Janji Kencan

1239 Words
Renata pulang ke rumah dengan hati riang. Weekend ini ia punya janji kencan yang tak akan terlupakan. Ia sudah lupa pada Vanno, ehmm ... sementara, ia lupa pada Vanno. Bagaimana juga, Vanno tidak boleh mengendus perbuatannya. "Weekend ini?" tanya Vanno. Dia menurunkan surat kabar pagi yang baru dibacanya. Ini hari Jum'at, tidak perlu terburu-buru pergi ke kantor. "Iya. Kenapa? Kita nggak punya rencana ke mana-mana, kan? Sekali-kali boleh, dong aku jalan sama temen kantor," sahut Renata sambil mengoles roti dengan selai cokelat. "Bukannya kamu musuhan, ya sama orang kantor?" "Ih, siapa bilang? Enggaklah. Bersitegang itu biasa. Tapi musuhan? Nggak mungkinlah. Namanya juga sekantor." "Terus kalian mau ke mana? Singapur?" "Emm, bisa jadi. Atau Lagoi. Kamu mau ikut?" tanya Renata sambil menyuap rotinya. Ia memandangi Vanno yang masih memegang surat kabar. Renata tahu, Vanno tidak akan pernah mau diajak hang out dengan teman-temannya. Tidak cocok, begitu alasan Vanno. Teman-teman Renata kaleng rombeng semua, bukan cuma mulutnya yang ribut bukan main tapi dandanannya juga heboh. Ada satu teman Renata yang sudah senior tapi penampilannya tidak pernah mau kalah sama yang muda. Melebihi bahkan. "Bu Selly ikut juga?" "Ya iyalah. Kalau nggak ada dia, siapa yang bakal ngingetin kita buat selfi, siaran langsunglah, atau mensyen ke mana-mana biar semua orang tahu." "Emang ada cowok yang ikut?" "Enggak." "Trus ngapain ngajak aku?" Renata tersenyum, "Ya sapa tahu kamu kepo dan nggak percaya." "Makasih, deh. Aku nggak sekepo itu untuk urusan sama Bu Selly." "Jadi ..., aku boleh pergi, kan?" Renata harap-harap cemas. Kalau Vanno tidak mengizinkan, dia terpaksa re-schedule dan artinya dia rugi banyak karena voucher resort bakal hangus. Vanno mengangguk. Dia tersenyum. Apa, sih yang enggak buat Renata? Dalam hati Renata bersorak girang. Hasrat yang bergejolak bakal tuntas sebentar lagi. ~o0o~ Are you sure? Renata mematut di depan cermin resort. Sudah hampir lima belas menit dia di dalam kamar mandi dan tak berani keluar. James, teman kencannya sudah mengetuk berulang kali, bertanya apa Renata baik-baik saja. Dia bilang, fine iam okay! Nyatanya, dia tidak bisa berhenti bertanya, apa dia sangat yakin melakukan ini? 'Aku udah habis uang banyak. Lagi pula, ini hampir sama kayak Anggoro dulu. Bedanya aku nggak kenal sama cowoknya. Dan abis ini, aku juga bakal nggak ketemu lagi sama ni cowok.' Tok! Tok! Tok! "Beib, are you okay?" tanya James cemas. "A-aku gapapa, James. Just nervous. Sedikit." "Oh, i see. Ini pertama kali buatmu, ya?" Renata menggangguk. Bodoh. Tentu saja James tidak bisa melihat. "Keluarlah! aku punya sesuatu untuk menghilangkan nervousmu!" Renata tidak mungkin selamanya berkurung di kamar mandi. Dia pun membuka pintu kamar mandi. James berdiri bertelanjang d**a dan hanya mengenakan celana boxer. Renata sedikit malu sambil mencuri pandang ke s**********n James. Apa barang di baliknya berfungsi dengan baik? "Ini." James membuyarkan lamunan Renata, dia menyodorkan gelas mini padanya. Seperti yang sering dilihat di bar. "Minumlah sedikit. Supaya kamu lebih percaya diri." "Apa ini?" tanya Renata. Dia mencium baunya. Sedikit menyengat. Renata begidik. Selama ini dia hanya minum bir, belum pernah minum minuman beralkohol lainnya. "Tonik. Buat stamina." James tersenyum penuh arti. "Aku nggak butuh penambah stamina." Renata menyodorkan gelas kecil itu pada James. Dia sedikit tersinggung dengan ucapan James. 'Enak saja dia bilang begitu. Mungkin dikiranya aku sudah tua kali, ya?' Tanpa sadar Renata memegang kedua pipinya. Dan merasakan kalau kulitnya cukup kencang. James mendorong gelas yang disodorkan Renata. "Minum seteguk saja. Jangan dirasa. Langsung telan. Biar gugupmu hilang dan sedikit santai." Dahi Renata mengernyit. Well, Renata memang butuh sesuatu untuk membuatnya lebih santai. Dia pun meneguk habis isi gelas pemberian James. "Gimana? Enak?" "Mm, entahlah. Nggak bisa dibilang enak. Agak pahit." Renata mengernyit. "Itu karena kamu nggak biasa aja. Sini, duduk bareng aku. Mau aku pijit pundaknya?" James menarik lengan Renata dan mendudukannya di ujung tempat tidur king size. "James, kepalaku agak pusing." "Kamu mau baring? Biar kupijat punggungmu." James membantu Renata telungkup. Dilepaskannya lingerie Renata dan dia mulai mengelus punggung Renata. "Gimana, enak?" James berbisik di telinga Renata. Renata mengangguk. Badannya mulai terasa panas dan jari-jari James yang mengelus punggungnya membuat dia makin b*******h. "James?" "Ya?" "Aku ..., aku ...." "Ya, ya, aku paham." James melepas kaitan belakang Renata dan membalikkan tubuhnya. Disingkirkannya penutup dadaa yang menjadi kain terakhir yang membatasi penglihatan James. Matanya dimanjakan oleh milik Renata yang begitu indah. Meski James lelaki bayaran, tapi dia suka segala sesuatu yang indah. Apa lagi jika itu bagian tubuh perempuan yang menjadi kesukaannya. Tidak perlu pura-pura suka atau hanya menjalankan tugas jika keindahan yang dia dapat seperti milik Renata. Hari ini dia sangat beruntung. Kliennya wanita muda cantik dan seksi. Bukan seperti biasanya, seorang wanita berumur. James, tentu saja sudah paham dengan tubuh para wanita. Memuaskan hasrat wanita adalah keahliannya. Pelanggannya bukan hanya di Batam tapi juga di Singapura dan Malaysia. Tangan James membelai perut Renata yang ramping. Tangan yang sudah terlatih untuk melakukan tugasnya. Bukan tanpa usaha James mendapatkan keahlian ini. Selain banyak melakukan latihan, dia juga kerap melakukan konsultasi dengan terapis atau dokter ahli di bidang itu. Dan dia tahu benar setiap titik sensitif pada tubuh wanita. "Kamu basah sekali, Sayang," bisiknya, membuat seluruh bulu di tubuh Renata berdiri. Lalu dia melanjutkan cumbuannya di seluruh titik sensitif Renata. Apa yang dilakukan James sama seperti Vanno, tapi sensasinya berbeda. Tentu saja berbeda karena James bukan Vanno dan dia sedang mengkhianati suaminya. Di tangan James akhirnya Renata meraih kepuasaannya. Memekik juga mendesah. Dengan gemas James memagut bibir Renata sambil berusaha melepaskan kain terakhir dari tubuh mereka berdua. Dan sesuatu melesak di antara kedua kaki Renata, membuatnya terkesiap lalu mulai memejamkan mata. Menikmati betul-betul ketika milik James mengaduk-aduk miliknya dengan ahli. Rasanya bukan main. Sensasinya berbeda dari cumbuan Vanno. Renata pun mencapai apa yang dia sebut ledakan bintang. Namun James belum. Di tangan James, sekali lagi Renata memekik. Di mulut James, di pangkuan James, dan berakhir di antara kaki James. Renata melepas seluruh hasratnya. "Kamu puas, Beib?" bisik James sambil memeluknya di tempat tidur, Renata mengangguk. Dia hanya ingin tidur saat ini. Beristirahat karena lelah. ~o0o~ "Kalau kamu mau, aku bisa kasih ekstra pelayanan sekali lagi." Lelaki bertubuh indah itu berbaring miring di atas kasur. Bagian bawahnya ditutupi selimut asal-asalan. Renata tahu dibaliknya, tak ada sehelai benang pun untuk menutupi tubuh. Renata tersenyum, "Apa pelangganmu selalu dapat pelayanan seperti ini?" "Hanya untuk orang-orang yang kusuka. Kamu salah satunya." James bangkit. Miliknya teracung, seperti pedang siap menghunus. Ia mendekati Renata yang sedang berkemas untuk pulang. "Kenapa denganku?" Renata menghentikan aktivitasnya. Matanya menatap milik James, dia menelan ludah teringat betapa sesaknya barang itu ketika berada di dalam dirinya. "Kamu cantik," sahut James. Tangannya mulai membelai wajah Renata. "Tubuhmu indah." Perlahan tangan itu menuruni pundak dan membelai p****t Renata yang kencang. "Dan ..., kamu seperti perawan," bisiknya di telinga Renata. "James ..., Ah, aku harus pulang." Renata gelisah. Dia mulai merasakan gairahnya naik karena belaian James. "Lima menit, kamu tidak ada waktu untuk lima menit? Setelah ini kita tidak saling mengenal, kamu ingat?" James menggelitiki telinga Renata dengan lidahnya. Pertahanan Renata runtuh. Dia membiarkan James menuntunnya kembali ke kasur dan membaringkannya. Dia menikmati setiap sentuhan dan perlakuan James padanya. Matanya memejam. Dalam kesadarannya yang penuh, Renata melihat bayangan Revanno di kegelapan. Tersenyum hangat padanya dan membentangkan tangan. Tiba-tiba hatinya diliputi kerinduan yang dalam. "Vanno ... " bisiknya tanpa sadar. "Ya, ya, panggil aku sesukamu, Beib. Sesukamu." Renata membuka mata, bukan Vanno yang berada di atas tubuhnya saat ini. Tapi James. Dan dia sedang mengantarkan dirinya ke puncak. Ah, seandainya, seandainya saja ini adalah Vanno. "Arrghhhh!" Renata memekik .... Lepas ....©
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD