang. Aku nggak enak. Hotel bintang empat, lho."
"Aku nginap di hotel itu juga. Tapi di kamar yang lain. Abis aku nggak tau harus nganter kamu ke mana. Nggak mungkin juga aku anter ke hotel melati. Nggak tega aku, Ren."
Renata sedikit tersentuh mendengar kata-kata Anggoro. Dia tidak se-berengsek yang dia duga.
"Tapi aku nggak bisa nerima gratis begitu saja. Aku benar-benar nggak enak. Aku juga nggak ngerti kenapa bisa sampai mabuk. Padahal alkoholnya juga nggak banyak."
"Kamu nggak biasa minum? Waktu di reuni kamu juga begitu."
Renata tersipu mengingat apa yang terjadi waktu itu. Dia teringat lagi sentuhan-sentuhan Anggoro. Buru-buru dia menghapus bayangan itu dari kepalanya.
"Iya, mungkin itu sebabnya. Karena nggak biasa. Tapi, Ang ... aku benar-benar harus membalas jasamu semalam. Kamu minta apa? Barang atau apa gitu? Jangan biarkan aku berhutang budi sama kamu."
Anggoro terkekeh. "Memangnya kenapa kalau kamu hutang budi sama aku? Kamu takut aku menagihnya suatu saat? Aku nggak gitulah, Ren."
"Sorry, bukan maksudku melecehkan atau apa. Cuma aku beneran nggak biasa punya hutang sama orang."
"Renata, Renata, gitu banget pikiran kamu. Gini aja, kalau kamu memang pingin balas budi sama aku, gimana kalau kamu nemenin aku clubbing sekali aja?"
"Apa? Nggak mungkinlah, Ang! Yang benar saja!"
"Kenapa enggak?"
"Aku punya suami dan aku nggak bisa dengan gampang dapetin izin dia. Apa lagi clubbing."
"Hmm, susah juga, ya? Tapi aku nggak punya keinginan lain, sih."
"Aduh, Ang. Apa nggak bisa diganti dengan yang lain saja, kayak makan siang seperti sekarang?"
"Mmm, nggak sebanding, Ren. Gini aja ... ada satu hal yang bisa kamu lakukan untuk membalas jasa."
"Apa itu?" tanya Renata penasaran.
"Cium aku. Satu ciuman dan hutangmu lunas."
Renata terperangah dan menatap Anggoro dengan sebal.©