Asmara tanpa sengaja melirik kotak kue di atas nakas. Sejak dulu cowok itu selalu terbawa perasaan tiap kali melihat makanan manis. Ia selalu ingin tahu rasanya. Tapi tidak akan pernah bisa. Karena makan kue berbahaya untuk kesehatannya.
Pernah dulu Asmara makan kue saat masih kecil. Tapi setelah itu ... duh, Asmara malas membahasnya lagi.
Sudah sangat lama. Asmara sudah lupa rasa kuenya. Tapi masih sangat ingat rasa sakitnya.
Dunia memang lucu. Ia punya uang untuk membeli apa pun yang ingin ia makan. Sayang ia tak bisa menikmati karena tidak boleh makan dengan bebas. Sebaliknya beberapa orang lain sangat ingin makan sesuatu, kondisi prima untuk menikmati apa pun. Namun tidak mampu membeli karena tak ada uang.
Samran melihat Asmara menatap kuenya. Jemarinya secara otomatis mengambil kain lap penutup piring bubur ransum kotor yang belum diambil, lalu menutupkan kain itu pada kotak kuenya. Samran posesif pada kuenya, tak ingin jatahnya dengan Samara berkurang karena Asmara ingin makan juga.
Terang saja Asmara terkikik melihat aksi Samran itu. Ia merasa geli, namun di lain sisi juga miris. Bukan karena Samran tak mau berbagi. Toh kalaupun Samran mau berbagi, ia tetap tak bisa makan.
"Kamu suka kue - kue manis kayak gitu?" tanya Asmara akhirnya.
"Ya siapa juga yang nggak suka kue? Orang enak." Samran menjawab sembari cemberut layaknya balita.
Samara terlihat asyik menatap layar ponsel. Padahal sebenarnya ia menyimak obrolan Samran dan Asmara.
"Ada yang nggak suka. Mami aku contohnya," lanjut Asmara.
Samran terbahak seketika. "Mami? Ya ampun ... panggilannya." Anak itu malah meledek Asmara.
"Ish ... kenapa ketawa?" Asmara tak tahu di mana letak lucunya sampai - sampai Samran tertawa seakan tak ada hari esok.
"Duh ... gara - gara kamu aku jadi nggak belajar, kan?" Samran memegangi perutnya yang sakit karena terlalu banyak tertawa. Ia menatap laptop lagi, berusaha kembali konsentrasi belajar.
"Jadi ternyata kamu suka desain, ya?" Asmara mengalihkan pembicaraan. Meski benaknya masih bertanya - tanya kenapa dirinya ditertawai Samran?
"Udah tahu jawabannya pakek nanya lagi! Retoris banget pertanyaan anak mami!" Samran kembali terbahak menertawai Asmara.
Dan Asmara masih tidak mengerti di mana letak kelucuannya. "Mau aku ajarin?" tawar Asmara.
Tiba - tiba hening. Samran berhenti tertawa. Tersisa suara vlogger yang sedang masak dari ponsel Samara, juga suara dengkuran bersahutan dari pasien di kanan kiri.
"Kenapa?" Asmara kembali kebingungan dengan reaksi - reaksi tak terduga dari Samran.
Seketika Samran kembali tertawa terbahak - bahak. Tawanya benar - benar keras sampai membangunkan para pasien dan keluarga penunggu yang sudah terlelap di kanan kiri.
Samran mendapat omelan, teguran, bahkan tatapan mematikan. Tak hanya itu, ia juga mendapat cubitan dahsyat dari kakaknya sendiri. Samran yakin besoknya lengan ini akan gosong. Tapi ia masih belum bisa berhenti tertawa.
"Ini orang lucu banget, Buk!" Tawa Samran sudah agak mereda. Ia menunjuk - nunjuk muka Asmara.
Asmara yang masih merasa tersesat akibat kelakuan Samran. Samran yang terus - menerus menertawainya.
"Lucu kenapa?" tanya Samara. "Udah dong kamu ketawanya! Ganggu yang lain itu!" Samara mencubit lengan Samran sekali lagi, meski tak sekeras tadi.
Namun cukup untuk membuat Samran kembali meringis, dan mengelus lengannya.
Samran beralih pada Asmara. Jemarinya meraih kotak kue di atas nakas, menyodorkannya pada Asmara. "Nih, dari pada kamu ngaco, mending makan kue aja. Aku ikhlas, deh. Rela. Sebegitu penginnya kamu sama kue ini, sampai - sampai omongan kamu ngelantur terus. Duh ... perutku sampai sakit gara - gara ketawa!"
Asmara menggeleng. Masih tak mengerti maksud Samran. Tapi ia memilih untuk menolak tawaran Samran terlebih dahulu, atau ia akan khilaf memakan kue - kue itu betulan jika wanginya tercium terus dari arah dekat seperti ini, menggugah selera.
"Nggak usah, kamu simpen aja buat dimakan lagi nanti," tolaknya halus.
"Aku serius, lho. Mumpung aku lagi baik, jadi jangan ditolak! Dari pada kamu ngomong ngelantur terus, bikin aku perutku kaku."
Asmara berusaha menahan diri untuk tidak mengambil kue - kue cantik yang berada tepat di depan mukanya. Ia menggeleng, tersenyum pada Samran, berusaha tak melihat kuenya, meski wanginya masih tetap tercium.
"Udah, buat kamu aja sama Sam!" Asmara menjauhkan kotak kue itu.
Samara baru saja mengernyit karena lagi - lagi Asmara memanggilnya Sam. Namun ia memilih untuk tak protes. Karena menurutnya, menyimak obrolan Samran dan Asmara jauh lebih mengasyikkan.
"Nanti kamu nyesel, lho!" Samran masih sambil menahan tertawa.
"Justru lebih nyesel kalau aku sampai makan."
"Kenapa?".
"Karena penyakit aku akan kumat parah. Bisa - bisa aku langsung mati." Asmara niatnya bercanda mengatakan hal itu. Meskipun penyakitkan benar - benar akan kambuh jika sampai makan, tapi tidak akan sampai mati kok. Paling hanya koma.
Sayangnya, niat tulus bercanda dari Asmara tidak disambut baik oleh Samran, atau pun oleh Samara. Keduanya terdiam — dalam sesal. Samran menyesal karena sudah banyak menertawai Asmara. Samara menyesal kenapa tidak lebih tegas membuat adiknya berhenti tertawa sedari tadi.
Kedua kakak beradik itu sama - sama menyimpan tanya dalam benak. Kira - kira apa penyakit Asmara sampai-sampai akan mati jika makan kue?
Mereka baru ingat dengan fakta bahwa Asmara adalah pasien tetap di rumah sakit ini. Dilihat dari betapa akrabnya ia dengan semua tenaga medis. Jika ia sampai menjadi pasien tetap, pastilah penyakitnya tidak main - main.
"Kok diem?" Asmara jadi merasa tak enak. "Uhm ... aku tadi serius, lho, mau ngajarin kamu desain." Asmara lanjut bicara pada Samran. "Kalau kamu mau, nanti aku telepon Papi buat ambilin laptop aku di rumah. Nanti kita belajar bareng."
Samran tak lagi tertarik menertawai Asmara. Baik karena tawaran mengajari desain, atau pun karena panggilan mami papi. Rasa sesalnya masih tersisa. Bahkan sekarang ia mulai menangkap keseriusan Asmara.
"Kamu tadi tanya ini apa. Padahal aku jelas - jelas lagi desain. Aku pikir kamu nggak ngerti apa - apa soal desain. Makanya tadi aku ketawa pas kamu nawarin buat ajarin." Samran menjelaskan.
Asmara yang terkikik kali ini. Ia merasa lega karena akhirnya mengerti sebab Samran tertawa. "Aku yang salah berarti," jawab Asmara.
"Kok jadi kamu yang salah? Aku, dong, yang salah." Samran ngotot ingin disalahkan.
"Aku tadi dateng - dateng godain kamu sama Sam yang sama - sama asyik sama gadget masing - masing. Dari situ kamu kesel sama aku. Mana habis itu pertanyaanku juga salah. Tadi maksudku, aku nanya kamu desain pakai aplikasi apa? Wajar kamu makin kesel karena aku kesannya bego banget sampai - sampai nggak tahu apa itu desain." Asmara terkikik menertawai kebodohannya sendiri.
Asmara melanjutkan. "Tapi jujur aku agak kaget kamu ngetawain caraku manggil papi sama mami. Wajar, sih. Kayak anak manja banget, ya?"
Samran mengangguk polos. Di kota kecil seperti ini jarang sekali anak - anak memanggil orang tua dengan sebutan mami papi. Paling pol juga mama papa atau ayah bunda.
Asmara kembali terkikik. Kali ini karena anggukan polos Samran tadi. "Jadi gimana? Kita jadi belajar desain bareng?"
"Kamu beneran bisa desain?"
Asmara tersenyum. "Uhm ... aku dulu anak multimedia. Belum lulus udah sering banget dapet tawaran kerja. Tapi nggak aku terima soalnya perusahaan papi butuh tenaga aku. Eh, sakit aku tiba - tiba malah parah banget kayak gini."
Samran dan Samara seakan ikut merasakan sesal yang dirasakan oleh Asmara. Meski cowok itu mengatakan tentang sakitnya dengan nada ceria.
"Kamu beneran sejago itu?" Samara yang bertanya kali ini.
Demi kesenangan dan masa depan adiknya, Samara membaca 'kesempatan dalam keluasan' yang ia temukan pada diri Asmara.
Asmara cukup terkejut sebenarnya. Samara yang sedari tadi terlihat cuek dan asyik dengan ponsel, ternyata menyimak obrolannya dengan Samran.
"Aku nggak mau sombong, sih." Asmara meraba tengkuknya sembari nyengir kuda. "Tapi aku emang jago."
Samara mengangguk mengerti. Tak peduli dengan fakta bahwa Asmara sedang tersenyum malu - malu karena mendapat respons positif darinya tentang bakat desain itu.
"Gimana, Dek? Belajar sama dia?" tanyanya pada Samran.
Samran yang masih menyesal karena sudah banyak meledek Asmara, hanya mengangguk kecil.
"Ya udah. Ternyata bukan tanpa alasan Tuhan mempertemukan kita. Tuhan selalu punya cara yang misterius sekaligus romantis untuk menebarkan bahagia pada hamba - Nya." Asmara tersenyum mengakhiri kata - katanya.
Samara membalas senyumnya.
Asmara seakan melayang karena mendapat dua jackpot sekaligus. Pertama, kembali mendapatkan restu sang calon adik ipar. Kedua, malam ini kedua kalinya Asmara melihat senyum indah Samara.
Sungguh indah.
Sangat indah bagai menyimpan candu.
Sampai - sampai Asmara ingin terus - menerus melihatnya.
~~~~~ ASMARA SAMARA ~~~~~
-- T B C --