Chapter 4

1448 Words
Happy Reading ***** Banyak orang mungkin tidak akan mengira dengan adanya Zombie. Mereka hanya berfikir Zombie itu fiksi dan tidak akan ada dalam dunia nyata. Mungkin juga ada sebagian orang sudah berfikir jika Zombie betulan ada, seperti para remaja penakut yang sering overthinking dengan keberadaan Zombie. Juga Raden si pemuda pintar yang terobsesi dan malah mencari tahu tentang Zombie. Dan setelah semua ini terjadi seharusnya Raden senang bukan? nyatanya tidak sama sekali Raden mendalami tentang Zombie karena dia ingin siap saat sekelompok mayat hidup itu datang dan menyerang dunia, setidaknya ia dapat melindungi diri dan orang-orang di sekitarnya, seperti Bitna _sahabatnya. Karena memang Raden adalah anak buangan kedua orang tua, dan hanya di asuh oleh pamannya yang sekarang sudah meninggal, so keluarga satu-satunya menurutnya hanya Bitna. Dan sekarang Raden hanya bisa berkata jujur pada Bitna, meski gadis itu terlihat jelas dari raut wajahnya kalau dia sedang tidak baik-baik saja. __ "Zombie." Hah? "Ada Zombie Na." Bitna benar-benar terdiam melongo mendengar kata Zombie? ZOMBIE? Tidak mungkin. Jelas tidak mungkin! Zombie itu tidak ada bukan? Benar kan? Melihat Bitna yang masih terdiam kaku, Raden memutuskan kembali pada pekerjaannya tadi, yakni mengemas barang-barang nya ke dalam ransel, seperti makanan, minuman, pistol dan beberapa benda aneh yang hanya Raden saja yang tau. Karena Raden tau, semua sudah terjadi dan tidak ada hal yang tidak mungkin mengingat bisa aja keselamatan mereka berdua tiba-tiba terancam. Sejujurnya Raden sadar betul temannya itu shock berat. Orang yang memang sangat tidak percaya dengan adanya zombie, sekarang malah melihat mereka di depan matanya. Meski begitu Bitna masih terus menyangkal. Tidak mungkin ini semua zombie. Pasti itu hanya kecelakaan biasa atau apalah itu. Intinya bukan Zombie. Bitna ber-positif thinking kalau zombie harusnya tidak ada. "Hah__hahaha." Tiba-tiba Bitna tertawa cukup keras, tapi jika di dengar secara seksama malah lebih mirip sebuah tawa miris. Dan Raden yang mendengarnya hanya bisa menatap nanar. "Jangan ngibulin gue deh, Den. Haha, kocak lo." Tawa Bitna masih berlanjut, meski hanya mendapat respon decakan dari Raden. "Jadi ini-ini, makanan dan benda aneh ini karena lo takut zombie ya? Haha, plis deh, Zombie itu nggak ada ... Nggak ada? Iya kan Den nggak ada?" Raden hanya terdiam menatap Bitna lurus. Membuat pandangan gadis itu berubah sedih, meski di bibirnya berusaha tersenyum lebar. Raden jengah, ia tau Bitna hanya terlalu shock. Meski begitu harusnya dia dapat menerima kenyataan bukan, karena setelah ini Bitna akan mengalami masa-masa yang mungkin tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. "Setelah semua ini, lo masih bisa nyangkal Na?" Menyangkal? Menyangkal ya? Haha, Ya, Bitna yang Raden ucapkan itu benar. Dan sejak awal Raden memang benar. Ia saja yang terus menyangkal dan tak mau menerima kenyataan bahwa Zombie itu ada. Zombie benar-benar ada! Dan selama ini ia hanya berusaha tidak membenarkan apa yang ada di hatinya. Mata Bitna kembali melihat ke arah bawah, di mana kerusuhan besar terjadi. Dan yang paling penting, banyak orang yang saling memakan. Ralat, tapi para zombie yang terus memakan para manusia tanpa tersisa. Tunggu, Bitna ingat mimpinya semalam, di mana orang-orang mengerikan _semalam_ juga seperti hendak memakannya. Jadi yang di mimpinya juga adalah zombie? Bitna melihat ke bawah dengan perasaan campur aduk. Antara sedih, marah, dan kalut. Tiba-tiba, "Aa_hmpp." Bitna menjerit tertahan, mulutnya di bungkam _kuat_, terkejut dengan apa yang ia lihat di bawah sana. Ia tak kuasa melihat seorang balita perempuan yang kira-kira berusia 5 tahun di serang oleh pria berbadan besar secara tiba-tiba dari belakang. Bitna ingin marah, juga ingin sekali menyelamatkan anak itu yang nampak kesakitan karena leher kecilnya di gigit rakus oleh zombie sialan itu. Arghh, tapi nyatanya ia tak dapat berbuat apa-apa. Bitna hanya bisa mengacak rambutnya kasar, "Bangsat." Makian demi makian terus ia lontarkan, geram. Hingga bocah kecil di bawah sudah benar-benar memejamkan mata lemas. Dan mungkin mati atau malah sebentar lagi akan berubah menjadi Zombie. Raden yang melihat Bitna kalut, hanya bisa menghembuskan nafasnya kasar. Ia sendiri juga sama seperti Bitna tak bisa melakukan apapun. Ia juga marah pada keadaan. Setidaknya Raden tak perlu menunjukan rasa frustasinya di depan Bitna, agar gadis itu tak makin menjadi panik. "Den, gue balik." Mendengar ucapan Bitna yang tiba-tiba itu, sontak membuat Raden berdiri dari tempatnya, entah apa yang ada di fikiran Bitna sekarang, padahal sudah jelas keadaan luar sudah sangat-sangat rusuh, bahkan hampir 90 persen orang diluar sudah berubah menjadi zombie. "Apa maksud lo?" "Gue harus pulang." Bitna mengambil tas selempangnya di sofa. Jujur saja ia pulang karena teringat dengan ibu juga adiknya Bayu. Meski ia sangat membenci mereka berdua, tapi sebenarnya Bitna juga menyayanginya, ia khawatir terjadi sesuatu pada mereka. Bagaimana jika Bayu juga mengalami sesuatu seperti anak kecil di bawah tadi? Ah, tidak-tidak, Bitna harus berfikir positif, harus. "Nggak! Lo nggak boleh pergi!" Cegah Raden tegas, seraya menghadang jalan Bitna, ia takut Bitna berbuat nekat dan malah akan membahayakan diri jika tetap ingin pulang. Gelengan kepala Bitna jelas mengatakan kalau dia tidak setuju dengan Raden. "Den, gue khawatir sama mama dan Bayu. Gue harus pulang!" Ucapnya berusaha agar Raden mengizinkannya pulang. Raden buru-buru mencekal lengan Bitna karena gadis itu kekeh akan pulang, sedangkan di luar sana para zombie sudah menunggu untuk menyerang. Ia tau betul kalau Zombie bukan hal remeh seperti yang di bayangkan Bitna. "Den, please. Sumpah demi apapun gue nggak akan bisa maafin diri gue sendiri kalau mereka berdua sampai kenapa-napa, sedangkan gue malah enak-enakan duduk santai di sini." Nafas Bitna memburu setelah mengatakan itu. Karena kesal dengan keadaan juga kesal pada keadaan dan dirinya sendiri. Raden terdiam menatap mata Bitna lurus. Ia tak dapat melakukan apapun, jika Bitna sudah berkata seperti itu. Tapi ia khawatir dengan keadaan Bitna. Drtttt.. Drtttt.. Drtttt.. Suara getaran yang berasal dari dalam tas selempang Bitna berhasil memecah ketegangan diantara mereka. Suara dari ponsel Bitna itu ternyata sebuah panggilan telefon dengan username 'Jalang', itu mama Bitna. Gadis itu pun segera menggeser tombol hijau di layar ponsel Bitna. "Halo, Bitna sayang, ini Mama." Suara ibunya itu terdengar pelan, sangat lemah. Hal itu jelas membuat Bitna cemas. Ia tiba-tiba merasa bersalah dengan kelakuan nya pada ibunya selama ini, seperti ngatai ibunya jalang pada username dan bersikap acuh pada ibunya. Menyesal. Bitna menyesal! "Bitna bisa denger suara Mama kan?" "I-iya?" Sejak ibunya itu memutuskan bekerja sebagai p*****r, baru kali ini Bitna menjawab dengan nada sepelan ini, padahal biasanya ia akan berteriak ataupun diam tak menjawab. Jujur saja Bitna rindu masa-masa saat ibunya merawatnya dengan baik dulu. Di mana Bitna yang selalu merasa bangga pada ibu yang sudah merawatnya dengan penuh perjuangan, mengingat ayahnya sudah meninggal sejak ia kecil. "Maafin mama ya sayang." Tes,, air mata Bitna sontak mengalir begitu saja mendengar ibunya yang terus memanggilnya sayang. Bitna juga rindu dengan panggilan itu, karena setelah ibunya menjadi p*****r Bitna selalu menolak di panggil seperti itu. "Bitna anak baik, Bitna pinter, dan selalu bikin mama dan papa yang udah di surga bangga sama Bitna." Bitna tak kuasa, air matanya terus berjatuhan. "Ma." Suara ibunya terdengar mulai bergetar, sama seperti Bitna. "Bitna, apa boleh mama denger kamu bilang kalo kamu sayang Mama? soalnya Mama kangen banget kamu bilang gitu." Tanpa menunggu Bitna langsung mengangguk pasti meski tanpa diketahui ibunya, "Bitna sayang mama." Diam, tak ada suara baik dari Sinta maupun Bitna, tapi tiba-tiba terdengar bunyi isakkan dari sambungan telefon Bitna, dan iskan itu berasal dari Sinta ibunya. "Mama juga sayang Bitna. Sayang banget. Setelah ini kamu jaga diri baik-baik ya, karena Mama yakin kamu bisa jaga diri." Bitna menutup mulutnya, agar tangisnya tidak pecah dan di ketahui ibunya kalau dirinya juga menangis. Suara ibunya di sebrang telefon sana terdengar mendesah seoalah menahan sesuatu, dan hal itu jelas membuat Bitna makin khawatir. “Ma ...," “Shh, Bitna. Ada sesuatu hal penting yang perlu kamu lakukan sayang." Ibunya terdiam, seperti tengah menahan rasa sakit di tubuhnya. "Bitna harus menyelamatkan dunia, itu pesan dari Mama dan Papa.” Bitna menyimak meski perasaannya campur aduk, ia merasa sudah terjadi apa-apa dengan ibunya. “Kamu buka brangkas kecil di laci kamar mama. kodenya tanggal ulang tahun kamu." “Ma ... Mama___” "Ma-ma sayang, Arh, Bitna. ARGHHHH.." Tut.. Tut.. Tut.. Panggilan pun terputus, "Ma, mama? Ma?" Bitna menangis makin menjadi, ia terduduk lemas di sofa. Dan Raden segera merangkul temannya itu, mencoba menenangkan. Isi kepala Bitna dipenuhi dengan Ibunya. Kenapa ibunya berkata terburu-buru, apa yang sebenarnya terjadi? Apakah ibunya baik-baik saja? Dan apa yang di maksud brangkas dan menyelamatkan dunia apa? Cukup! Sudah cukup menangisinya, Bitna harus segera pulang untuk melihat keadaan Ibunya juga membuka brangkas seperti yang di perintah Ibunya. Tapi saat ia baru bangkit berdiri, Raden kembali mencekal pergelangan tangannya. Bitna memejamkan mata, ia benar-benar akan pergi tidak perduli Raden mencegahnya. "Gue ikut lo, Na." Bitna terkejut mendengarnya, tapi langsung tersenyum kecil setelah nya. Raden benar-benar sahabatnya. ***** Tbc . . . . . Kim Taeya
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD