Siang ini dia memutuskan untuk makan siang di luar. Revanno sedang dinas ke Jakarta. Laporan ke kantor pusat. Seharusnya ini saat yang tepat untuk melepas hasrat. Tapi dia bokek sesudah ikut program arisan pop corn itu. Kabar baiknya, James memberikan nomor HP-nya setelah kencan waktu itu.
"Kamu favoritku. Ada diskon spesial kalau kamu yang memesan," katanya sebelum mereka berpisah. Asal ada uang, dia bisa mengajak James kencan kapan saja.
"Ibu mau maksi di mana?" tanya Gina.
"Sekali-kali mau makan di mall aja, deh. Di mana yang enak?"
"Masakan apa dulu?"
"Hmm, udah lama nggak makan ayam krispi. Kayaknya itu aja, deh."
"Whatt? Itu nggak sehat, Bu. Too much kalori!"
"Sok banget, sih, lu. Yang makan juga gue." Renata tertawa melihat gaya lebay asistennya.
Sebelum bekerja di Batam, Renata bekerja di kantor cabang Jakarta. Ketika Vanno dipindah tugaskan ke Batam, dia pun mengajukan permohonan untuk pindah ke kantor cabang yang di Batam. Kantornya berpusat di Singapura dan memiliki cabang di beberapa kota besar di Indonesia.
"Jadi ibu mo ngemol sekarang?" tanya Gina memastikan.
"Enggak. Besok aja."
"Loh, kok, besok. Emang lapernya kapan?"
"Ya sekaranglahhh. Lagian pertanyaan lu tu aneh banget, tau!" Renata gemas. Asistennya ini kadang-kadang emang kelewatan.
"Eh, Gin. Ntar malam ada acara?" tanya Renata pada asistennya.
"Mmm, enggak, sih. Paling nyuci baju. Kenapa? Ibu mo bantuin?"
"Idihhh males banget. Baju gue aja di londriin. Lagian lu malam ladies malah nyuci baju. Keluar, yuk ntar malam."
"Ibu, ihh, devil banget, ya. Inget suami, Bu. Ingettt!"
"Somplak, lu!" Renata menoyor kepala asistennya dan menyuruhnya bergegas. Dia sedang tidak ingin sendirian hari ini dan tidak ada salahnya mengajak asistennya.
***
Di mall daerah Batam Centre, Renata mengajak asistennya makan di tempat kolonel tua berkumis.
"Kasian uwak gue, Gin. Dah lama banget nggak makan di tempat dia. Kalo sampe bangkrut bahaya! Gue nggak bakal kecipratan warisan," ujar Renata yang disambut cibiran lima senti asistennya.
"Lu makan apa?" tanya Renata di depan kasir.
"Kentang goreng sama air mineral."
"Gue yang bayarin. Jangan bikin gue malu, deh."
"Kalori, Bu. Kalorinya gede banget. Saya ngeri."
"Ah, bawel, lu. Tambah salad sama puding 2." Renata menyebutkan pesanannya. Setelah membayar, Renata memberi kode pada Gina untuk mengangkat nampan. Dia berjalan di depan Gina dan mencari tempat yang nyaman untuk menghabiskan makan siangnya.
"Kok, smoking area, sih, Bu. Banyak asep, nih!" protes Gina sambil meletakkan nampan di meja.
"Gue maunya di sini. Viewnya bagus, Gin! Tuh, liat, laut aja kliatan dari sini. Makan itu nggak cuma buat manjain lidah tapi mata juga butuh dinetralisir dari tulisan, angka dan muka kusut kayak, lo!" tunjuk Renata pada Gina setelah mereka berdua duduk.
"Kok, saya, sih, Bu?"
"Nah cuma elu yang ada depan gue," sahut Renata acuh sambil menyuap potongan besar ayam.
"Ntar malam gue jemput, ya, Gin." Renata mengeluarkan sebatang rokok dan mulai mengisapnya. Gina membelalakkan mata melihat kelakuan atasannya yang kadang seperti sinyal HP. Di luar jangkauan pikirannya.
"Gosah ngeliat gue kayak gitu. Mata lu kayak mo copot, tau, nggak? Emang nggak pernah liat cewek ngerokok?"
"Sering, sih, Bu, tapi bukan di lingkungan dekat saya," ujarnya meringis.
"Ya, udah dibiasain aja. Saya merokok cuman kalo lagi suntuk. Kayak sekarang." Renata memandang sedih pada kapal ferry yang meninggalkan pelabuhan Batam Centre menuju Singapura.
"Karena ditinggal Bapak ke Jakarta?"
Renata memandang asistennya itu dan mendesah. Dimatikannya rokok yang masih setengah batang ke dalam asbak.
"Nggak juga. Kalau kamu menikah nanti, kamu bakalan tahu, ada banyak masalah yang seharusnya dibuka sebelum menikah. Karena menikah itu komitmen seumur hidup dan kamu nggak memilih buat terjebak di dalamnya dengan tidak bahagia. Bukan begitu?"
Gina hanya mengangguk. Sebagian kata-kata bosnya tidak bisa dimengerti. Tapi dia tahu, jika bosnya itu sedang dalam kondisi galau tingkat langit ketujuh. Terbukti dari kebiasaannya yang memanggil dirinya 'lu' berubah menjadi 'kamu'. Benar-benar di luar kebiasaan.
"Pulang, yuk! Jam maksi dah mau abis," ajak Renata. Dia berdiri dan mengambil tasnya. Diberikannya kunci mobil pada Gina.
"Saya lagi nggak mau nyetir sendiri," katanya pendek. Dia berjalan mendahului Gina.
Dari belakang, Gina merasa sosok Renata terlihat begitu sedih dan ... kesepian.
***
Malamnya, Renata pergi ke klub sendirian. Gina menolak ikut. Alasannya banyak sekali. Renata pikir, gadis seperti Gina perlu sesekali melihat kehidupan malam supaya lebih terbuka sedikit wawasannya. Karena sebagai asistennya, dia harus punya kemampuan entertaint yang lebih bagus lagi. Okelah, sebagai warga asli Batam, Gina tahu di mana tempat makan yang enak, terutama masakan khas melayu. Tapi tamu perusahaan nggak cuma butuh makan, mereka yang dinas ke luar daerah rata-rata ingin juga mencicipi wisata asli daerah dan juga wisata malamnya. Gina masih bisa diandalkan kalau urusan wisata alam dan budaya, tapi ke tempat hiburan malam? Dia langsung nolak.
Well, Renata pikir, Gina pasti dibesarkan di lingkungan yang agamis dan sedikit otoriter. Jadi wajar saja jika sikapnya sedikit kaku untuk hal-hal yang sedikit tabu.
Masih terlalu dini buat masuk ke Noname. Jam-jam segini, live music belum mulai dan perutnya lapar. Walau ini sudah lewat jam makan malam, Renata tidak peduli. Dia tidak punya masalah dengan berat badan. Dengan tinggi 160 dan BB 52, dia merasa cukup berisi dan tidak perlu menurunkan berat badannya seperti perempuan-perempuan yang ingin dibilang langsing.
Renata memarkir mobilnya di kawasan Harmoni dan berjalan kaki ke Kampung Bule. Ada satu kafe sekaligus bar yang sering didatangi berdua dengan Vanno. Dia dan Vanno setuju jika steak di sana sangat lezat dan harganya juga sesuai dengan kelezatannya.
Kafe yang dia datangi tidak terlalu ramai. Ada beberapa perempuan dengan baju minim sedang cekikikan di bar. Ketika Renata masuk, mereka hanya melihat sekilas lalu kembali sibuk sendiri. Perempuan-perempuan itu hanya tertarik dengan pria berkulit putih dan berambut terang dengan bola mata warna-warni. Jika yang datang perempuan seperti dirinya, hanya akan dianggap saingan.
Revanno berkulit putih, tinggi 185 cm dengan paras yang hampir menyerupai bintang hollywood. Wajahnya bersih tanpa kumis atau janggut, tulang hidungnya tinggi, rahang kokoh, dan dia memiliki bola mata berwarna abu-abu. Dengan perawakan seperti itu, Vanno mendapat perlakuan istimewa ketika masuk ke daerah Kampung Bule.
Seorang waitres mendatangi tempat Renata duduk dan menanyakan pesanan Renata.
"Tenderloin medium sama red wine." Renata menyebutkan pesanannya. Sembari menunggu, dia membuka ponselnya. Ada beberapa pesan WA, salah satunya dari Revanno.
I miss you too, Darl. Cepet pulang.
Tulis Renata, membalas pesan WA dari Revanno.
Renata mengembuskan napas lelah. Dia sangat mencintai Revanno. Sangat. Sangat. Karena cintalah yang telah menahannya selama tiga tahun tanpa bisa merasakan bermesraan dengan suaminya. Renata memutar-mutar cincin kawin di jari manisnya. Rasanya dia jadi istri durhaka karena telah menodai perkawinan mereka. Dan Revanno yang begitu baik ..., rasanya tak pantas untuk dia dampingi.
Tapi ..., tapi ..., dia juga berhak bahagia, kan? Tidak sepenuhnya dia salah. Jika Vanno tahu, dia pasti tak akan keberatan dengan apa yang telah dilakukannya. Toh, dia tidak membagi cinta Vanno. Dia hanya butuh pelampiasan!
"Hei! Rena? Nggak nyangka bisa ketemu kamu lagi. Wow, kamu stay di Batam ternyata."
Renata mengangkat wajahnya. Melihat siapa yang menyapanya di tempat seperti ini.
"Ang--Anggoro?" Renata terkesiap ketika menyadari siapa lelaki yang berdiri di depannya itu.
"Kenapa kaget gitu, sih?" tanyanya sambil duduk di kursi di depan Renata. "Aku pikir dinas ke Batam bakal ngebosenin. Ternyata Tuhan baik banget sama aku." Anggoro tersenyum ramah.
"Kamu ngapain di Batam?"
"Jangan tegang gitu, dong, Ren. Aku minta maaf tentang ... di hotel itu," kata Anggoro sedikit kikuk.
"Kita sama-sama mabuk. Oke? Dan kita pastikan jangan sampai terulang bahkan tersebar ke mana-mana."
's**t! Gara-gara lu, gue jadi candu n***e, tau!'
"Aku nggak bisa maafin diri sendiri karena mengkhianati suamiku. Paham, nggak, sih, kamu, tu?"
"Ren, pliss kecilin suaramu. Aku paham, kok. Makanya aku minta maaf. Sejak kamu ninggalin aku di hotel, aku nyariin kontakmu. Tapi nggak ada satu pun yang bisa ngasih tahu. Kamu kayak di telan bumi. Hilang gitu aja."
"Buat apa kamu nyariin aku?"
"Pertama buat minta maaf. Yang kedua ...." Anggoro menarik napas, "emm, aku sama kayak kamu. Udah nikah. Jadi ... kumohon jangan sampai istriku tahu tentang kita." Anggoro menatap Renata dengan pandangan memohon.
Renata berdehem sedikit. "Jadi ..., jangan sampai pasangan kita tahu. Begitu?"
Lelaki dengan lesung pipi itu mengangguk. Renata mengulurkan tangan. "Deal," katanya.
Mereka pun bersalaman.
"Permisi." Waitress yang tadi mengantarkan pesanan Renata, menghampiri Anggoro dan menyerahkan daftar menu.
"Kamu mau pesan apa?" tanya Renata menawarinya.
"Emm, nggak usah. Aku minum aja," sahutnya sambil memesan sejenis cocktail pada waitress.
Anggoro menunggu sampai waitres pergi sebelum menanyakan sesuatu.
"Aku penasaran ...." Dia tidak melanjutkan ucapannya. Dia menunggu Renata mengunyah potongan steak di mulutnya.
"Ya?" Renata melirik sekilas pada Anggoro sebelum lanjut memotong steaknya.
"Selama kamu menikah ..., apa suamimu nggak pernah nyentuh kamu? Nggak pernah ML? Atau kamu punya ramuan khusus agar selalu ... pe--ra--wan."
Renata membelalakkan matanya. Dia tak suka dengan pertanyaan Anggoro. Mulutnya ingin mengatakan sesuatu, namun tangannya bergerak lebih cepat©