Setelah selesai dari ruang periksa, Ilona keluar dengan langkah perlahan. Dokter mengatakan bahwa bayi di dalam kandungannya sehat dan pertumbuhannya sesuai usia kehamilan. Namun, meskipun kabar itu seharusnya membuatnya bahagia, hati Ilona terasa kosong.
Ia duduk di kursi tunggu sambil menatap ponselnya. Tidak ada pesan atau telepon masuk dari Rendra. Ia menghela napas panjang, mencoba menguatkan dirinya.
Mungkin Rendra sibuk, sehingga dia tidak jadi datang. Atau bisa juga pria itu lupa. Ilona mengerti, dan dia juga tidak bisa menyalahkan Rendra atas apapun. Dia memang harus terbiasa mandiri, kan? Dia juga tak seharusnya punya harapan yang terlalu besar pada orang lain, meski pun itu suaminya sendiri.
“Sudah selesai?” Sebuah suara berat tiba-tiba menyapa.
Ilona mendongak, terkejut melihat Rendra berdiri di depannya dengan napas yang masih tersengal. Jasnya terlihat agak kusut, dan dasinya sedikit longgar, seolah ia datang terburu-buru.
“Kamu ... datang?” Ilona terdengar ragu.
“Aku sudah bilang, aku akan datang,” jawab Rendra datar. Ia melirik tangan Ilona yang memegang beberapa kertas hasil pemeriksaan. “Bagaimana hasilnya?”
“Semua baik. Dokter bilang bayinya sehat,” jawab Ilona pelan.
Rendra mengambil kertas itu tanpa meminta izin. Ia memeriksanya dengan teliti, lalu mengangguk. “Bagus. Kalau begitu, ayo kita pulang.”
"Kamu nggak sibuk? Nggak harus buru-buru balik ke kantor?" tanya Ilona memastikan.
"Kalau aku ada hal urgent di kantor, aku juga nggak akan basa-basi ajak kamu pulang," balas Rendra.
Ilona mengangguk, bangkit dari tempat duduknya. Mereka berjalan keluar dari rumah sakit tanpa banyak bicara. Rendra tampak sibuk dengan pikirannya sendiri, sementara Ilona hanya bisa menunduk, tidak tahu harus berkata apa.
Di dalam mobil, suasana tetap hening. Hanya suara mesin yang terdengar. Sampai akhirnya, Rendra membuka suara.
“Kamu tahu kenapa aku datang, kan?”
Ilona menoleh, bingung. “Karena bayi ini?”
Rendra menghela napas panjang. “Ya, karena bayi ini. Aku tahu aku belum jadi suami yang baik. Tapi satu hal yang harus kamu tahu, aku nggak akan pernah lepas tangan dari tanggung jawabku. Anak ini ... dia milikku juga.”
Mendengar itu, hati Ilona terasa perih. Ia ingin berkata bahwa yang ia butuhkan bukan sekadar tanggung jawab, tapi juga cinta dan perhatian. Namun, ia tahu, mengungkapkan itu hanya akan memperkeruh suasana.
“Terima kasih,” ucap Ilona akhirnya, mencoba menutupi kekecewaannya dengan senyum tipis.
Rendra tidak menjawab, hanya mengangguk kecil sambil tetap fokus mengemudi.
Ilona duduk diam sambil menatap jalanan di luar jendela. Ia mencoba menenangkan perasaannya, meski hatinya tetap terasa penuh pertanyaan.
Tiba-tiba, mobil berhenti di lampu merah. Rendra melirik ke arah Ilona, yang masih menatap jendela. Ia menghela napas perlahan, merasa ada yang mengganjal.
“Kamu nggak pengen makan apa-apa setelah dari rumah sakit?” tanyanya, masih dengan nada datar. Ia kepikiran saat Ilona ngidam waktu itu.
Ilona menoleh, sedikit bingung dengan pertanyaan itu. “Belum. Tapi aku nggak lapar, kok.”
“Siapa yang tanya kamu lapar atau nggak?” balas Rendra sambil memutar setir, membelokkan mobil ke arah kanan begitu lampu hijau menyala.
“Eh? Ini kita ke mana?”
“Beli makan,” jawab Rendra singkat.
Ilona terdiam. Meski nada suara Rendra tetap terdengar dingin, ia tidak bisa menutupi rasa hangat yang tiba-tiba muncul di hatinya.
Beberapa menit kemudian, mereka tiba di sebuah restoran cepat saji. Rendra memarkir mobilnya dan langsung keluar tanpa banyak bicara. Ilona hanya bisa menatap punggungnya dari dalam mobil.
Tak lama, Rendra kembali dengan sebuah kantong kertas berisi makanan. Ia membuka pintu penumpang dan menyerahkannya pada Ilona.
“Aku nggak bisa temani kamu makan. Jadi aku pesanin buat makan di rumah aja,” katanya sambil memasangkan sabuk pengaman Ilona yang sebelumnya tidak terpasang dengan benar.
Ilona tertegun dengan perlakuan Rendra yang tiba-tiba itu. Ia merasakan sentuhan tangannya saat mengencangkan sabuk pengaman, membuat jantungnya berdegup lebih kencang.
Rendra menoleh, lalu sadar jika Ilona sedang memperhatikannya. "Nggak usah terlalu dilebih-lebihkan! Aku pesan makanan itu juga demi anakku. Aku cuma mau memastikan dia tumbuh dengan baik di dalam sana."
Ilona tersenyum. Ia tahu akan hal itu. Memang, ia bisa berharap apa lagi?
“Kenapa kamu … pasangin?” tanya Ilona pelan, hampir tidak terdengar. Ia menunjuk sabuk pengamannya yang sudah terpasang sempurna.
“Karena aku nggak mau ada yang terjadi sama kamu. Kalau kamu kenapa-kenapa, itu artinya bayi ini juga kenapa-kenapa. Jadi, aku harus pastikan semuanya aman,” jawab Rendra sambil kembali duduk di kursi pengemudi.
Meski jawabannya terdengar dingin, Ilona tidak bisa menahan senyumnya. Ia tahu, di balik sikap keras Rendra, pria itu sebenarnya peduli.
Dalam perjalanan pulang, Ilona membuka kantong makanan itu. Ternyata, isinya adalah satu paket bento favoritnya. Ilona menoleh ke arah Rendra, merasa heran.
“Kamu ingat aku suka ini?” tanyanya, suaranya terdengar ragu.
Rendra meliriknya sekilas sebelum kembali fokus ke jalan. “Aku cuma beli secara random. Dan aku pikir makanan itu punya nutrisi yang cukup lengkap buat bayi dalam kandungan kamu.”
Hati Ilona kembali terasa hangat. Ia memakan bento itu perlahan, menikmati perhatian kecil dari Rendra yang begitu berarti untuknya.
Dan meski pria itu tetap memasang wajah datarnya, Ilona menangkap lirikan kecil yang Rendra berikan padanya dari kaca spion.
Rendra, pria yang selalu berusaha menutupi perasaannya, kini secara perlahan mulai menunjukkan sisi lembutnya.
Setibanya di rumah, Ilona dikejutkan dengan keberadaan seorang wanita yang tampak asing. Wanita itu membukakan pintu saat Ilona dan Rendra datang.
"Dia Bi Marni, asisten rumah tangga yang direkomendasikan Mama," ucap Rendra.
Ilona tentu kaget. Ia sampai lupa, belum mengabarkan tentang kehamilannya pada keluarga sang suami.
"Mama udah tahu aku hamil?"
"Ya. Aku yang bari tahu. Mama minta kita pakai asisten rumah tangga mulai sekarang, biar kamu nggak kecapekan. Kalau ada waktu, Mama juga minta kamu buat datang," balas Rendra.
Ilona mengangguk. Senyum lebar terukir di bibirnya. "Hari ini juga aku bisa. Nanti biar-"
"Jangan hari ini! Hari ini kamu udah ke rumah sakit juga. Istirahat aja dulu! Kamu bisa ke rumah Mama besok atau lusa," potong Rendra. Pria itu sepertinya khawatir Ilona akan kecapekan jika bepergian lagi hari ini.
"Tapi kan rumah Mama nggak jauh. Nggak papa kok aku datang sekarang. Nanti aku usahakan sudah sampai rumah lagi sebelum kamu pulang kantor," ujar Ilona.
Rendra menghela napas panjang. Seperti ada yang ingin ia ucapkan, tapi ia urungkan.
"Ya udah, nggak usah buru-buru. Biar nanti pulang kerja aku juga mampir ke rumah Mama, kita pulang bareng," putus Rendra.
Ilona mengangguk setuju. Ide itu terdengar cukup bagus. Lagi pula, ia juga senang jika Rendra menjenguk mamanya. Biar bagaimana pun, pasti mertuanya sangat butuh kehadiran anak-anaknya, selepas kepergian suaminya beberapa minggu yang lalu.
"Habis ini kamu mau langsung balik ke kantor?"
Rendra mengangguk. "Kamu ke rumah Mama mau-"
"Aku pesan taksi aja. Soalnya aku masih mau siap-siap. Kamu berangkat dulu aja nggak papa," potong Ilona. "Oh iya. Terima kasih sudah datang walau terlambat. Aku pikir kamu nggak datang. Lain kali, kalau tahu kamu akan datang, aku akan tunggu kamu dan biarin nomor antrean di bawahku masuk duluan."
Rendra menatap Ilona dengan diam sejenak, kemudian mengangguk. Setelah itu, Rendra pun beranjak pergi. Ilona ditemani dengan Bi Marni menatap mobil mewah itu hingga keluar dari pekarangan rumah yang mereka tempati.
***
Sementara itu, di tempat lain, Inka sedang duduk di sebuah kafe mewah sambil menatap layar ponselnya. Wajahnya yang biasanya tenang kini terlihat penuh amarah. Ia baru saja mendapat kabar bahwa Rendra datang menemani Ilona ke rumah sakit.
“Kenapa dia selalu saja memilih Ilona? Aku sudah melakukan segalanya untuk membuatnya membenci wanita itu,” gumam Inka, menggenggam erat ponselnya hingga buku jarinya memutih.
Ia memikirkan langkah selanjutnya. Ia tahu, jika Ilona terus dibiarkan, posisinya di hati Rendra akan semakin kuat. Dan itu adalah hal terakhir yang ia inginkan.
“Kita lihat saja, Ilona. Kali ini, aku tidak akan main-main lagi,” katanya dengan senyum dingin.
Inka mengambil ponselnya dan mulai mengetik pesan pada seseorang. Kali ini, ia membutuhkan rencana yang lebih besar untuk menyingkirkan Ilona dari kehidupan Rendra.