07 - Pagi yang Canggung

1191 Words
Setelah meneguk habis s**u yang Rendra buatkan, perlahan, rasa kantuk menyerang Ilona. Ia berusaha untuk tetap terjaga, menunggu Rendra yang sedang mencarikan makanan yang ia inginkan. Namun, matanya terasa semakin perat. Perutnya sudah terasa nyaman meski ia belum jadi mendapatkan apa yang ia inginkan. Apa mungkin itu karena sugesti, mengingat Rendra yang membuatkan s**u itu dan menunjukkan perhatiannya? Dan itu sangat berarti untuk Ilona dan bayinya sehingga membuat Ilona dan bayinya seketika merasa nyaman. Dan akhirnya, Ilona pun memejamkan matanya. Tubuhnya merosot menjadi berbaring dengan posisi yang tampak tidak nyaman. Namun, wanita itu tampak benar-benar lelap dengan tidurnya meski bagi orang biasa mungkin posisi seperti itu akan terasa sangat tidak nyaman. Rendra pulang setelah hampir setengah jam pergi. Ia sudah berusaha secepat mungkin untuk kembali. Dan ia terkejut, saat mendapati sang istri sudah memejamkan matanya. Ia menutup pintu kamar mereka dengan pelan, lalu berjalan mengendap-endap ke arah tempat tidur. Rendra mencoba menggerakkan tangannya di atas wajah Ilona, tapi gadis itu sama sekali tidak bereaksi. Ada rasa kesal dalam dirinya melihat Ilona yang malah tidur saat ia berusaha mencarikan apa yang diinginkan wanita itu. Namun, ia hanya bisa menahannya. Ia bahkan menghela napas lega saat melihat gelas kosong di atas nakas. Ia merasa sedikit lega karena setidaknya Ilona sudah mengisi perutnya. “Padahal aku sudah susah payah beli kue ini, sampai rela bayar lima kali lipat karena rebutan sama anak muda-anak muda tadi,” gumam Rendra. Namun, dari nada bicaranya, tidak terselip emosi di sana. Rendra menatap wajah Ilona, hingga kemudian menyadari posisi Ilona yang tampak tidak nyaman. Dengan telaten, ia pun memperbaiki posisi Ilona, sebelum menyelimutinya, lalu bergabung berbaring di sampingnya. Saat melihat Ilona yang sempat terusik, Rendra terkejut. Ia menoleh dan menatap Ilona dengan siaga. Namun ternyata, wanita itu hanya ingin menyamankan posisinya saja - berbaring membelakangi Rendra sambil memeluk gulingnya. “Padahal aku udah effort buat nurutin kemauan dia. Tapi jangankan ucapan terima kasih. Tidur aja malah dipunggungin,” gumam Rendra lagi. Namun, ia tetap tidak bisa benar-benar marah. Entah kenapa, hatinya terasa sejuk setiap melihat Ilona akhir-akhir ini. Seolah dengan tanpa menahannya pun rasa emosi yang terkadang muncul tiba-tiba pada wanita itu bisa menguap dengan sendirinya. *** Ilona terperanjat seperti orang yang baru saja bermimpi buruk. Kepalanya terasa pusing, seolah ia kekurangan tidur. Namun, sinar matahari sudah mulai masuk melalui celah jendela kamarnya. “Tidak! Aku terlambat bangun!” panik Ilona. Ia melirik Rendra yang masih berbaring di sampingnya. Tampaknya pria itu juga terlambat tidur semalam. Hingga kemudian, saat mulai turun dari tempat tidur, Ilona teringat akan sesuatu. Ditambah lagi dengan sesuatu yang ia lihat di atas nakas, membuat ia semakin yakin jika apa yang ada dalam ingatannya saat itu bukanlah mimpi semata. “Jadi, semalam Rendra benar-benar nyariin ini buat aku?” lirih Ilona. Ilona menatap Rendra dengan perasaan bersalah. Ia merasa senang, karena biar bagaimana pun ia dapat merasakan perhatian dari suaminya itu. Namun, di sisi lain ia juga merasa telah menyusahkan Rendra. Kini, untuk membangunkan Rendra saja ia tidak tega. “Aku bahkan nggak sempat tahu dia pulang jam berapa. Dia marah nggak ya karena semalam aku tinggal tidur?” Ilona kemudian berjalan pelan menuju ke kamar mandi untuk mencuci wajahnya. Setelah itu, ia mengumpulkan keberaniannya - berjalan ke arah ranjang, karena biar bagaimana pun juga, Rendra tetap harus bekerja hari ini. “Ren,” panggil Ilona. “Rendra!” “Ren, bangun! Sudah hampir jam setengah tujuh.” Tampak Rendra mulai terusik. Ilona mengepalkan tangan kirinya, berusaha memberanikan diri untuk menggunakan cara lain yang mungkin lebih ampuh untuk membangunkan Rendra. Ia menyentuh pundak Rendra, lalu mengguncangkannya pelan. “Ren, ini udah mau jam setengah tujuh. Kamu harus ngantor, kan?” Akhirnya, mata Rendra mulai terbuka. Ia menatap Ilona dengan bingung. Seolah tidak biasa dibangunkan dengan cara hingga seperti itu. Karena memang Rendra adalah orang yang mudah bangun ketika dibangunkan. Hanya dengan memanggilnya beberapa kali, Rendra pasti akan membuka matanya, tidak seperti hari ini. “Ini sudah jam setengah tujuh. Kan harus ke kantor, kan?” ulang Ilona. Rendra kembali bergerak. Namun, tangan Ilona yang masih berada bahunya pun ikut tertarik sehingga wanita itu limbrung dan jatuh menimpa Rendra. Untung saja, Ilona masih dapat menggunakan salah satu tangannya untuk menopang tubuhnya, sehingga ia tidak benar-benar menimpa Rendra. Sementara itu, karena tahu Ilona limbrung karenanya, Rendra juga dengan sigap segera memegangi tubuh istrinya. Keduanya tampak seperti sedang berpelukan dalam keadaan berbaring. Kedua tangan Rendra ada di pinggang Ilona, berusaha menahan tubuh gadis itu agar tidak berbenturan keras dengan tubuhnya. Dan … mata mereka kini saling beradu dengan jarak yang sangat dekat. Kesadaran Ilona pulih lebih dulu. Tubuhnya memanas, dengan debaran jantung yang terasa lain dari biasanya. Ia pun refleks menarik tubuhnya menjauh, berusaha untuk berdiri tegap kembali. Namun, rasanya cukup berat karena tangan Rendra yang masih berada di pinggangnya. “Kamu nggak papa?” tanya Rendra. Dari tatapannya, pria itu sepertinya khawatir Ilona merasa sakit karena insiden tersebut. Ilona menggeleng kecil. Ia merasa semakin gugup ditatap dengan sedemikian rupa oleh Rendra. Kemudian, ia berusaha kembali berdiri. Dan untuk kali ini, Rendra turut membantunya, disusul pria itu yang juga segera duduk. “A- aku belum masak. Aku akan siapkan makanannya dulu. Kamu nggak papa, kan, nanti siapin pakaiannya sendiri? Semua ada di tempat biasa, kok,” ucap Ilona. “Hm.” Rendra menjawab singkat hanya dengan deheman. Lalu, saat Ilona ingin segera kabur dan menghindar, tiba-tiba saja Rendra memanggilnya. “Kamu nggak ambil browniesnya?” Ilona seketika menghentikan langkahnya. Ia teringat kembali dengan bungkusan yang ada di atas nakas. Lalu, dengan gerakan perlahan, ia kembali berbalik menghadap pada Rendra. Tangan Ilona terangkat menunjuk bungkusan yang ada di nakas. “Itu … semalam kamu benar-benar beli browniesnya?” “Kamu belum lihat?” Ilona menggeleng. “Aku pikir, mungkin itu punya kamu.” Rendra menghela napas panjang. “Yang semalam itu, namanya kamu ngidam. Yang pengen brownies bukan cuma kamu, tapi bayi di perut kamu juga. Aku pernah dengar, kalau nggak diturutin, kamu mungkin akan ngerasa nggak tenang dan kepikiran terus. Makanya aku coba carikan, dan dapat.” Ilona diam membeku di tempatnya. Jika ia mengartikan sikap Rendra adalah bukti sebuah perhatian, apakah ia berlebihan? Apakah ia terlalu berharap lebih? “Kenapa?” “Maaf,” cicit Ilona, saat Rendra kembali bersuara dan ia masih belum memikirkan jawaban atas ucapan pria itu sebelumnya. “Aku nggak tahu kalau kamu benar-benar bakal cari. Maaf udah ngerepotin kamu.” “Maaf juga karena aku malah tidur duluan, padahal kamu lagi keluar buat carikan itu untuk aku. Maaf,” lanjut Ilona. Raut wajah Rendra tampak berubah menjadi dingin kembali. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, pria itu segera bangkit. Ia mengambil handuk biru tua miliknya, lalu berjalan ke arah kamar mandi. “Kamu bisa pergi,” ucap Rendra, sebelum akhirnya ia membuka pintu kamar mandi dan masuk ke sana. Ilona menarik napasnya dalam-dalam setelah sejak tadi berusaha menahannya. Ia sangat gugup, dan ia tidak tahu harus melakukan atau mengatakan apa. Namun yang pasti, ia merasa ada yang salah dengan sikapnya. Dari reaksi Rendra, sepertinya pria itu menyimpan rasa kecewa dan kesal secara bersamaan. Sementara itu di dalam kamar mandi … “Sesusah itu buat bilang makasih sambil nunjukin wajah yang senang?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD