05 - Dia Antara Kita

919 Words
Ilona sudah dapat menebak dengan begitu mudah, jika tentang morning sickness yang ia alami hari ini, pasti akan sampai di telinga Inka. Memang, hal apa yang bisa Rendra sembunyikan dari Inka? Semua yang ia terjadi dalam hidup Rendra, pasti akan ia ceritakan pada Inka. Ilona masih membaringkan tubuhnya di bawah dekapan selimut. Sebenarnya, sekarang sudah masuk waktu jam makan siang. Namun, ia terlalu malas untuk beranjak. Keadaannya benar-benar lebih buruk dibanding hari-hari sebelumnya. Ilona mengecek ponselnya saat mendapati sebuah notifikasi masuk. Tertera nama Inka di sana. Dan ia sudah bisa menduga, apa pesan yang dikirimkan gadis itu padanya. Inka [Ilona, kamu di rumah, kan? Tumben pintunya terkunci.] Ilona menghela napas panjang. Mau mengabaikannya pun, tidak mungkin. Inka pasti akan langsung melaporkannya pada Rendra sehingga membuat pria itu berpikiran ke mana-mana. Ilona [Iya, ada. Kamu di depan?] Inka [Iya, nih. Tolong cepat bukain, ya!] Ilona mendengus sebal. Ia pun segera menyibak selimut yang membalut tubuhnya. Sebelum keluar, ia lebih dulu mengintip keberadaan seseorang di depan rumahnya. Dan ternyata benar. Mobil putih yang ia ketahui milik Inka berada di halaman rumahnya. Ilona berjalan dengan malas keluar dari kamar dan menuruni tangga. “Kata Rendra kamu lagi nggak enak badan?” tanya Inka, begitu Ilona mempersilakannya masuk. “Tadi aku pikir kamu lagi pergi, soalnya nggak biasanya pintunya kamu kunci kalau kamu ada di rumah.” “Tadi sengaja aku kunci, takut ada maling atau sebagainya. Soalnya aku tinggal di kamar terus seharian ini,” jawab Ilona seadanya. Inka menggiring Ilona ke ruang makan. Mengambil dua piring bersih dan meletakkannya di meja makan. “Aku bawa makan siang buat kamu. Kata Rendra, pagi tadi kamu mual-mual terus, kan? Aku ragu kamu bakalan masak.” Inka menata lauk yang ia beli di atas piring, lalu pergi lagi untuk mengambil piring yang lain. “Makasih ya, Inka. Sebenarnya masakan tadi pagi masih, cuma memang aku lagi malas buat sekadar manasin.” Inka menoleh ke arah Ilona. Ia menarik kursi di dekat mereka dan mempersilakan Ilona untuk duduk. Bukankah sahabat Rendra itu sangat baik? Ia begitu perhatian pada Ilona. Namun, di sisi lain, gadis itu juga membuat Ilona merasa seolah dirinya orang asing. Setiap kali ada Inka, justru Ilona lah yang tampak seperti tamu di rumahnya sendiri - ralat, rumah milik Rendra, suaminya. “Aku udah pesen makanan-makanan yang bagus buat ibu hamil. Jadi, makan yang banyak, ya! Biar nutrisi kamu dan baby-nya terpenuhi,” kata Inka. Gadis itu kemudian duduk di kursi yang lain, menyiapkan makanan untuk dirinya sendiri. “Pokoknya harus sehat terus! Kalau butuh apa-apa dan Rendra lagi nggak di rumah, kamu bisa kok kabarin aku. Nanti aku usahain buat datang,” lanjut Inka. Ilona mengangguk. Ia hendak menyahut untuk sekadar berterima kasih. Namun, Inka kembali buka suara, membuat Ilona harus memberinya kesempatan terlebih dahulu. “Soalnya kasihan Rendra. Kerjaan kantor dia kan banyak, tuh. Masih harus sering jengukin mamanya juga. Kalau kamu sampai sakit, repot dong jadinya nanti. Apa lagi, keluarga kamu juga nggak ada kan yang peduli sama kamu? Jadi ya mau nggak mau nanti Rendra yang bakal kerepotan sendiri.” Ilona tersenyum getir. Lagi dan lagi, ucapan Inka membuat dirinya merasa kecil. Namun, ia tidak bisa membantah. Dirinya memang hanya beban bagi Rendra. Dan Inka - gadis yang mengatakan hal-hal menyakitkan padanya itu, adalah gadis yang sebenarnya jauh lebih pantas berada di dekat Rendra. Selain itu, sikap Inka yang begitu lembut seperti ini juga membuat Ilona terus merasa sungkan untuk sekadar membela diri. Inka melakukan semuanya dengan begitu sempurna, hingga Ilona merasa tidak memiliki celah untuk mendebat gadis itu. *** Seperti biasa, menjelang jam pulang kerja Rendra, Ilona selalu berusaha untuk menyelesaikan segala pekerjaan rumahnya, termasuk memasak menu makan malam mereka. Baju ganti Rendra juga sudah ia siapkan di kamar. Dan kini ia sedang menyelesaikan sop ayam buatannya. “Kamu masak?” Ilona menoleh kaget, lalu mengangguk. Ia mencuri-curi pandang ke arah jam yang ada di ruangan itu. Ia tidak salah perhitungan, seharusnya sekarang Rendra masih ada di kantor. Namun, pria itu pulang lebih cepat. “Memang sudah baikan perutnya?” Ilona tersenyum teduh. “Aku cuma hamil, Ren, bukan mengidap penyakit perut kronis. Jadi kalau cuma buat masak dan bersih-bersih, ya harus tetap bisa.” Alis Rendra menukik tajam, seolah tidak suka dengan jawaban Ilona. Lalu, ia melangkah mendekat ke arah kabinet. Rendra meletakkan sebuah kantong plastik berukuran cukup besar di atas kabinet dekat kompor. “Aku belikan s**u khusus ibu hamil,” kata Rendra. Ilona cukup terkejut mendengar ucapan Rendra. Ia tidak menyangka Rendra akan membelikannya hal seperti itu. Sikap Rendra hari ini tampak berbeda. Sedikit lebih hangat dibanding biasanya. Dan tentu saja, hal itu memunculkan reaksi yang tak biasa pada tubuh Ilona. Pipi dan matanya terasa memanas, ia terharu dengan perlakuan sederhana yang Rendra tunjukkan padanya hari ini. “Dan lain kali, kalau belum terlalu sehat, nggak usah masak! Yang ada kamu bakalan sakit kalau terlalu memaksakan diri. Ini sudah jaman modern, makan bisa pesan, bersih-bersih bisa pesan jasa cleaning service. Jangan dibawa ribet!” Ilona tertegun. Apalagi, setelah Rendra pergi begitu saja ke arah tangga. Alih-alih merasa senang, Ilona justru kecewa. Karena menurutnya, ucapan Rendra seolah mempertegas apa yang Inka katakan padanya tadi siang. Rendra tidak ingin Ilona sampai jatuh sakit, karena pria itu tidak mau sampai kerepotan menjaga Ilona, kan? Ilona tersenyum getir. “Jangan salah mengartikan sikap Rendra, Ilona! Dia memang pria baik. Tapi bukan berarti dia akan sebegitu pedulinya sama kamu.” “Inka benar, kalau aku sakit, Rendra juga yang bakal repot. Kamu nggak boleh sakit, Ilona! Kamu harus kuat!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD