08 - Istana yang Dingin

1457 Words
“Terima kasih ya, Nadia. Nggak kebayang deh kalau tadi nggak ketemu kamu di supermarket. Pasti bakal ngerepotin bapak sopir taksinya,” ucap Ilona, setelah dirinya selesai menata belanjaannya di dapur. Bersama dengannya, kini ada seorang perempuan sebaya dengannya. Namanya Nadia, teman SMA Ilona yang kebetulan juga tinggal tak jauh darinya. Wanita itu baru sekitar dua setengah bulan lalu menikah dan pindah di kawasan yang sama dengan Ilona, ikut suaminya. “Iya. Lain kali kalau mau belanja tapi nggak ada temen, bareng aja Ilona! Apalagi kamu lagi hamil, baiknya nggak angkat beban berat dulu!” Ilona mengangguk. Lalu, ia menyiapkan minuman untuk Nadia, dan mengajak wanita itu untuk pindah ke ruang tamu yang lebih nyaman. “Nggak usah repot-repot astaga! Lagian sekalian mampir doang. Sejak aku nikah kan kita belum sempat ketemuan lagi,” ucap Nadia. Ilona terkekeh. “Ya kan kamu tetap tamuku di sini. Diminum, Nad! Eh ini sudah mau jam makan siang. Mau makan di sini sekalian nggak? Itung-itung temenin aku!” “Hmm … boleh, deh kalau itung-itung nemenin bumil. Bumil satu ini pasti kesepian ya, ditinggal kerja suaminya dari pagi sampai sore terus?” balas Nadia. “Kayak kamu enggak aja,” balas Ilona. Namun kemudian, Ilona teringat sesuatu. “Oh iya. Tapi kamu juga kerja sih, ya? Enak. Nggak sering di rumah sendiri, nggak ngerasa sepi.” Nadia tahu, temannya itu pasti sering merasa kesepian tinggal sendirian di rumah sebesar ini. Lagi pula, dari tadi ia celingukan, sepertinya Ilona dan suaminya juga tidak memperkerjakan asisten rumah tangga. “Kamu sama suami kamu berdua aja tinggal di sini?” Ilona mengangguk. “Nggak ada niatan memperkerjakan asisten rumah tangga, gitu? Buat bantu-bantu sekaligus nemenin kamu.” Ilona mengangkat kedua bahunya. Rendra belum pernah membahas hal itu secara serius dengannya. Dan untuk meminta, tentu Ilona tidak berani. Karena untuk memperkerjakan asisten rumah tangga juga memerlukan gaji, dan ia tidak punya sepeser pun uang sehingga semua bergantung pada Rendra. “Kamu juga nggak ada niatan buat kerja lagi? Ya … memang kalau dilihat-lihat kayaknya secara materi kamu nggak butuh itu. Tapi, seenggaknya biar ada temen kan lumayan?” Ilona mengangguk setuju kali ini. “Kalau boleh, pengen. Cuma dari habis nikah, Rendra minta aku fokus urus rumah.” “Dih? Kok gitu, sih? Padahal di rumah juga dibiarin sendirian. Asisten rumah tangga aja nggak dikasih walau rumah sebesar ini.” “Bukan gitu. Dia nggak sekejam itu kok, Nad. Soal urusan rumah, dia minta aku panggil jasa bersih-bersih juga sebenarnya. Makan juga dia nggak masalah misal aku mau delivery order tiap hari. Soal uang belanja dan lainnya juga nggak pernah sampai kurang. Mungkin maksudnya biar aku nggak kepikiran macam-macam dan bisa santai di rumah saja kali, ya?” Ilona tahu. Rendra melarangnya kerja karena pekerjaan Ilona yang memang tidak setara dengannya. Mungkin, pria itu malu memiliki istri dengan pekerjaan buruh biasa dengan gaji yang tidak tentu, berkisar UMK saja. Untuk membantu mendongkrak karir Ilona juga tampaknya sulit, karena Ilona hanya mengantongi ijazah SMA. Daripada bekerja asal, tampaknya Rendra ingin Ilona menjadi thropy wife saja untuknya. Nadia mengangguk mengerti. Meski secara ekonomi suaminya tidak seberuntung suami Ilona, tapi Nadia dapat merasakan perbedaan signifikan terhadap hidupnya dan Ilona. Meski secara harta dirinya kalah jauh, tapi ia merasa suasana rumahnya jauh lebih hangat dibanding rumah megah Ilona. “Pokoknya kalau ada sesuatu, kabarin aku aja ya, Ilona! Jangan sungkan. Soal kandungan kamu, gimana? Sehat?” “Sehat. Cuma aku ngerasa kalau morning sickess yang aku alami kok kayaknya parah, ya? Walau nggak setiap hari, tapi kadang aku benar-benar nggak bisa berhenti mual. Sering muntah juga sampai perutku rasanya kayak kosong,” ucap Ilona. Nadia menatap Ilona sendu. “Kamu lagi banyak pikiran? Biasanya orang yang kayak gitu karena lagi stres. Ada masalah, Na?” Ilona menghela napas panjang. “Apa karena masih dalam keadaan berduka kali, ya?” Ia berhasil menemukan sebuah alasan. “Hmm … masuk akal. Papa mertua kamu kan sayang banget sama kamu, udah kayak anak sendiri. Jadi pasti kamu juga ngerasa kehilangan banget. Cuma, Na, kalau saran aku, jangan terlalu ambil pusing semua hal, ya! Pikiran ibu hamil itu memang sensitif. Tapi kalau kita turutin, yang ada bikin sakit.” Ilona tersenyum. “Kamu kayak ngerti aja masalah begituan, Nad …” “Ya memang udah banyak belajar, sih. Itung-itung buat persiapan. Jujur ya, Na, aku udah nggak sabar banget ngerasain yang namanya hamil. Sampai suamiku sendiri sering bingung kalau aku udah beli buku-buku bacaan buat ibu hamil gitu.” “Tapi yaaa … namanya kami juga nikah baru banget, kan? Sedangkan kamu aja butuh hampir setahunan buat goal. Jadi kayaknya aku juga harus sedikit lebih bersabar lagi,” lanjut Nadia. Ilona tersenyum miris. Setiap pasangan muda pasti mendambakan kehadiran anak pertama mereka. Mereka akan sangat senang saat anak itu hadir. Namun, bagi Ilona, meski ia senang dengan keberadaan janin dalam kandungannya, tapi di sisi lain ia juga menyayangkan hal itu karena suatu hari anak itu harus tumbuh tanpa kasih sayang yang lengkap dari kedua orang tuanya. Anak itu hadir tanpa Ilona duga. Padahal selama ini, ia selalu menimum obat pencegah kehamilan setiap kali selesai berhubungan. Namun, kenyataannya janin itu tetap hadir di perut Ilona. “Gantian, Na, besok kalau aku hamil, tugas kamu buat hibur dan kasih masukan-masukan ke aku!” pinta Nadia. “Siap. Kamu juga bisa bilang apa aja ke aku, Nad. Kalau suatu hari butuh ditemani juga tinggal bilang. Aku selalu free, kok,” balas Ilona. Saat mereka lanjut mengobrol, tiba-tiba ada seseorang yang masuk melalui pintu utama yang terbuka lebar. Ilona tampak sudah biasa melihat sosok itu, sehingga raut wajahnya tidak berubah secara drastis. Sedangkan Nadia yang merasa tidak biasa, tentu langsung mengernyitkan keningnya tidak nyaman, “Eh, lagi ada tamu, ya?” ucap perempuan yang baru saja berjalan melewati pintu itu. “Ilona, belum masak, kan? Aku bawain makanan lagi buat kamu.” Nadia menoleh ke arah Ilona. Cukup terkejut dengan kehadiran seseorang yang tidak pakai permisi saat memasuki suatu rumah yang bukan mililknya. “Astaga, Inka. Aku baru aja belanja. Kalau cuma masak, aku masih bisa, kok. Lain kali nggak usah repot-repot, ya! Kan kemarin juga aku udah bilang,” ucap Ilona merasa tidak enak hati. “Siapa yang repot, sih? Aku cuma nggak mau Rendra khawatir. Lagi pula, yang ada di dalam perut kamu itu kan anak Rendra. Rendra pasti nggak tenang kalau sampai terjadi apa-apa sama anaknya. Lagian aku tadi ke sini juga diantar sopir kantornya Rendra, Ilona, nggak repot sama sekali,” jelas wanita itu - Inka. Memang siapa lagi yang punya akses sebebas itu keluar-masuk rumah dan menggunakan mobil kantor milik Rendra kalau bukan Inka? Nadia menatap tajam ke arah Inka. Perasaannya menjadi tidak enak. Apalagi saat ia menangkap gurat pilu dari sorot mata sahabatnya. Ia bisa membaca, jika Ilona memiliki luka yang terpendam - yang kemudian sekarang berusaha ia sembunyikan tapi gagal ketika wanita bernama Inka itu datang. “Oh … kamu saudaranya Rendra, ya?” sapa Nadia mencoba memancing. Inka menoleh ke arah Nadia. Begitu pun dengan Ilona yang kaget. “Bukan. Saya sama Rendra nggak ada hubungan kekeluargaan. Cuma karena dari kecil dekat, bahkan dari keluarga kami pun dekat, jadi jatuhnya malah kayaik soulmate,” jawab Inka. Ilona hanya bisa tersenyum miris. Nadia yang melihat itu pun merasa prihatin. Sepertinya, ia mulai mengerti masalahnya sekarang. “Soulmate? Memang bisas begitu, ya? Posisinya kan Rendra sudah menikah. Bagaimana bisa soulmatenya adalah orang lain saat dia sudah beristri?” Ilona menyenggol paha Nadia, meminta sahabatnya itu untuk tidak menyinggung hal itu. Bahkan Ilona sendiri pun tidak berani - khawatir akan menyebabkan masalah yang lebih besar. “Kamu tanya aja deh sama Ilona maksud ucapan saya tadi! Ya memang Ilona istri Rendra. Tapi, maksudnya, saya juga bagian dalam hidup dia. Ilona tahu kok, kalau saya adalah orang yang paling dipercaya sama Rendra soal apapun. Iya, kan, Ilona? Bahkan urusan kamu pun selama ini banyak aku bantuin juga,” balas Inka. Wanita itu sepertinya tahu jika Nadia tidka menyukainya. “Iy-” “Lah, justru itu makin aneh!” pekik Nadia. “Mbaknya single, kan? Nggak masalah sebenarnya Mbak mau dekat sama siapa pun. Tapi suami orang, harus banget, Mbak?” “Saya sudah kenal-” “Mbak mungkin emang udah jauh lebih kenal Rendra dibanding Ilona. Tapi, kenyataannya istri Rendra itu Ilona. Jadi biar bagaimana pun, Mbak harusnya juga bisa menghargai Ilona sebagai istrinya Rendra! Jangan melampaui apa yang harusnya menjadi tugas atau pun hak Ilona sebagai istri!” tegas Nadia sambil menatap Inka dengan nyalang. Ilona sendiri hanya bisa terdiam dengan napas tercekat. Ia tidak tahu akan jadi seperti apa kejadian setelah ini. Apalagi jika Rendra tahu apa yang Nadia ucapkan pada Inka saat ini. “Pasti Rendra akan marah padaku kalau sampai Inka menceritakan kejadian hari ini ke dia.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD