12 - Sendiri Merasakannya

1358 Words
Rendra turun ke ruang makan dengan langkah santai. Bu Mira yang sudah selesai menata meja langsung menyadari kehadiran putranya. “Rendra, Ilona mana? Kok lama nggak turun-turun?” tanya Bu Mira dengan nada penasaran sambil menuangkan sup ke mangkuk. Rendra duduk di kursinya tanpa banyak ekspresi. “Dia tidur, Ma. Capek kayaknya.” “Tidur? Kan tadi masih semangat bantu masak.” Bu Mira terlihat heran, tetapi tidak melanjutkan pertanyaan lebih jauh. "Maklum aja, tadi dia habis check up langsung ke sini. Tadi kelihatan ngantuk gitu, jadi Rendra suruh istirahat dulu," jawab Rendra. "Oh, oke oke. Kamu duduk gih! Oh iya, nanti kalau Ilona kebangun, kamu temani dia makan, ya!" Rendra hanya mengangguk kecil, fokus pada makanannya. Di sisi lain, Inka yang sudah duduk di meja makan memperhatikan pria itu dengan saksama. Dari tatapan dan gestur tubuhnya, Inka seperti membaca sesuatu yang tidak diucapkan. "Mereka habis…," pikir Inka dengan hati yang mendadak terasa berat. Namun, dia berusaha keras untuk menahan emosinya, meskipun suasana hatinya buruk dan rasa nyeri mulai merambat di dadanya. Senyumnya tetap terjaga, tapi matanya kehilangan binar yang biasanya ada. “Supnya enak, Ma.” Rendra akhirnya memecah keheningan sambil menyendok kuah hangat. “Baguslah kalau kamu suka. Eh, kamu jangan lupa, Ilona kan lagi hamil. Jangan biarin dia terlalu capek, ya!” ujar Bu Mira penuh perhatian. Rendra mengangguk. “Iya, Ma. Aku juga sudah ingatkan dia buat nggak overwork.” Percakapan di meja makan hanya seputar hal ringan. Inka berusaha ikut nimbrung, meskipun pikirannya sudah tidak fokus. Selesai makan, Rendra segera bangkit. “Makan malamnya enak, Ma. Aku antar Inka pulang dulu, ya,” katanya sambil mengambil kunci mobil. “Ya sudah. Hati-hati di jalan, ya!” sahut Bu Mira. Inka mengikuti Rendra keluar, melambaikan tangan pada Bu Mira. *** Sementara itu, di lantai atas, Ilona terbangun dengan perasaan aneh. Ia mengucek matanya, merasa sedikit bingung. “Aku ketiduran?” gumamnya, memeriksa tubuhnya sendiri. Ia terkejut mendapati dirinya sudah mengenakan piyama yang rapi, bahkan rambutnya terasa kering, padahal, sebelumnya ia baru saja terguyur air di kamar mandi. Wanita itu merenggangkan tubuhnya yang terasa pegal-pegal. Secerca ingatan mulai masuk kembali ke kepalanya. Dan seketika itu pula, ia teringat akan sosok yang harusnya kini terbaring di sampingnya, tapi kenyataannya tidak ada. Ia menatap sekitar, lalu menyadari jika Rendra tidak ada di kamar. Ia segera turun ke lantai bawah untuk mencarinya. Sampai di dapur, ia bertemu seorang asisten rumah tangga yang sedang membersihkan meja. “Mbak, Rendra di mana?” tanya Ilona dengan nada penasaran. Apa lagi, ia sempat melihat jam dinding saat menuruni tangga dan sekarang sudah pukul sembilan lebih. “Oh, Mas Rendra lagi antar Mbak Inka pulang, Mbak,” jawab ART tersebut ramah. Ilona membeku. Ada perasaan asing yang mulai menyelinap di hatinya, membuat pikirannya melayang entah ke mana. "Mbak, Mbak nggak papa?" Lamunan Ilona mendadak buyar. Ia menggeleng sambil memaksakan senyumnya. "Saya nggak papa kok, Mbak. Kalau begitu, saya permisi dulu, ya!" Asisten rumah tangga milik Bu Mira itu mengangguk. Setelah itu, Ilona berjalan ke arah taman belakang. "Mbak Ilona mau ke mana? Ini sudah malam loh ..." "Cuma mau cari angin ke taman belakang sebentar. Nggak akan lama, kok." "Oh, oke. Kalau butuh sesuatu, bisa panggil saya ya, Mbak!" Ilona mengangguk, kemudian melanjutkan langkahnya. Langkah Ilona terasa berat saat ia melangkah keluar ke taman belakang. Udara malam yang sejuk seharusnya membuat pikirannya lebih tenang, tetapi yang ada, perasaannya semakin berkecambuk. Pikirannya berputar pada bayangan Rendra yang dengan santainya pergi mengantar Inka pulang. Setelah apa yang terjadi di antara mereka tadi, ia berharap suaminya akan lebih memprioritaskannya. Tapi nyatanya, yang dilakukan Rendra malah sebaliknya. Seolah apa yang terjadi pada mereka beberapa jam yang lalu tidak berarti apa-apa untuk Rendra. “Kenapa aku seperti ini?” gumam Ilona, lebih kepada dirinya sendiri. Ia bingung kenapa dirinya masih harus merasa sakit dan kecewa. Bukankah seharusnya hal seperti ini sudah ia anggap biasa? Namun, tak lama, suara langkah kaki di belakangnya membuatnya terlonjak. Ia berbalik cepat, dan mendapati sosok Rendra berdiri di sana dengan tatapan yang sulit diartikan. “Kamu ngapain di sini?” tanya Rendra datar, tapi ada sedikit nada khawatir yang terselip. “Cuma pengen cari udara segar,” jawab Ilona singkat, menundukkan kepala untuk menghindari tatapan Rendra. Rendra berjalan mendekat dan berhenti di hadapannya. Ia menghela napas panjang, kemudian berkata, “Kamu belum makan, kan? Ayo ke dapur. Aku angetin sopnya buat kamu.” “Aku nggak lapar. Lagi pula ini sudah terlalu malam buat aku makan,” sahut Ilona cepat, masih berusaha menyembunyikan perasaannya. “Kamu harus makan! Biar pun kamu nggak pengen, tapi dia butuh,” tegas Rendra, kali ini suaranya lebih dalam, menunjukkan bahwa ia tak mau mendengar penolakan. Ia mengatakan hal itu sembari menatap perut datar Ilona. Tanpa menunggu jawaban, Rendra menarik tangan Ilona perlahan dan membawanya masuk ke dalam rumah. Ilona tidak melawan, meskipun hatinya masih terasa berat. *** Di dapur, Rendra sibuk memanaskan sop ayam yang tadi dimasak Bu Mira. Ia menyiapkan nasi hangat dan menyendokkan sup ke dalam mangkuk. Semua dilakukannya dengan cekatan, sementara Ilona hanya duduk diam di meja makan, memerhatikan dari kejauhan. “Ini,” ucap Rendra sambil meletakkan mangkuk sup dan sepiring nasi di depan Ilona. “Makan sekarang!” Ilona menatapnya sekilas, lalu menunduk lagi. Ia menyentuh sendok di tangannya, tapi tak kunjung mulai makan. “Kenapa diam?” tanya Rendra, duduk berhadapan dengannya. Ilona menggigit bibirnya, mencoba menahan emosi yang membuncah di dadanya. Ia tak ingin terlihat lemah di depan Rendra, tapi kekecewaannya terlalu sulit untuk disembunyikan. Bagaimana bisa hanya Ilona yang merasa adanya kesalahan? Bagaimana bisa Rendra justru tampak biasa saja setelah apa yang terjadi? “Kamu baik banget ya,” gumam Ilona akhirnya, suaranya pelan tapi jelas. “Apa maksud kamu?” Rendra menatapnya dengan alis sedikit terangkat. “Padahal kamu udah capek kerja seharian, bolak-balik jemput aku check up, dan tadi ... kamu juga ngurusin aku setelah kita mandi. Tapi kamu masih sempat buat antar Inka pulang,” lanjut Ilona, masih tak berani menatap Rendra langsung. Rendra terdiam. Ia tidak menyangka Ilona akan mengungkit hal itu. “Inka butuh diantar pulang. Tadi dia mau pulang jam delapan lebih,” jelas Rendra setelah beberapa saat, nada suaranya terdengar lebih tenang. Ilona mengangguk, berusaha tampak mengerti. Selanjutnya, gadis itu memilih melanjutkan makannya sambil menunduk. Sebisa mungkin ia menghindar dari tatapan Rendra. Tak ingin tiba-tiba air matanya terjatuh jika terlalu lama beradu tatap dengan pria yang baru saja menyakitinya itu. Rendra menghela napas panjang. Ia menyadari bahwa Ilona sedang terluka, meskipun wanita itu berusaha menyembunyikannya. “Apa ada yang sakit?" "Ya?" Ilona bingung kenapa tiba-tiba Rendra bertanya seperti itu. "Selama aku pergi, kamu ada ngerasa sakit? Atau kamu pengen sesuatu kayak waktu itu? Ngidam?" tanya Rendra. Ia pikir, mungkin Ilona sedih karena saat ia bangun, ia membutuhkan sesuatu tapi Rendra tidak ada di sampingnya. Ilona menggeleng. "Eng- enggak, kok." Wanita itu malah jadi merasa bersalah karena telah membuat Rendra berpikir yang tidak-tidak. "Aku nggak papa. Yang tadi, anggap cuma basa-basi aja. Nggak papa, kan, kalau aku mau ngobrol sama kamu?" Ah ... ya. Rumah tangga mereka memang selalu hening. Nyaris tanpa pembicaraan basa-basi sekali pun. Rasanya, alasan itu cocok untuk Ilona gunakan, bukan? Rendra tidak menjawab. Namun, tatapannya melembut. Keduanya kembali terdiam, membuat suasana kembali sepi. Ya. Seperti inilah yang biasa terjadi di rumah saat mereka hanya berdua. Dan suasana sepi itu terus bertahan hingga Ilona menyelesaikan suapan terakhirnya. "Tinggal di wastafel aja, biar Mbak yang nyuci!" ucap Rendra. Ia bertujuan ingin Ilona langsung ke kamar bersamanya. Ia sadar, sore tadi ia khilaf menyentuh Ilona tanpa ingat jika mungkin hari ini wanita itu sudah terlalu banyak melakukan aktivitas. "Tadi dapurnya udah dibersihin. Lagian ini cuma mangkuk satu aja kok," balas Ilona. Rendra tidak lagi menjawab. Namun, ia menunggui Ilona hingga wanita itu selesai dengan kegiatannya, lalu keduanya pergi ke kamar bersama. Sampainya di kamar, Ilona langsung berbaring dan memejamkan matanya. Bohong jika ia bilang dirinya mengantuk. Karena ketiduran selama beberapa jam tadi, rasa kantuknya menguap begitu saja. Ia masih ingin terjaga - menonton TV, bermain HP, atau mengobrol. Namun, dirinya tidak sedang dalam suasana hati yang baik untuk beradu tatap dengan satu-satunya manusia yang berada di ruangan yang sama dengannya itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD