Ilona duduk di kursi taman kecil di halaman belakang rumah, memegang gunting tanaman. Tangannya sibuk memangkas daun-daun kering, meskipun pikirannya jauh melayang. Ia mendesah pelan, merasa lelah dengan perasaan yang terus ia pendam. Langkah Rendra terdengar mendekat, membuatnya refleks menegakkan tubuh.
“Kamu lagi apa di sini?” suara berat Rendra memecah keheningan.
Ilona menoleh sekilas. “Nggak ada, cuma bersihin tanaman,” jawabnya datar, kembali memotong daun yang bahkan tak perlu dipangkas.
“Nggak biasanya sepagi ini kamu di luar."
“Mungkin karena kerjaan rumah udah ditanganin Bi Marni, jadi aku cari kegiatan di sini sekalian cari udara segar,” jawab Ilona tanpa menatapnya, sengaja sibuk dengan tangannya.
Rendra memperhatikan Ilona yang tampak begitu sibuk, lebih dari biasanya. Ia tahu ada sesuatu yang berbeda, tapi tak mau langsung bertanya.
“Kalau sudah selesai, segera masuk saja! Udara pagi ini dingin, dan kamu belum sarapan. Yang ada nanti malah masuk angin,” ucap Rendra sebelum beranjak pergi.
“Ya,” balas Ilona singkat, bahkan tanpa melihat ke arah Rendra.
***
Di dapur, Ilona membantu Bi Marni memasak. Tangannya lincah mengupas bawang, sesuatu yang jarang ia lakukan sebelumnya.
“Mbak nggak istirahat aja? Kan dari beberes kebun. Nanti kalau sudah matang, saya kasih tahu,” tanya Bi Marni.
Ilona tersenyum kecil. “Cuma mau bantu-bantu aja, Bi. Biar nggak bosan.”
Bi Marni menatapnya ragu. “Apa nggak mending istirahat aja,? Mbak kan lagi hamil, butuh banyak waktu buat santai.”
“Nggak apa-apa, Bi. Aku nggak capek,” jawab Ilona pelan. Namun, ia sebenarnya hanya mencari alasan untuk tidak harus duduk bersama Rendra.
Ketika Rendra masuk ke dapur beberapa menit kemudian, Ilona kembali berpura-pura sibuk.
“Kamu ngapain?” tanya Rendra.
“Masak,” jawab Ilona singkat, tanpa mengangkat kepala.
“Iya aku tahu. Tapi aku lihat dari tadi kamu nggak ada istirahat sama sekali. Ada aja yang dikerjain.”
"Ya namanya juga ibu rumah tangga. Aku cuma ngerjain apa yang memang seharusnya aku kerjain, kok," balas Ilona.
"Tapi kan juga ingat kondisi kamu. Dari aku bangun, kamu udah sibuk. Sampai sekarang aku bahkan belum lihat kamu istirahat," heran Rendra. Pria itu mulai merasa ada yang aneh dengan istrinya.
"Rendra, aku cuma hamil, bukan sakit keras. Aku masih bisa beraktivitas seperti biasa," ketus Ilona.
Rendra terkejut mendengar nada bicara Ilona yang terdengar ketus. Tak biasanya wanita itu bicara dengan nada semenyebalkan ini sebelumnya.
"Kamu-"
Belum sempat Rendra mempertanyakan sikap aneh Ilona, wanita itu sudah lebih dulu beranjak. Ilona pergi dengan terburu-buru sambil menutup mulutnya. Sepertinya dia merasa mual.
"Mas Rendra kejar gih Mbak Ilonanya! Takutnya nanti tiba-tiba Mbak Ilona butuh bantuan!" usul Bi Marni.
Rendra mengangguk. Kemudian, ia segera menyusul Ilona berlari ke lantai dua, di mana kamar mereka berdua berada.
Rendra menghentikan langkahnya saat melihat Ilona sedang mengeluarkan isi perutnya di wastafel. Wanita itu tampak sangat menderita. Suaranya terdengar begitu memilukan.
"Ilona ..."
Ilona mendongak, menatap Rendra dari kaca di depannya. Wajahnya tampak sedikit pucat, membuat Rendra semakin khawatir.
Rendra beranjak mendekat. Cepat-cepat Ilona mencuci mulutnya dan membersihkan muntahannya dengan air mengalir.
"Jangan mendekat!"
"Kamu sakit," cicit Rendra, setelah Ilona melarangnya mendekat.
"Ini cuma morning sickness. Sesuatu yang biasa untuk ibu hamil. Lebih baik kamu- kamu keluar dulu aja!" Ucapan Ilona sempat terpotong karena dia merasa mual.
Mengabaikan peringatan dari Ilona, Rendra kembali mendekat. Ia membantu memijat tengkuk Ilona saat wanita itu tampak ingin mengeluarkan isi perutnya lagi.
"Rendra, ini jijik!" teriak Ilona. Ia mendorong tangan Rendra menjauh.
Setelah berhasil menahan rasa mualnya, Ilona berdiri. Ia menatap Rendra dengan tajam.
"Aku lagi muntah. Apa nggak bisa kamu kasih sedikit ruang buat aku?"
"Aku di sini buat jagain kamu. Siapa yang jamin kamu akan baik-baik aja kalau aku tinggal? Wajah kamu pucat, kaki kamu bergetar. Kamu nggak lagi baik-baik saja, Ilona!" sentak Rendra.
"Tap- tapi ini jijik," lirih Ilona.
Rendra mengacak-acak rambutnya. Apa yang ada dalam pikirannya terlalu sulit untuk ia ungkapkan. Semua terasa begitu rumit baginya.
"Yang di dalam perut kamu itu adalah anakku. Kamu nggak lupa, kan?"
"Ren ..."
"Kalau kamu merasa risih dengan sikapku, kamu bisa anggap aku lagi jagain dia. Aku lakuin ini demi anakku. Aku nggak mau nanti terjadi sesuatu sama kamu yang bikin dia celaka!" tegas Rendra.
Rasa mual itu muncul kembali. Ilona pun memuntahkan isi perutnya yang hanya tersisa air.
Saat melihat wanita itu nyaris limbrung, Rendra dengan sigap menangkapnya.
"Lihat! Keberadaanku di sini terbukti berguna, kan?" sinis Rendra. Ia membantu Ilona mencuci mulutnya, meski Ilona sempat menolak. Setelah itu, Rendra membopong Ilona dan meletakkannya perlahan di atas tempat tidur.
"Diam dan jangan ke mana-mana!" tegas Rendra saat melihat Ilona yang ingin bangun.
Rendra keluar sebentar. Lalu, kembali membawa segelas air dan sebuah minyak kayu putih.
Tanpa banyak bicara, Rendra membantu Ilona minum.
"Jangan sampai telat minum! Kamu kalau muntah banyak mengeluarkan cairan. Jadi lebih sering buang air kecil juga, kan?" ucap Rendra.
"Tiduran dulu!" Rendra mendorong Ilona untuk kembali berbaring. Lalu, ia menyikap atasan yang dikenakan Ilona, membuat wanita itu terkejut.
"Ssstt ... aku cuma mau oleskan minyak ke perut kamu biar agak enakan," ujar Rendra.
"A- aku bisa sendiri." Ilona merasa gugup. Ia selalu merasa seolah tersengat listrik tiap kali Rendra menyentuh benerapa bagian tubuhnya.
"Nurut aja biar cepat!" tegas Rendra. Ia kembali berusaha menyikap baju Ilona. Kemudian, ia menuang minyak kayu putih ke tangannya, dan mengoleskannya dengan hati-hati ke perut Ilona.
'Krrruuukkk'
Ilona menggigit bibir bagian dalamnya. Ia harap, Rendra tidak mendengar suara memalukan yang berasal dari perutnya barusan. Namun, sepertinya itu tidak mungkin, mengingat Rendra berada di jarak yang sangat dekat dengan Ilona, ditambah lagi dengan keberadaan tangan pria itu yang sedang mengoleskan minyak pada perut Ilona.
"Sudah. Sekarang ayo makan!"
Rendra hendak membantu Ilona berdiri. Namun, wanita itu enggan dan tetap bertahan dengan posisinya saat ini.
"Kamu lapar, kan? Ayo isi dulu perutmu! Walau ini hari Sabtu, aku nggak bisa jika harus mengurusi kamu setiap waktu. Jadi, tolong permudah urusanku dengan jadi perempuan yang penurut!"
Ilona mendengus sebal. Padahal ia sedang menahan rasa malu karena bunyi perutnya tadi. Dan Rendra malah membuat semua jadi terasa semakin memalukan bagi Ilona.
"Atau perlu aku bawa makanannya ke skni?"
"Eh? Eng- nggak usah," tolak Ilona cepat.
"Aku cuma ... cuma lagi pengen makan sesuatu aja barusan. Kalau begiti, ayo!" Ilona menerima para akhirnya, daripada membuat Rendra malah berpikiran yang tidak-tidak.
"Lagi pengen makan apa?"
Ilona menggeleng. Ia merasa tidak enak hati jika mengatakannya pada Rendra - khawatir pria itu akan menganggap ia inhin memanfaatkannya.
"Lebih baik kamu bilang! Kalau memang masih bisa aku dapatkan, mungkin aku bisa bantu cari nanti," desak Rendra.
"Aku mau ... ketan hitam pakai santan," jawab Ilona sambil memegangi perutnya.
Rendra terkekeh. "Aku pikir kamu mau apa. Ternyata bubur ketan hitam aja?"
Ilona mengangguk. Ia juga tidak tahu kenapa tiba-tiba membayangkan makanan itu.
"Nanti aku coba cari di depan komplek aja. Kamu nggak perlu terlalu pikirin!" ucap Ilona yang merasa serba salah.
Rendra mengernyitka keningnya. Pandangannya menajam, seolah tidak setuju dengan ucapan Ilona sebelumnya.
"Yang penting sekarang makan dulu," putus Rendra.
Ilona menelan salivanya kasar. Aura Rendra tamapk berbeda dari biasanya. Namun, sayangnya Ilona tidak bisa membaca pikiran pria itu saat ini.
Mencari aman, Ilona pun memilih untuk segera mengikuti arahan yang Rendra berikan.
***
"Pesen dua ya, Bang! Satu sepaket dan satunya cuma ketan hitam sama santan," ucap Rendra.
Ilona sejak tadi diam. Ia tidak menyangka jika Rendra masih mau meluangkan waktunya untuk menyenangkan bayi yang ada di dalam perutnya - membeli bubur ketan hitam.
Usai sarapan pagi ini, Rendra tiba-tiba mengajak Ilona pergi. Pria itu tidak menjawab saat Ilona bertamya akan ke mana mereka pergi. Dan ternyata Rendra membawa Ilona ke warung bubur kacang hijau yang sudah buka.
Ilona pun mulai goyah. Ia tersentuh dengan perlakuan sederhana Rendra yang begitu berarti untuknya.
Ini adalah kali pertama Rendra membawa Ilona makan di luar berdua, setelah satu tahun mereka menikah.
"Apa aku sudah keterlaluan ngediemin dia? Kenapa sikapnya ini malah membuat aku merasa bersalah?" batin Ilona.
Rendra terkejut saat menyadari Ilona menatapnya. Sejak tadi, ia terlalu fokus pada isi mangkuk makannya.
"Kenapa? Mau nambah?" tawar Rendra.
Ilona menggeleng. "Ini aja udah cukup sih," Ilona.
***
Malam harinya, Ilona duduk di ruang keluarga sambil membaca buku. Matanya menatap halaman buku, tetapi pikirannya tidak ada di sana. Ketika Rendra masuk, Ilona segera menutup buku dan bangkit.
“Kamu udah mau tidur?” tanya Rendra.
“Hmm, iya. Aku ke kamar dulu,” jawab Ilona tanpa menunggu respons, langsung melangkah pergi.
Rendra berdiri di tempatnya, memperhatikan Ilona yang tampak berusaha menjauhinya. “Ilona,” panggilnya sebelum Ilona sempat keluar ruangan.
Ilona berhenti di ambang pintu. “Ya?”
“Aku ngerasa kamu aneh belakangan ini. Ada apa?” tanyanya dengan nada datar, meskipun sebenarnya ia penasaran.
Ilona terdiam sejenak sebelum menjawab, “Aneh kenapa? Aku ngerasa nggak ada apa-apa.”
“Kamu yakin?” desak Rendra, mencoba mencari celah di balik sikap dingin Ilona.
“Yakin,” jawab Ilona cepat, lalu meninggalkan ruangan tanpa memberi kesempatan Rendra bicara lebih jauh.
Rendra menghela napas berat. Ia tahu ada yang salah, tapi ia tak tahu harus mulai dari mana untuk memperbaikinya. Di sisi lain, Ilona hanya ingin menjaga hatinya agar tidak terluka lebih dalam.
Akankah jarak ini membuat Rendra sadar, atau justru semakin memisahkan mereka?
"Kenapa aku nggak bisa menerima jawaban dia, ya? Apa benar dia nyembunyiin sesuatu dari aku? Tapi apa?"
"Ck, wanita memang sulit dipahami. Tapi, wanita hamil seribu kali lebih sulit dipahami daripada wanita biasa."
Rendra membuka ponselnya, membaca beberapa pesan yang masuk di sana.
From: Mama
[Jangan lupa jagain Ilona!]
[Setiap mau tidur, ajak dia ngobrol! Tanyain gimana hari dia hari ini, dan tanya juga apa yang lagi dia pengen.]
[Ilona itu orangnya tidak enakan. Dia selalu khawatir akan merepotkan orang lain. Maka dari itu, kamu juga harus belajar buat lebih peka!]
Rendra menghela napas panjang. Tidak ada yang bisa ia bantah atau pun sanggah dari ucapan ibunya.
"Bukankah itu artinya selama ini Ilona banyak memendam rasa sakit sendirian karena dia yang nggak pernah mau berbagi cerita sama orang lain?"
Namun, beberapa notifikasi pesan baru berhasil membuyarkan lamunannya. Pesan itu baru saja masuk. Rendra juga masih bisa melihat dengan jelas jika pengirim pesan itu masih berada di ruang obrolan mereka.
From: Inka
[Hari ini sibuk, nggak? Aku sakit gigi. Dari lagi tadi udah ke dokter, tapi dokter bilang ini ada gigi mau tumbuh tapi nggak bisa keluar, harus dibedah. Dan kamu tahi, kan, aku nggak punya siapa-siapa lagi di sini. Jadi aku berharap kamu bisa luangin waktu kamu sebentar aja, seenggaknya sampai operasinya selesai."