Jika melihat bagaimana interaksi Ilona dengan Rendra, mungkin akan ada orang yang bertanya-tanya.
Bagaimana mereka tidur saat malam?
Apakah mereka tidur di kamar yang berbeda?
Lalu, bagaimana bisa Ilona mengandung anak dari Rendra?
Jawabannya sederhana. Ilona selalu berusaha menjadi istri pada umumnya yang melayani suaminya sebaik yang ia bisa, termasuk dalam urusan ranjang. Kehidupan malam mereka berjalan layaknya pasangan suami-istri pada umumnya.
Namun, bukan berarti itu akan mengubah kehidupan harian mereka, di mana semua tetap terasa dingin.
Sedangkan Rendra? Bagaimana dengan cara pandang lelaki itu terhadap Ilona?
Itu menjadi sebuah tanda tanya besar yang bersarang di kepala Ilona. Ia sendiri tidak tahu, sebenarnya apa arti dirinya di mata Rendra. Namun, melihat sikap dingin pria itu, rasanya bodoh jika Ilona berpikir Rendra memiliki perasaan khusus padanya.
“Bagi Rendra, aku hanyalah seseorang yang tinggal di rumahnya karena sebuah ikatan sah di mata agama dan hukum. Tapi, bukan berarti aku juga bisa masuk dan tinggal di hatinya.”
Ilona dapat merasakan lengan Rendra yang melingkari perutnya. Malam sudah larut, dan ia sudah memejamkan mata sejak tadi, sementara Rendra masih berkutat dengan laptopnya. Namun, kenyataannya Ilona masih dapat merasakan dengan jelas pelukan itu.
Meski jantungnya berdebar, tapi ia sudah terlatih untuk tidak membuat gerakan apapun yang akan membuat Rendra curiga. Ilona tidak mau Rendra akan merasa tidak nyaman dengan gerakannya yang tiba-tiba. Jadi, ia memilih untuk diam.
Hanya saja, alasan Ilona yang masih terjaga hingga saat ini, tampaknya bukan sesuatu yang bisa ia tahan pula. Ia ingin makan sesuatu yang manis, seperti kue atau semacamnya. Namun, ia ingat, tidak ada makanan seperti itu di dalam kulkas.
“Kenapa?”
Ilona terperanjat. Jelas-jelas Rendra masih mendekap tubuhnya. Tidak mungkin pria itu bicara dengan orang lain, bahkan melalui telepon sekali pun.
Pria itu lalu memperbaiki posisi tidurnya. Ia juga memutar tubuh Ilona agar berbalik ke arahnya. “Kamu kayaknya lagi resah. Ini sudah lewat tengah malam dan kamu masih terjaga.”
Ilona menggeleng lemah, kemudian kembali memejamkan mata. Ia ingin berpura-pura tidur pada Rendra. Namun, setelah beberapa saat, ia mencoba untuk melihat reaksi Rendra. Dan pria itu masih menatapnya dengan intens.
“Kamu nggak tidur?” tanya Ilona dengan suara seraknya.
“Apa yang lagi kamu pikirin? Tahu, kan, kalau orang hamil nggak boleh begadang?” Rendra balik bertanya.
Ilona mengangguk. Ia jelas tahu juga soal itu. Hanya saja, rasanya sangat sulit untuk menekan keinginannya saat ini. Ia ingin curi-curi waktu untuk berusaha mencari apapun yang bisa ia makan di lantai bawah jika Rendra sudah tidur. Masalahnya, pria itu justru tampak seperti sedang menunggu sesuatu darinya.
“Maaf,” cicit Ilona. “Kamu tidur aja! Aku juga bakal berusaha untuk tidur.”
Ilona kembali memejamkan matanya. Namun, ia tetap tidak bisa benar-benar tertidur. Akhirnya, ia mencoba mengintip kembali. Dan kali ini, Rendra sudah memejamkan matanya dengan napas yang teratur.
Ilona pun menyibak selimut yang membalut tubuhnya dengan sangat berhati-hati. Ia tidak ingin Rendra sampai terusik karena gerakannya. Kemudian, ia melangkah pelan ke arah pintu dan membukanya. Ia pun segera keluar dan menuju ke lantai bawah rumahnya.
Hal yang pertama Ilona lakukan adalah membuka isi kulkas. Sebenarnya, ada beberapa makanan di sana. Namun, tidak ada satu pun yang berhasil menarik perhatian Ilona. Ia ingin memakan sesuatu yang manis seperti brownies atau semacamnya. Hanya saja, ke mana ia bisa menemukan makanan seperti itu saat dini hari begini?
“Yah … nggak ada,” gumamnya, kecewa dengan isi kulkas di hadapannya.
“Kamu sedang cari apa?”
Ilona terlonjak dan langsung menoleh ke arah sumber suara itu berasal. Tampak Rendra berdiri di perbatasan dapur dengan ruang tengah, menatap Ilona penuh selidik. Pria itu melangkah mendekat. Di waktu bersamaan, Ilona pun menutup pintu kulkas.
“Aku cuma lagi agak lapar, jadi mau cari camilan,” jawab Ilona. “Maaf kalau aku terlalu berisik atau gerakanku tadi ganggu kamu. Aku udah berusaha buat hati-hati dari tadi.”
“Enggak, aku memang belum tidur,” balas Rendra.
Pria itu melangkah melewati Ilona lalu membuka kembali kulkas yang sudah Ilona tutup. “Itu ada beberapa camilan, kan? Kamu nggak ada yang mau?”
Ilona menggigit bibirnya gugup. Ia merasa tidak enak untuk menjawab pertanyaan itu. Lagi pula, ia sendiri juga merasa aneh. Bisa-bisanya ia menginginkan sesuatu di lewat tengah malam seperti ini.
“Ilona …”
“Aku pengen makan sesuatu yang manis, tapi di kulkas nggak ada.”
“Kan ada buah. Pear, apel sama jeruk juga manis. Malas ngupasnya?” tanya Rendra lagi.
Ilona menggeleng. “Bukan yang kayak gitu. Maksudnya, aku mau yang kue-kuean kayak brownies, pie atau semacamnya. Sesuatu yang agak basah dan manis kayak gula.”
Bahu Rendra merosot. Tatapan laki-laki itu menjadi lebih datar dari sebelumnya. Ilona tahu, Rendra pasti menganggapnya aneh dan tidak suka dengan sikap Ilona itu.
“Eh, tapi aku bisa cari besok, kok. Lagian ini sudah malam. Bukannya lebih baik kita tidur aja?” ucap Ilona. Ia berusaha untuk tampak baik-baik saja. Ia memutar tubuhnya, berniat untuk segera kembali ke kamar. Namun …
“Kamu ngidam?”
Ilona menelan salivanya dengan kasar. Ia menyentuh perut datarnya dengan perasaan yang rumit. Apa benar ia sedang merasakan yang namanya ngidam?
“Mungkin? Aku juga tidak tahu pastinya. Tapi lupakan aja! Biar besok pagi aku cari di sekitaran pasar, pasti ada,” balas Ilona. Ia memaksakan senyumnya. Meski ia ragu, apakah ia bisa terlelap malam ini atau tidak karena keinginannya yang begitu besar tidak bisa dituruti.
Ilona kembali ke kamar. Ia menatap pintu kamarnya dengan resah, karena Rendra yang tidak kunjung menyusul. Padahal, Ilona pikir pria itu berada tepat di belakangnya tadi. Sampai-sampai Ilona tidak menutup pintu kamarnya karena ia pikir Rendra juga akan segera masuk.
Sekitar lima menit kemudian, barulah sosok Rendra muncul. Ia membawa segelas s**u cokelat dan menyerahkannya pada Ilona.
“Buat ganjel. Lapar, kan? Ini juga ada rasanya sedikit manis,” kata Rendra.
Ilona dengan sigap menerimanya. “Makasih.”
Ilona segera menyeruput s**u hangat itu pelan. Namun, baru meminum setengah gelas s**u itu, perhatian Ilona teralihkan pada Rendra yang tampak mengambil ini dan itu.
“Kamu mau ke-”
“Tunggu sebentar! Nggak jauh dari sini ada bakery yang biasanya buka sampai larut. Deketnya ada cafe tongkrongan anak kuliahan yang nyaris nggak pernah tutup. Lalu di seberangnya ada minimarket. Siapa tahu aku bisa dapatin makanan manis di sana,” kata Rendra, memotong ucapan Ilona.
“Apa?” kaget Ilona, masih tidak mengerti kenapa Rendra tiba-tiba berkata seperti itu.
“Kamu belum ngantuk, kan? Habisin aja susunya! Aku janji nggak bakalan lama,” ujar Rendra. Kemudian, pria itu pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban dari Ilona.
Ilona diam dengan raut wajah kaget. Apakah ia tidak salah dengar? Rendra mau susah payah mencarikan sesuatu yang ia inginkan malam-malam seperti ini, meski rasanya nyaris mustahil baginya untuk mendapatkan hal tersebut?