Rendra meremas ponselnya, matanya menatap layar dengan pandangan tajam. Pesan dari Inka membuat pikirannya bercabang. Ia menghela napas berat, mencoba mengabaikan dorongan untuk membalas.
"Ini bukan waktu yang tepat," gumamnya pelan, sembari melirik pintu kamar yang tadi ditutup Ilona.
Ia tahu, meski Inka meminta bantuan, ada tanggung jawab yang lebih besar menantinya di rumah. Ilona dan anak yang ada dalam kandungannya jauh lebih membutuhkan perhatian.
Rendra tidak ingin membuat jarak yang lebih jauh antara dirinya dan Ilona. Wanita itu tampak tidak sedang baik-baik saja. Rendra tidak ingin lengah dan membuat Ilona akan semakin menjauh darinya.
Namun, pesan dari Inka terus menghantui pikirannya. Ia tahu bagaimana wanita itu berjuang sendiri selama ini. Namun, apa itu cukup menjadi alasan untuk meninggalkan Ilona, yang jelas-jelas sedang rapuh?
"Kenapa semuanya harus terasa serumit ini?" Rendra mendesah panjang. Ia menutup pesan itu, memilih untuk tidak langsung merespons.
***
Di kamar, Ilona duduk di tepi ranjang, menyentuh perutnya yang masih datar. Ia memejamkan mata, merasakan gerakan lembut dari dalam. Tangannya mengusap perutnya pelan, seolah sedang berbicara dengan bayi mereka.
“Maafin Mama, ya. Mama nggak tahu harus gimana,” bisiknya pelan, suara bergetar menahan isak.
Pintu kamar terbuka perlahan. Rendra masuk dengan langkah pelan, takut mengganggu. Ia mendapati Ilona sedang termenung. Wajahnya tampak lelah.
“Kamu belum tidur?” tanyanya, membuat Ilona tersentak.
Ilona menggeleng. “Belum ngantuk.”
Rendra mendekat, duduk di sampingnya. Ia memperhatikan wajah Ilona yang tampak sedikit bengkak, mungkin akibat menahan tangis. Tangannya terulur, menyentuh pipi Ilona dengan lembut.
“Kamu kelihatan capek. Apa yang bikin kamu susah tidur?” tanya Rendra lembut.
Ilona mengejap. Ia menoleh ke samping sejenak, lalu berbaring membelakangi Rendra.
"Entahlah. Mungkin bawaan bayi," jawabnya lesu.
Rendra diam-diam masih terus memperhatikan Ilona. Ada rasa khawatir dalam dirinya, melihat pola hidup Ilona di tengah kehamilannya kini.
"Kamu ngidam sesuatu? Kalau iya, bilang! Mumpung belum terlalu malam."
Ilona menggeleng. "Aku cuma pengen cepat-cepat tidur aja, tapi sulit."
Tatapan Rendra terus memindai dari ujung kaki hingga ke kepala istrinya itu. Hingga ia teringat, kalau sebelumnya, Ilona tampak menggerakkan lengannya tidak nyaman.
"Terlentang!" paksa Rendra. Ia menarik Ilona agar tidur terlentang.
"A- ada apa?" bingung Ilona.
Rendra tidak langsung menjawab. Ia mengambil sebelah tangan Ilona, lalu memijatnya.
"Apa yang-"
"Apa lagi? Aku cuma mijitin lengan kamu. Capek, kan? Mungkin ini bisa bantu kamu buat bisa tidur," potong Rendra.
Ilona jadi merasa serba salah. Ia menatap ke arah lain, berusaha mencari alasan agar Rendra menghentikan pijatannya.
"Besok hari Minggu. Mau aku temani berenang?" tawar Rendra.
Ilona menoleh kaget. "Renang?"
Sebelumnya, Rendra belum pernah mengajaknya melakukan sesuatu bersama seperti ini. Apalagi berenang.
"Aku cuma mikirin bayinya. Aku rasa kamu butuh sedikit olahraga yang ringan seperti renang. Mumpung besok aku di rumah, aku bisa temani," jelas Rendra, tidak ingin Ilona menjadi salah paham.
Ilona berdehem. Tenggorokannya mendadak terasa gatal.
"Nggak mau?" tanya Rendra menyimpulkan.
Ilona menggeleng. "Bukan seperti itu. Hanya saja, a- aku nggak bisa berenang."
Rendra tampak terkejut mendengar ucapan Ilona. "Aku nggak pernah tahu kamu nggak bisa berenang."
"Mungkin karena kamu tidak pernah bertanya, dan kita juga belum pernah berenang bersama sebelumnya," balas Ilona asal.
Merasa tersentil mendengar ucapan Ilona, Rendra sampai tersedak dan beberapa kali terbatuk.
Ilona menarik diri untuk duduk. Ia meraih secangkir air yang ada di atas nakas, yang tadi sengaja ia bawa untuk jaga-jaga jika ia haus di malam hari. Ia menyodorkan air itu pada Rendra, dan pria itu pun segera meminumnya.
"B- besok aku ajari kamu berenang sampai bisa," ucap Rendra. Setelah itu, ia meletakkan tangan Ilona yang tadi ia pijat. Ia membaringkan tubuhnya, terlentang di samping Ilona.
Ilona menoleh sebentar ke samping, memastikan jika Rendra baik-baik saja.
"Kamu nggak papa? Muka kamu masih merah. Mungkin karena tadi tersedak," tanya Ilona.
Bukannya menjawab, Rendra malah memalingkan wajahnya. Lalu, ia membelakangi Ilona.
Ilona mengernyitkan keningnya, bingung melihat sikap Rendra. "Apa aku ada salah bicara, ya?" batin wanita yang sedang hamil muda itu.
***
Tidur lelap Rendra terusik tepat tengah malam. Ponselnya bergetar. Ia pun langsung menerima panggilan masuk itu dengan setengah sadar.
"Halo?"
"Ren, kamu lagi sibuk, ya? Ilona lagi sakit?"
Rendra mengernyit. Ia langsung berbalik untuk melihat keadaan Ilona. Wanita itu masih tampak nyenyak dalam tidurnya.
"Enggak. Ini sudah malam, jadi aku tidur. Ada apa?"
Terdengar helaan napas panjang dari lawan bicaranya. Saat nyawa Rendra mulai terkumpul, barulah kemudian dia sadar jika yang sedang mengobrol dengannya itu adalah Inka.
"Kamu nggak balas chat aku. Aku pikir terjadi sesuatu sama Ilona sampai kamu nggak bisa datang," lirih Inka di seberang sana. Nada bicaranya terdengar kecewa.
Ada rasa bersalah terselip di hati Rendra. Ia merasa seolah ia telah mengabaikan Inka. Padahal Inka tidak tahu apa-apa.
"Maaf," ungkap Rendra. "Gimana rencana operasinya? Serius harus banget dibedah?"
"Ya. Udah dijadwalkan juga besok pagi jam setengah sembilan. Makanya ini aku sekalian menginap di rumah sakit. Meski bukan operasi besar, aku cuma mau memastikan kalau aku benar-benar ada dalam pemantauan tim medis," terang Inka.
Rendra mengangguk setuju. Mengingat Inka hanya tinggal sendirian di Jakarta, wajar jika Inka membuat keputusan demikian.
"Ren ..." panggil Inka. "Kalau seandainya aku bilang aku pengen kamu temani waktu operasi besok pagi, apa kamu bisa?"
Rendra terdiam. Ia ingat dengan janjinya untuk mengajari Ilona berenang. Dan sayang sekali, waktunya bertabrakan dengan jadwal operasi Inka.
"Nggak bisa, ya? Besok hari Minggu loh," desak Inka. "Aku benar-benar sendiri. Memang sih cuma operasi kecil. Tapi ... lebay, ya, kalau operasi kayak gini aja aku minta kamu buat temenin?"
Rendra menghela napas gusar. Ia sendiri bingung. Jika bukan meminta tolong pada dirinya, harus siapa lagi yang Inka hubungi?
Operasi pengambilan gigi memang bukan tindakan medis yang besar. Namun, Rendra juga mengerti kalau Inka tetap berharap ada seseorang yang mau menemaninya.
Bukankah tinggal sendirian di rumah sakit saat mendapat tindakan bedah terdengar begitu menyedihkan?
"Akan aku usahakan" putus Rendra. Ia tidak tahu apa yang akan ia katakan besok pagi pada Ilona. Mungkin, Ilona akan kecewa. Namun, Rendra tidak punya jalan keluar lain untuk kali ini.
"Kamu ada urusan ya besok? Suara kamu kedengeran ragu," tanya Inka.
Rendra menoleh ke arah Ilona. "Aku sudah janji mau menemani dia olahraga besok pagi-"
"Olahraga bisa di lain hari, kan? Sedangkan aku operasi cuma sekali ini," potong Inka. "Nggak papa kan, Ren, kali ini aja aku ngerepotin kamu? Aku benar-benar butuh kamu soalnya. Ilona juga pasti ngerti. Masalah aku lebih urgent daripada dia."
Rendra menghela napas panjang. "Iya."
"Iya apa?"
"Aku akan datang dan nemenin kamu sampai selesai besok," jawab Rendra.
"Makasih, ya. Dan maaf banget karena aku jadi ngerepotin kamu, menyita waktu liburan kamu yang harusnya kamu habiskan sama Ilona ..."
"Nggak usah bicara seperti itu! Kamu itu bukan orang lain. Lagi pula memang benar, aku rasa keberadaanku akan lebih dibutuhkan di sana untuk besok. Ini sudah tanggung jawabku, jadi kamu nggak perlu sungkan," ujar Rendra.
Sebelum kembali berbaring, sekali lagi, Rendra menoleh ke arah Ilona. Kepalanya terasa pening. Ia bingung harus menjelaskan bagaimana pada Ilona yang mungkin sudah berharap banyak pada apa yang ia janjikan sebelumnya.
"Maaf. Tapi kali ini aja, aku harap kamu bakalan bisa mengerti," lirih Rendra.
Tanpa Rendra sadari, sebenarnya Ilona mendengar sebagian percakapannya dengan Inka. Wanita itu masih memejamkan mata karena ia pikir itu hanya bagian dari mimpinya. Namun, semakin lama ia semakin yakin jika ini adalah kenyataan.
Dan tanpa perlu bertanya pun Ilona tahu pasti siapa yang menelepon suaminya selarut ini, dan tega merampas rencana berharga Ilona besok pagi.
Seperti biasa, itu adalah Inka - yang memang selama ini seolah tak pernah membiarkan Rendra menghabiskan waktunya bersama Ilona.
"Kapan kamu akan sadar kalau apa yang kamu lakukan selama ini membuat aku sakit?"
"Kapan kamu akan sadar, kalau dia adalah duri dan penyebab rasa sakitku selama ini?"
"Apa perasaan ini sama sekali tidak berarti untukmu? Lalu untuk apa lagi kamu kekeuh mempertahankan pernikahan ini, jika akhirnya kamu tetap tidak bisa memberikan hatimu untukku?"
Ilona hanya bisa membatin lirih, dalam hatinya yang terasa begitu perih.