Suara air yang mengalir dari kamar mandi membangunkan Ilona. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, menyadari bahwa Rendra sudah bangun lebih dulu. Biasanya, ia yang lebih awal bersiap-siap, tetapi kali ini semuanya terasa berbeda.
Saat Ilona keluar dari kamar, ia mendapati Rendra di meja makan, mengenakan pakaian rapi dengan jam tangan yang baru saja ia pasang di pergelangan tangan. Ilona mendekat, meski tubuhnya terasa lemas.
"Kamu mau pergi?" tanyanya, suaranya terdengar serak.
Rendra mengangguk cepat. "Iya. Aku ada urusan pagi ini."
Ilona hanya menatapnya, seolah menunggu penjelasan lebih lanjut, tetapi Rendra tidak menambahkan apapun. Apa Rendra tidak ingin mengatakan yang sebenarnya pada Ilona, jika pria itu akan pergi untuk bertemu dengan Inka?
"Kamu nggak apa-apa, kan? Kalau ada yang kamu butuhkan, tinggal bilang Bi Marni aja," katanya sambil mengangkat tasnya.
Ilona tersenyum tipis, lebih terlihat seperti upaya menenangkan diri sendiri daripada menyampaikan persetujuan. "Iya, aku nggak apa-apa."
Rendra merasa ada yang ganjil, tapi ia tidak ingin memperpanjang waktu. "Kalau gitu, aku pergi dulu, ya. Nanti aku pulang sebelum sore."
Ilona hanya mengangguk. "Hati-hati di jalan."
Rendra ragu sejenak. Ia sempat menoleh kembali ke arah Ilona. Bukankah semalam ia sudah berjanji akan mengajarkan Ilona berenang pagi ini? Namun, Ilona hanya diam dan membiarkannya pergi.
Bukankah itu terasa janggal?
Karena merasa dikejar waktu, karena Inka yang akan menjalani operasi lagi ini, Rendra tidak punya cukup waktu untuk bicara panjang lebar pada Ilona. Ia pun segera melangkah keluar. Pintu tertutup pelan, meninggalkan Ilona sendirian di ruang makan yang terasa begitu sepi.
Sepeninggalnya Rendra, Ilona segera duduk, menatap hampa makanan yang ada di hadapannya.
"Mbak Ilona mau pakai ikan atau ayam? Sayur bayamnya mau dipanasin dulu?" tawar Bi Marni. Wanita paruh baya itu seolah tahu, jika Ilona sedang sedih.
Ilona menggeleng. "Saya nggak begitu lapar, Bi. Nanti saja saya makannya."
"Masakan Bibi nggak sesuai sama selera Mbak Ilona, ya? Maaf ya, Mbak. Nanti Mbak bisa list apa saja makanan yang Mbak suka," ujar Bi Marni.
Ilona tersenyum. Merasa tidak enak hati karena telah mengecewakan asisten rumah tangga barunya itu.
"Bukan begitu, Bi. Namanya juga orang hamil. Kadang bener-bener nggak selera aja. Tapi ini semua, saya suka kok. Lagi pula saya nggak terlalu pemilih soal makanan," ucap Ilona.
"Tapi, Mbak, Mbak kan lagi hamil. Nggak bagus juga kalau telat makan. Apa mau diganjel pakai roti dulu? Biar saya siapkan," tawar Bi Marni.
Ilona berpikir sejenak. Namun, ia benar-benar sedang tidak berselera. "Biar saya siapin sendiri saja, Bi. Makasih, ya."
Ilona mencoba makan roti isi yang ia buat, tetapi rasa mual menghantamnya begitu kuat. Ia buru-buru berlari ke kamar mandi, muntah hingga tubuhnya lemas.
"Mbak, apa nggak sebaiknya saya buatkan yang lain? Mungkin bubur lebih cocok," saran Bi Marni dengan nada khawatir.
Ilona menggeleng, berjalan pelan kembali ke meja makan. "Nggak usah, Bi. Saya cuma perlu istirahat sebentar. Mungkin nanti saya akan coba makan lagi."
Namun, saat duduk kembali, rasa mual itu menyerang lebih hebat. Ilona menahan napas, berusaha mengabaikannya, tetapi tubuhnya terasa makin lemah. Ketika ia mencoba bangkit untuk kembali ke kamar, pandangannya tiba-tiba berkunang-kunang.
"Mbak Ilona!" seru Bi Marni, buru-buru menangkap tubuh Ilona yang hampir terjatuh.
"Astaga, Mbak. Mbak nggak papa? Ayo saya bantu duduk! Biar saya kabari Pak Rendra biar beliau segera pulang dan antar Mbak Ilona ke rumah sakit," ujar Bi Marni.
Wanita itu dengan cekatan ingin membantu Ilona. Namun, Ilona meremas tangan Bi Marni, menahan wanita itu agar tidak panik. "B- Bi, jangan kasih tahu Rendra. Saya nggak papa."
"Tapi Mbak, Ibu hampir pingsan. Saya nggak bisa diam saja. Kalau sampai terjadi sesuatu sama Mbak Ilona, saya harus apa?"
"Tolong, Bi. Rendra pasti lagi sibuk. Saya nggak mau ganggu dia."
Bi Marni menghela napas, bingung antara mematuhi permintaan Ilona atau mengikuti nalurinya untuk memberi tahu Rendra. Akhirnya, ia hanya membantu Ilona duduk kembali di sofa.
"Kalau Mbak merasa tambah buruk, saya harus kasih tahu, ya. Saya nggak mau ambil risiko," tegas Bi Marni.
Ilona mengangguk lemah, mencoba tersenyum untuk menenangkan wanita itu. Namun, hatinya bergetar. Ia tahu, Rendra tidak akan ada di sisinya hari ini, dan itu membuat rasa sakit di tubuhnya terasa lebih menusuk.
Sementara itu di tempat lain, Rendra duduk di ruang tunggu rumah sakit, mendengarkan dokter menjelaskan prosedur operasi untuk Inka. Meski pikirannya seharusnya fokus, bayangan Ilona terus muncul di benaknya.
"Aku benar-benar lega kamu di sini, Ren," kata Inka pelan, menggenggam tangan Rendra dengan erat.
Rendra tersenyum kecil, tapi tidak mengatakan apa-apa. Hatinya terasa berat, seperti ada yang salah dari keputusannya pagi ini. Namun, ia mencoba mengabaikan perasaan itu, meyakinkan dirinya bahwa ia hanya membantu seorang teman.
***
Ilona terbaring di kamar, wajahnya pucat. Bi Marni duduk di sisi tempat tidur, membawakan segelas air dan mencoba menyuapinya dengan bubur hangat.
"Mbak, ini saya suapin. Coba makan sedikit, ya."
Ilona menggeleng lemah. "Bi, saya cuma butuh tidur."
Bi Marni mendesah. Ia tahu Ilona keras kepala, tetapi ia tidak bisa membiarkan kondisi ini terus berlanjut. Ia hanya berharap Rendra segera pulang sebelum semuanya semakin memburuk.
"Mbak Ilona lagi hamil. Biar bagaimana pun, bayi dalam perut Mbak Ilona tetap butuh asupan nutrisi," ujar Bi Marni.
Ilona memegangi perutnya, merasa bersalah pada raga kecil yang belum terbentuk sempurna di dalam sana.
"Maafin Mama ya, sayang. Tunggu sebentar! Mama janji akan segera memberimu makanan setelah perut Mama baikan," lirih Ilona.
"Apa saya panggilkan dokter saja, Mbak? Boleh saya minta kontak dokter pribadi yang sering dipanggil Pak Rendra?"
Ilona menggeleng lemah. "Saya nggak punya kontaknya. Nggak papa, Bi. Nanti juga rasa mualnya berkurang. Saya mau tidur saja."
Bi Marni semakin resah. Ia khawatir keadaan Ilona akan semakin buruk jika tidak segera mendapat pertolongan medis. Ia pun tidak bisa memberi sembarang obat, mengingat Ilona sedang hamil.
Bi Marni menatap Ilona yang sedang memejamkan matanya. Ia meringis prihatin melihat keadaan majikannya yang sedang hamil muda itu.
"Saya izin tanya ke Bu Mira ya, Mbak, kalau Mbak Ilona benar-benar melarang saya menghubungi Pak Rendra," lirih Bi Marni, lalu keluar dari kamar Ilona.
"Halo, Bi, ada apa?" Suara Bu Mira langsung terdengar setelah dering ketiga.
"Anu, ini, Bu. Saya mau minta kontak dokter langganan keluarga yang bisa dipanggil ke rumah, apa bisa?"
"Loh, memang siapa yang sakit?" Suara Bu Mira terdengar khawatir.
Bi Murni merasa serba salah. Khawatir jika ia salah bicara, malah akan membuat masalah baru di keluarga kecil yang menampungnya itu.
"Bukan sakit, Bu. Cuma Mbak Ilona tadi sempat muntah-muntah dan sekarang lemas. Saya mau kasih obat sembarangan nggak berani."
"Oh ... morning sickness, ya? Biasa itu. Diemin aja nanti juga reda, Bi. Rendra ada, kan?"
Bi Marni diam sejenak. Bingung harus menjawab seperti apa.
"Bi ..."
"Pak Rendra lagi keluar, ada acara sebentar katanya. Tapi, Bu. Ini saya beneran nggak tega lihat keadaan Mbak Ilona. Rasanya nggak tenang kalau belum diperiksa dokter."
Bi Marni tidak bisa menjelaskan secara detail keadaan Ilona, khawatir akan membuat Bu Mira menjadi khawatir. Namun, ia juga sangat membutuhkan kontak dokter itu.
"Ya udah, iya sebentar saya kirim kontaknya. Kalau ada apa-apa, kabarin ya, Bi! Kalau dirasa perlu, Rendra nya juga ditelepon aja, suruh pulang! Weekend kok malah pergi, istrinya ditinggalin. Nggak bener itu," ucap Bu Mira.
Bi Marni menghela napas panjang. "Baik, Bu. Terima kasih. Kalau begitu saya izin buat lihat keadaan Mbak Ilona lagi dulu."
Baru saja Bi Marni mematikan sambungan telepon ...
Pranggg
Terdengar suara pecahan kaca dari dalam kamar Ilona. Bi Marni membulatkan matanya. Dengan langkah tergesa, ia segera kembali ke kamar Ilona untuk melihat keadaan wanita itu.
"Astaga, Mbak Ilona!" pekik Bi Marni.
Bi Marni buru-buru mendekat ke arah Ilona, menarik wanita itu untuk segera duduk.
"Shhh ..." Ilona meringis menahan perih.
"Astaga, berdarah! Darahnya banyak banget, Mbak!" panik Bi Marni.
Wajah Ilona tampak semakin pucat. Keringat mulai tampak bercucuran di wajahnya. Keadaannya benar-benar tidak baik-baik saja. Ilona ingin memegangi kepalanya yang terasa pening. Namun, ia sama sekali tak memiliki energi tersisa untuk melakukannya.
Dan detik berikutnya, tubuh wanita itu limbrung, kehilangan keseimbangan.
"Mbak! Mbak Ilona! Astaga!"