Kutukan Menjadi Kenyataan

1042 Words
Satu hari ....    Dua hari ....    Tiga hari ....    Samran menghela napas dalam. Banyak hal berkecamuk dalam benak. Kata dokter Ahkam waktu itu, dua tiga hari dirawat, ia sudah boleh pulang. Tapi hari ini sudah genap lima hari.    Samara sudah bertanya kapan Samran boleh pulang? Pihak rumah sakit mengatakan kondisi Samran belum cukup baik untuk pulang. Samran akan pulang jika keadaannya sudah memungkinkan untuk rawat jalan.    Dengan kata lain, belum ada waktu pasti kapan Samran akan pulang.    Dan ....    Asmara ....    Dia bohong. Katanya ia akan menghubungi sang Papi untuk mengambil laptopnya. Kemudian ia akan mengajari Samran cara mendesain. Tapi hingga detik ini, Asmara tak ada kabarnya. Asmara tidak serius. Baik tentang bantuannya, ataupun tentang cintanya pada Samara.    Samran sempat berpikir Asmara berbeda dengan cowok lain. Samran berpikir Asmara adalah seseorang yang tepat untuk Samara.    Ternyata ... Asmara sama saja, tak ada bedanya. Bahkan mungkin lebih bobrok. Karena sikap manisnya begitu meyakinkan. Namun tak ada realisasi sama sekali.    "Dek ...," gumam Samara.    "Hm?"    "Udah dong bengongnya! Kamu mirip orang baru putus cinta. Galau terus. Mana nggak mau makan. Kayak nggak ada semangat lanjutin hidup."    Samran cemberut. "Aku, tuh, kesel sama si Mara, Buk. Ibuk kok bisa, sih, nggak kesel sama dia?"    "Emangnya kalau aku kesel, harus aku pamerin ke orang - orang?"    "Jadi Ibuk juga kesel?"    Samara menunduk. Ia bukannya enggan menjawab pertanyaan Samran. Hanya saja, ia sendiri bingung dengan apa yang ia rasakan saat ini. Kesal dengan Asmara? Untuk apa? Demi apa? Dan kenapa?    Mengingat sejak awal Samara sama sekali tak berharap apa pun. Seumur hidup ia tak pernah berharap pada siapa pun kecuali pada Tuhan. Berharap pada manusia? Pasti berujung kecewa.    Namun jujur, Samara memang merasa kesal dan kecewa. Apa itu artinya, tanpa disadari Samara sudah berharap?    "Kenapa harus kesel? Dek ... bertahun - tahun kita hidup bertiga aja. Aku, kamu, sama Tuhan. Jangan hanya karena seseorang yang tiba - tiba mengakrabkan diri, lalu menghilang tanpa bekas, kemudian kita kehilangan semangat hidup. Rugi!"    Samran begitu mengenal kakaknya. Samara sama sekali bukan orang yang banyak bicara. Jika ia sampai bicara sepanjang ini, berarti rasa kesal dalam hatinya sudah tak terbendung besarnya.    "Oke lah, Buk. Ibuk bener. Buat apa kita kecewa. Di sini kita kecewa. Di suatu tempat Asmara lagi ngasih harapan palsu untuk orang lain dengan kata - kata manisnya."    Samara tersenyum. Bukan senyum dari hati. Hanya senyum sebagai usaha memberi penghargaan pada adiknya. "Nah ... gitu dong, Dek. Kemarin kamu belajar sendiri bisa. Berarti sekarang dan seterusnya juga pasti bisa. Jangan biarkan 'sekilas info' atau sekelebat 'iklan nggak penting' menggoyahkan kamu." Samara mengacak rambut Samran.    Samran terkikik geli — sama seperti senyum Samara yang tidak dari hati.    Baik Samara ataupun Samran .... Mereka sama - sama tahu bahwa mereka hanya berpura - pura baik - baik saja. Namun ibarat cinta, yang awalnya hanya pura - pura, lama-lama bisa menjadi benar - benar cinta. Mereka harap, kepura - puraan ini akan segera berakhir.     ~~~~~ ASMARA SAMARA ~~~~~     Lima hari setelah Asmara menghilang. Seperti biasa, Samara segera menemani Samran sepulang kerja. Keduanya lalu bercengkerama ringan tentang apa yang mereka alami sepanjang hari. Sampai pembicaraan ringan, renyah, nan manis itu terinterupsi.    Ia datang setelah menghilang tanpa kabar. Samran dan Samara menyimpan rasa kecewa yang besar pada orang ini. Namun ... akankah mereka sampai hati meneruskan kecewanya?    Asmara datang dan segera menjadi pusat perhatian. Tak hanya Samara dan Samran yang menatapnya, tapi juga seluruh penghuni Merkurius 9.    Asmara memakai kupluk polos warna putih. Ia terlihat lebih tinggi karena kehilangan berat badan. Ronanya pucat tak berwarna. Tangan kirinya menyeret tiang infus.    Bukan tiang infus biasa, karena pada bagian bawahnya terdapat sebuah wadah kusus berbentuk kubus. Di dalam kubus itu ada sebuah tabung oksigen kecil, terhubung dengan kanula yang disematkan dalam lubang hidung Asmara.    Tangan kanannya menenteng sebuah tas laptop pipih berwarna hitam. Asmara meletakkan tasnya di atas ruang kosong brankar Samran. Asmara dengan segenap keadaannya yang tidak biasa, namun senyum tulus dan cerianya masih sama.    Asmara melambai kecil pada Samran dan Samara dengan tangan kanannya. "Apa kabar dua masa depanku — calon istriku, dan calon adik iparku," sapanya.    Senyum itu ....    Senyum yang membuat hati Samara dan Samran mencelos. Bukankah harusnya mereka sudah menduga hal ini? Bahwa Asmara tak muncul bukan karena ia tidak menepati janji, tapi karena keadaan yang tak memungkinkan?    Bukankah harusnya sudah jelas? Asmara adalah pasien tetap, Asmara pernah bilang makan makanan manis bisa membuatnya mati ....    Mereka harusnya sudah menduga sebab keabsenan Asmara. Bukannya malah menuduh banyak hal, merasa kecewa, dan berniat melupakan. Bahkan dalam keadaannya yang masih seperti ini ....    Ia ke sini untuk memenuhi janji. Baru berapa hari? Bagaimana ia bisa kehilangan berat badan begitu banyak?    Sebenarnya apa yang terjadi padanya? Penyakit macam apa yang menggerogoti tubuhnya? Sampai ia harus membawa serta tabung oksigen ke mana - mana?    "Kapan hari aku disumpahi sama salah satu suster, bakal pakai kanula ke mana - mana kayak si Hazel di 'The Fault in Our Stars'. Eh, sekarang jadi kenyataan. Jahat emang itu suster. Pengin nuntut, tapi kok nggak tega." Asmara tertawa kecil mengatakannya.    Pikiran Samara segera tertuju pada kejadian tempo hari. Saat dirinya mendengar obrolan antara pasien bandel dan suster yang perhatian.    "Dibilangin jangan suka kelayaban malem - malem! Jadi ngap gini, kan? Oksigen lagi ... oksigen lagi .... Katanya mau sembuh. Mau kamu pakai kanula ke mana - mana macem Hazel di film 'The Fault in Our Stars'?"    Jadi ... si pasien bandel adalah Asmara? Dan kondisinya menjadi lebih parah, karena sering keluar saat malam. Ke sini ....    Asmara masih bertahan dengan senyumnya yang murni. Bahkan ketika Samara mulai berjalan mendekat padanya. Karena Asmara hanya tak menyangka bahwa Samara akan ....    Memeluknya.    Ya, Samara melakukannya.    Ia benar - benar memeluk Asmara saat ini ... dengan begitu erat.    Wajah Samara tenggelam di dadanya. Gadis itu terisak ... menangis.    Senyuman Asmara memudar. Ia tak mengerti kenapa Samara tiba - tiba seperti ini. Namun ia menebak, pasti karena dirinya, kan?    Asmara menyalahkan dirinya karena telah membuat Samara bersedih bahkan menangis seperti ini.    Perlahan kedua lengan Asmara terulur, melingkar pada punggung dan pinggang Samara. Tak peduli jika nanti selang infus dan kanulanya akan terbelit. Ia hanya ingin memeluk gadis ini. Menenangkannya. Memberikan dekapan terhangat.    Berharap apa yang ia lakukan akan membuat Samara merasa lebih baik.    ~~~~~ ASMARA SAMARA ~~~~~    -- T B C --   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD