Ilona melangkah masuk ke rumah mertuanya dengan membawa kantong kecil berisi camilan yang ia beli di jalan. Aroma khas melati masih menyambutnya seperti biasa, memberikan rasa tenang.
Bu Mira duduk di sofa sambil membaca sebuah buku, tetapi begitu melihat Ilona datang, wajahnya langsung cerah.
“Ilona, kamu datang!” sambut Bu Mira dengan senyum lebar.
Ilona membalas senyumnya dan segera menghampiri. “Iya, Ma. Ilona mau bilang makasih ke Mama, karena udah rekomendasikan asisten rumah tangga buar bantu-bantu di rumah. Oh iya, tadi di jalan lihat toko camilan favorit Mama, jadi Ilona belikan.”
Bu Mira tertawa kecil. “Ah, kamu ini selalu perhatian. Duduk, sayang. Mama senang kamu datang.”
Ilona duduk di sebelahnya, memperhatikan wajah Bu Mira yang meskipun tersenyum, masih menyiratkan kesedihan. Kehilangan suami memang bukan hal yang mudah, apalagi setelah bertahun-tahun hidup bersama.
“Mama sehat, kan?” tanya Ilona lembut.
Bu Mira mengangguk. “Sehat, kok. Tapi Mama masih belajar menerima keadaan ini. Untung ada kabar bahagia dari kamu dan Rendra. Mama senang sekali tahu kalian akan punya anak.”
Ilona tersenyum. “Terima kasih, Ma. Ilona harap kehadiran cucu ini bisa sedikit menghibur Mama.”
“Bukan sedikit, tapi sangat. Kamu nggak tahu betapa bahagianya Mama saat Rendra cerita. Tapi kamu juga harus jaga kesehatan, jangan terlalu banyak mikir atau kerja keras. Kalau ada yang kamu butuhkan, jangan ragu bilang ke Mama, ya,” kata Bu Mira dengan nada penuh perhatian.
Ilona mengangguk. “Iya, Ma. Ilona akan hati-hati.”
Mereka mengobrol ringan tentang kehamilan Ilona, makanan yang baik untuk ibu hamil, hingga rencana masa depan. Bu Mira bahkan sempat memberi wejangan yang membuat Ilona tersenyum.
“Kamu tahu, sayang,” ujar Bu Mira, menggenggam tangan Ilona. “Dalam pernikahan, kadang ada saat-saat sulit. Tapi ingat, semua itu bisa diatasi kalau kalian saling percaya dan mendukung satu sama lain. Jangan pernah menyerah pada cinta kalian.”
Ilona terdiam sejenak, menyerap setiap kata yang diucapkan Bu Mira. Ia merasa diberi kekuatan baru.
“Terima kasih, Ma. Ilona akan ingat itu,” ucapnya akhirnya.
***
Ilona mengeluarkan kantong plastik berisi camilan yang ia beli di jalan, dan menyerahkannya pada Bu Mira. “Ma, ini Ilona taruh di sini, ya. Habis ini, apa lagi yang bisa Ilona bantu?"
"Sudah, kamu istirahat aja! Dengan kamu datang jenguk Mama di sini aja Mama udah seneng. Kalau enggak, kamu mandi dulu gih di atas! Baju kamu kan masih ada juga yang di sini," ujar Bu Mira.
"Nanti aja, Ma, mandinya di rumah," tolak Ilona. Ilona bantu masak ya, Ma. Ini wortelnya mau dipotong panjang atau dadu?"
"Eh ... nggak usah! Mama aja. Kamu duduk di sana tuh!"
"Tapi Ilona pengen bantu."
Bu Mira menghela napas panjang. "Ya udah, nih dipotong dadu aja nanti. Sama kentangnya sekalian, ya!"
Ilona mengangguk. "Mama mau buat sop? Ini nggak kebanyakan?"
"Enggak dong. Kan nanti kita makan bareng-bareng. Ini Mama buat sop ayam pakai jamur salju kesukaan Rendra. Nanti kalian makan di sini aja, ya!"
"Hmm ... kalau itu Ilona ikut Rendra, Ma ..."
Bu Mira tertawa. "Ya udah nanti biar Mama yang bujuk Rendra. Pasti dia mau. Apalagi Mama sudah buatkan makanan kesukaan dia."
Ilona hanya mengangguk. Ia juga senang kalau mereka akan makan malam di rumah Bu Mira. Setidaknya, suasana meja makan kali ini akan sedikit lebih berwarna dibanding saat ia dan Rendra hanya makan berdua, seperti biasanya.
"Mama kayak dengar suara mobil. Itu pasti Rendra!" seru Bu Mira.
Ilona tersenyum. Ia masih sibuk memotong wortel di depannya.
"Kamu nggak mau samperin?"
"Nggak usah, Ma. Nanti juga Rendra ke sini," tolak Ilona santai.
Dan benar saja, beberapa menit kemudian, terdengar langkah kaki mendekat. Ilona menoleh saat langkah itu mulai berhenti. Ia mengulas senyum lembut, lalu bangkit berdiri.
"Mama buatkan sop ayam jamur kesukaan kamu. Kamu nggak boleh nolak, pokoknya harus makan malam di sini!" ujar Bu Mira.
Rendra hanya mengangguk pasrah. Sepertinya, itu bukan masalah besar untuknya.
"Kalau mau makan malam di sini, kenapa kamu belum mandi?" Rendra melempar pertanyaan pada Ilona.
"Aku bantu Mama masak sebentar. Kamu mau mandi pakai air hangat? Biar aku siapkan sebentar," ujar Ilona.
Ilona akan beranjak. Namun, kemunculan seseorang di samping Rendra membuat pergerakan wanita itu terhenti.
"Halo, Tante, Ilona!" sapanya ramah seperti biasa.
"Inka?" kaget Bu Mira.
"Inka sengaja mampir sebentar buat ngunjungin Tante. Tante gimana? Sehat?" Perempuan itu dengan cepat segera berbaur dengan Ilona dan Bu Mira di dapur.
"Sehat. Kamu juga sehat, kan? Aduh ... makasih, ya? Lain kali nggak usah bawa apa-apa kalau datang. Ini aja camilan yang dibelikan Ilona belum sempat Tante makan. Oh iya, kamu sekalian makan malam di sini saja, ya! Kebetulan Tante mau masak banyak hari ini," balas Bu Mira.
Inka mengangguk. "Boleh boleh. Biar Inka bantu ya, Tante!"
Inka langsung mengambil alih d**a ayam yang ada di atas meja. Tangannya dengan lincah memotong dadu daging itu.
Sementara itu, Bu Mira menoleh ke belakang. Menatap anak dan menantunya yang sedang terdiam. Hanya saja, Bu Mira merasa ada yang aneh dengan sikap Ilona yang seketika diam. Wajah wanita itu juga tampak berbeda dari sebelumnya. Sorot matanya mengisyaratkan jika wanita hamil itu tidak sedang baik-baik saja.
"Ada apa sama Ilona? Perasaan dia tadi baik-baik saja," batin Bu Mira.
Lalu, Bu Mira mulai menyadari satu hal. "Dia mulai berubah saat tahu keberadaan Inka. Apa terjadi sesuatu di antara mereka?"
"Mau aku dulu atau kamu yang mandi?" Suara Rendra yang bertanya pada Ilona berhasil memecah keheningan.
"Kamu dulu aja. Biar aku siapkan airnya sebentar!" jawab Ilona. Lalu, wanita itu buru-buru pergi dari dapur.
Bu Mira beradu tatap dengan Rendra yang tampak terkejut saat menyadari jika ibunya sedang memperhatikannya.
"Susul sana!" suruh Bu Mira.
Rendra mengernyitkan alisnya tidak mengerti. Namun, dengan tatapannya, Bu Mira mendesak Rendra untuk segera menyusul Ilona ke kamar mereka di lantai dua.
***
Ilona hendak keluar setelah ia menyiapkan peralatan mandi untuk Rendra. Di dekat pintu, ia berpapasan dengan Rendra. Namun, keduanya nyaris tidak berinteraksi karena Ilona yang malah menundukkan kepalanya.
"Tolong bukakan kancing kemejaku!"
Ilona menghentikan langkahnya. Ia berdiri dengan kaku, masih dalam posisi membelakangi Rendra.
"Kamu dengar aku, kan?"
Ilona terlonjak mendengar Rendra yang menegurnya. Sepertinya ia tidak salah dengar. Ilona pun segera berbalik menghadap ke arah Rendra.
"Ya?"
"Aku rasa kancing yang paling atas nyangkut. Bisa bantu aku melepaskannya?"
Ilona menelan salivanya kasar. Ia mendadak merasa gugup. Memorinya berputar pada kejadian empat bulan yang lalu, saat Rendra pertama kalinya menyentuhnya sebagai seorang suami. Kala itu, semua berawal di kamar mandi. Dan hari itu menjadi awal yang baru bagi kehidupan rumah tangga mereka.
Akankah kali ini semua akan kembali terulang?
"Ilona ..."
Ilona melangkah pelan ke arah Rendra. Tangannya terangkat, menyentuh kancing baju paling atas milik suaminya. Dengan hati-hati, ia pun mulai melepas kait kancing itu.
Sebisa mungkin, Ilona menahan reaksi aneh yang muncul dalam dirinya. Tangannya sedikit bergetar saat tidak sengaja menyentuh d**a bidang Rendra yang terasa keras.
Saat ia mulai menghela napas lega setelah kancing itu terlepas, terjadi sesuatu yang membuat Ilona sontak menutup matanya.
Shower di atas mereka tiba-tiba mengeluarkan air, mengguyur pasangan suami istri itu sehingga membuat keduanya basah.
Refleks, Ilona ingin mundur, menjauh dari sumber air itu. Namun, tangan Rendra menahan pergelangannya, membuat gadis itu terlonjak kaget dan menatap bingung ke arah sang suami.
Ilona mendongak, hingga matanya beradu tatap dengan manik cokelat gelap itu. Jantungnya berdebar kencang, hingga pikirannya ikut blank dan lamban mencerna suasana. Ketika ia berusaha merangkai kata dalam kepalanya, dalam sepersekian detik berikutnya, ia dapat merasakan sesuatu yang kenyal dan lembab menyapa bibirnya.
Biburnya terbungkam rapat oleh benda kenyal yang kemudian bergerak perlahan itu.
Bola mata Ilona membulat kala dirinya sadar tatapan Rendra masih menguncinya - kini, dengan jarak yang begitu dekat. Saat kelopak mata di depannya itu memejam, perlahan Ilona pun mengikutinya.
Tangannya mengepal, menjadi pembatas antara tubuhnya dan Rendra yang sama-sama basah terguyur air. Ia hanya diam, mengikuti segala alur yang Rendra ciptakan untuk mereka.