"Jaga omonganmu, Anggoro!" ujar Renata setelah selesai menyiram lelaki itu dengan wine. Anggoro meraup wajahnya yang basah.
"Gila kamu, Ren! Kamu lihat gimana tampilanku sekarang? Masa harus basah-basahan gini ketemu klien?"
"Kamu, tu yang gila. Ngomong nggak disaring!" Selera makan Renata sudah hilang. Dia sungguh ingin lari dan bersembunyi. Matanya mulai rebak. Dadanya berdenyut sakit.
Dengan langkah yang besar-besar dia mendekati meja kasir dan menanyakan bill. Setelah meletakkan sejumlah uang, dia berjalan cepat keluar kafe.
Dari sekian banyak kafe di Kampung Bule, kenapa Anggoro harus masuk ke kafe yang sama dengannya? Apa dia sengaja mengikutinya? Renata menengok ke belakang. Anggoro masih sibuk membersihkan kemejanya yang terkena wine dengan dibantu seorang waitres.
Damn, Ang! Kenapa kamu bisa bego banget nanya hal begitu di saat kita mulai damai?
Renata sudah tidak berminat lagi masuk ke Noname. Dia cuma ingin pulang dan membenamkan diri di tumpukan bantal. Nggak mungkin dia nelpon atau nge-WA Vanno buat menceritakan apa yang terjadi malam ini. Nggak mungkin banget! Vanno pasti bakal curiga dan bertanya macam-macam. Sama saja seperti membongkar rahasia yang mati-matian berusaha dia tutupi.
Namun semesta tidak berpihak padanya. Vanno menelepon ketika dia baru saja masuk mobil dan bersiap menyalakan mesin.
"Yes, Dear?" jawabnya dengan suara diceria-ceriakan. Dia mencoba tersenyum dan berusaha menyembunyikan isak namun air mata terus mengalir turun.
Renata berusaha menjawab dan menanggapi omongan Vanno dengan suara tertahan. Dia membaringkan kepalanya di atas kemudi dan membiarkan air mata berjatuhan. Matanya terpejam. Membayangkan wajah lelaki yang dicintainya itu dan berharap dia bisa masuk ke dalam dekapannya.
Perasaan menyesal merayapi hatinya yang gundah. Pernikahan mungkin akan terasa hambar tanpa seks, tapi pernikahan juga tidak bisa berjalan tanpa dilandasi cinta yang sangat kuat. Cinta yang bisa merobohkan segala keterbatasan.
Apa cintanya cukup kuat untuk menerima kekurangan Vanno tanpa syarat?
Nyatanya tidak. Perempuan setia tidak akan main gila dengan laki-laki lain meski dengan alasan kebutuhan dasar. Toh, Vanno bukan tidak mencukupi kebutuhannya. Dia hanya memberi dengan cara yang berbeda.
"Kamu masih tetap bisa merasakan nikmatnya hubungan suami istri meski tidak dengan cara yang satu itu." Vanno pernah bilang begitu padanya. Dan dia tidak menuntut selama hampir tiga tahun. Karena tidak pernah ada yang memberi tahu rasanya.
"Yah, aku kangen. Kangen banget." Bendungan tangisnya jebol ketika Vanno bertanya di ponsel tentang perasaannya saat ini.
Renata terisak, "Besok pulang kerja aku nyusul kamu ke Jakarta, ya? Boleh, ya?"
"Aku nggak papa, kayaknya kecapean mikirin proyek baru dan aku butuh dipeluk," katanya sambil menyusut ingus.
"Lagi di mobil. Mau pulang abis makan di Kampung Bule terus jadi melow dan inget kamu. Aku kangen. Dan ... Ma-af ...."
Vanno terkejut dengan kata-kata istrinya. Maaf untuk apa? Perasaannya bilang ada sesuatu yang tak beres dengan Renata. Tidak biasanya Renata menjadi cengeng dan seolah lemah tak berdaya. Dia bilang pada Renata untuk booking tiket secepatnya dan mengajukan cuti jika perlu.
Renata menutup ponsel, lalu menangis sejadinya sambil memeluk kemudi. Dia sendiri bingung saat ini. Mengapa rasanya segala sesuatu yang dia lakukan terasa salah? Mengapa perasaannya bisa berubah tiba-tiba? Sebentar senang, sebentar sedih. Dia tidak tahu alasan dia menangis.
Karena kata-kata Anggoro? Tidak juga. Biasanya juga dia bisa mentolerir kata-kata seperti itu. Bahkan dengan mudah bisa dia balikkan lagi. Tapi entah kenapa hari ini perasaannya seperti roller coaster. Apa mungkin dia PMS?
Tiba-tiba Renata teringat sesuatu. Kepalanya terangkat dan matanya membulat. Air mata tak lagi turun. Diraihnya ponsel yang tadi dilemparkan begitu saja ke kursi sebelah.
Kapan terakhir dia menstruasi?
Kapan dia berhubungan dengan Anggoro?
Kenapa baru disadari sekarang kalau dulu mereka berhubungan tanpa pengaman? Tanpa kondom?
Tidak mungkin. Bagaimana kalau ... kalau dia ha--mil?
Renata menutup mulutnya, lalu dia mulai mengatur napas. Dia tidak boleh panik. Semua harus dia pikir ulang kembali. Yang terbaik untuk dilakukan saat ini adalah pulang. Besok dia akan beli test pack dan membuktikan kalau dugaannya salah.
Dia tidak boleh hamil. Tidak boleh. Renata belum mau berpisah dari Revanno. Dia masih mencintai Vanno dan masih ingin hidup bersamanya.
???
"Gina, tolong carikan tiket ke Jakarta untuk sore ini, ya." Renata meminta pada asistennya setelah selesai menandatangani beberapa tumpukan berkas.
"Ibu mau cuti?"
"Nggak, cuma menghabiskan weekend aja. Nyusul suami."
"Duh, enak banget, ya jadi Ibu. Mesra terus sama Bapak. Apa lagi belum punya anak. Kayak pacaran terusssss." Gina terkekeh pelan.
"Kalau udah punya junior, nanti bakalan susah cari waktu buat berduaan."
"Ah, sok tau lu, kayak udah punya anak aja."
"Tau, dong, Bu. Kakak saya, kan dah nikah semua. Mereka kalau mo nonton bioskop aja harus nitipin anak-anaknya sama Mamak. Kalau enggak bakal dikeluarkan satpam bioskop karena anak-anaknya berisik." Kata-kata Gina membuat Renata tertawa. Dia membayangkan dirinya dan Revanno dikelilingi anak yang lucu-lucu.
Tanpa sadar dia mengelus perutnya. Ah, kapan, ya perutnya ini akan membuncit dan dia bertambah gemuk? Dengan kondisi Vanno saat ini, sepertinya tidak mungkin kalau dia bakal hamil. Seandainya dia hamil anak Anggoro, ingin rasanya mempertahankan anak itu. Karena mungkin hanya itulah kesempatannya untuk punya anak kandung.
Sebenarnya bisa saja dia hamil melalui proses bayi tabung. Namun, Vanno selalu menolak segala hal yang berhubungan dengan medis. Berobat tak mau, cek ke dokter tak mau. Dia malu. Juga takut kalau sampai keluarga atau teman-temannya sampai tahu kondisinya. Dia tidak percaya ketika Renata bilang mereka akan melakukannya secara rahasia. Menurutnya, keburukan jika ditutupi sebaik apa pun suatu saat akan terbongkar juga.
'Tapi punya anak, kan bukan hal buruk, Vanno.'
Hhh, Renata mendesah.
"Semoga Ibu cepat hamil dan punya banyak anak yang lucu-lucu, ya."
Gina memegang tangan kiri Renata yang berada di atas meja. Dia lupa kalau asistennya itu masih ada di hadapannya.
Sambil mengangkat wajah, perempuan cantik itu tersenyum. "Makasih, ya, Gin. Doain gue cepet hamil, ya."
Gina mengangguk. "Sekarang saya carikan tiket dulu, ya supaya Ibu bisa skidipapap sama Bapak segera." Gina mengacungkan ibu jarinya dan tersenyum jahil.
Renata mendelik, pura-pura marah. Dengan telunjuknya dia menyuruh Gina keluar. Sementara Gina mengatupkan kedua telapak tangannya di atas kepala, tanda mohon ampun. Membuat beberapa kertas yang dikepit di ketiak menjadi jatuh berserakan. Rena menggelengkan kepala melihat kelakuan asistennya.
Sekeluarnya Gina, Rena merogoh saku tas kerjanya. Dikeluarkannya beberapa benda pipih panjang berwarna putih dari dalamnya. Dia memandangi benda itu berlama-lama. Benda yang dibelinya dari apotek 24 jam. Semalam, setelah dia meninggalakan pelataran Harmoni.
"Garis satu. Negatif," desisnya.
Padahal dia sudah telat dua minggu dari jadwal menstruasi. Perempuan normal pasti sudah positif. Test pack yang dia beli juga bukan cuma satu. Namun semua negatif. Padahal Anggoro memuntahkan spermanya beberapa kali di saat dia subur.
"Jangan-jangan ada yang nggak beres sama aku," katanya lirih.
'Apa rahimku normal? Kalau Anggoro, aku nggak tahu, apa dia normal? Aku nggak sempat nanya apa dia punya anak atau belum. Mungkin aku harus mencari tahu. Mungkin aku juga harus cek ke dokter.'
Renata meremas testpack-testpack itu dan menggulungnya dengan tisu sampai membentuk gumpalan. Lalu melemparkannya ke tempat sampah. Dia masih harus menyelesaikan beberapa pekerjaan sebelum istirahat salat Jumat. Hari ini dia mau izin setengah hari. Pulang, berkemas, dan langsung ke Jakarta menyusul Vanno.©